Pongah-nya ego kita di sosmed, kadang justru lebih menyeret satu persoalan menjadi stigma kebencian. Bukan justru mendamaikan di tengah masyarakat kita yang majemuk. Hal ini terjadi semenjak konflik berdarah kembali memanas di India. Jagat media begitu ramai dengan hastag #Hindu-is-terrorist #ShameOnIndia dan #HancurkanAgamaHindu. Kita merasa kepanasan untuk menghantam balik terhadap kekerasan yang ada. Tanpa mendinginkan ego untuk tetap membangun ikatan antar umat beragama tetap sehat.
Bahwa ini hanyalah persoalan kesalahpahaman di dalam mengartikulasikan sejarah. Namun media sosial meliputi segenap provokasi kebenaran konflik dan sentiment keagamaan yang bisa meluluhlantakkan negara persatuan dan kebersamaan di tengah keragaman yang ada. Disintegritas sosial di India memang lahir sebagai konflik antara kelompok Islam yang minoritas, dengan Hindu yang mayoritas. Kejadian ini bertepatan di kota New Delhi India pada 23 Februari 2020 kemarin. Tentang UU Citizenship Amandement Bill.
Akan tetapi semua persoalan ini bukan terletak pada benar dan salah. Atau bahkan antara penolakan dari mayoritas terhadap minoritas. Bukan terletak kepada siapa yang berhak untuk kita bela atau siapa yang pantas untuk menguasai. Kita harus membuang jauh-jauh sikap skeptis keagamaan tersebut agar tidak terprovokasi dengan kejadian ini.
Namun yang paling terpenting adalah pelajaran bahwa kita sejatinya harus merendahkan ego kita di dalam beragama yang diekspresikan di dalam media sosial. Jangan melebihi-lebihkan dan jangan mengurangi. Demi perdamaian dan persatuan bangsa serta solidaritas keagamaan tetap terjaga dengan baik.
Baca Juga : Lawan Mayoritasisme dengan Egalitarianisme!
Entah posisi kita sebagai mayoritas atau juga sebagai minoritas. Bukan membentuk dogma keagamaan yang berkuasa dan menindas kepada yang minoritas. Begitu juga sebaliknya. Karena yang kita butuhkan di dalam agama adalah konversi dari keburukan bisa mengalami kesadaran stabilitas diri untuk menjadi lebih baik. Bukan menampakkan ekstrinsik keagamaan yang keras kepada sesama umat manusia. Karena sejatinya agama untuk manusia yang selayaknya membela kemanusiaan.
Bagaimana sikap keberagamaan jangan melebihi kualitas nilai agama itu sendiri. Bagaimana setidaknya kita bisa menundukkan ego di dalam beragama. Entah posisi kita sebagai Islam, Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha. Hindu yang terkenal dengan ajaran filosofis kebijaksanaan hidup, etika dan moralitas kemanusiaan. Begitu juga agama lainnya yang mengajarkan tentang kebijaksanaan dan saling berbuat kebaikan satu sama lainnya.
Namun apabila ekspresi keagamaan melebihi eksistensi nilai dalam agama itu sendiri, yang ada hanyalah pengulangan sejarah berdarah antara dendam satu dengan dendam lainnya. Dari tahun ke tahun akan terus terjadi konflik berdarah jika tidak segera untuk saling memahami dan saling menundukkan ego kita di dalam beragama. Islam yang tampak adalah kekerasan, kekejian, kezhaliman ketika menyongsong sejarah masa lalu yang jaya di negeri Arab. Sehingga eksistensi nilai Islam yang memberikan rahmat justru dilupakan. Karena kebenaran ego di dalam beragama telah dahulu menjadi substansi untuk memusuhi setiap perbedaan.
Tantangan keragaman yang ada bukanlah sebuah kebenaran yang absolut untuk menghancurkan setiap perbedaan tersebut. Akan tetapi kita perlu menyadari bahwa esensi keagamaan itu ada kebenaran universal yang jauh lebih penting untuk kita resapi dari pada kepongahan ego dalam beragama hingga kita lupa cara kita bersaudara, tidak menghakimi orang lain atau bahkan membantai sesama umat manusia
Agama bukankah kesadaran kolektivitas individual yang membentuk dogma pemisah yang melupakan solidaritas persaudaraan di dalam berbangsa dan bernegara. Akan tetapi bagaimana agama sebagai substansi nilai secara personal untuk diamalkan sebagai kesadaran psikologis bukan diekspresikan dalam bentuk kebenaran untuk menghakimi orang lain. Akan tetapi untuk kesadaran personal hingga tercerahkan dan membawa kebaikan.
Oleh karena itu, seberapa mayoritas kita di dalam memegang identitas beragama, jangan lantas menutupi mata hati kita untuk tidak menundukkan ego keagamaan kita. Jangan mudah memprovokasi agar umat Islam membalas dan membuat wajah masyarakat di media sosial semakin terpandang kepada kebencian dan dendam. Kita perlu ketundukan di dalam beragama untuk tetap menjaga keharmonisan. Begitu juga di dalam bermedia, kita harus menundukkan ego agar tidak mudah memprovokasi dan menyebarkan kebencian.