Lawan Mayoritasisme dengan Egalitarianisme!

Lawan Mayoritasisme dengan Egalitarianisme!

- in Narasi
2446
2
Lawan Mayoritasisme dengan Egalitarianisme!

Mayoritas dan mayoritasme dua hal yang berbeda. Yang pertama adalah fakta sosial bahwa ada entitas kelompok paling banyak. Sementara yang kedua adalah suatu cara pandang atau tindakan yang menjadikan kelompok paling banyak sebagai penentu segalanya.

Ruang publik yang sehat adalah ruang publik rasional yang didasarkan pada kualitas bukan kuantitas. Artinya suatu kebenaran diukur berdasarkan kepentingan umum, bukan kepentingan mayoritas. Nalar publik yang sehat, bukan berdasarkan viralitas atau banyaknya like, sharing, dan komentar di dunia maya.

Jika kebenaran standarnya adalah mayoritas, itu bukan nalar publik, melainkan mayoritasisme. Mayoritasisme menghendaki agar semua hal harus menjadikan pihak yang paling banyak (mayoritas) menjadi acuan. Ini tentu berbahaya dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Di lapangan justru ini yang terjadi. Tren eskalasi intoleransi semakin meningkat. Narasi kami versus mereka semakin menjadi-jadi. Kami mayoritas selalu benar dan harus dihormati; mereka minoritas salah dan harus bisa memahami yang lain. Narasi sektarianisme pun jadi andalan.

Idealitas ruang publik didasarkan pada diskursus yang berlangsung. Jika tidak ada intervensi dari “luar”, maka ruang publik adalah sehat. Tetapi jika sebaliknya, ada intervensi yang dalam dari luar, maka ruang publik hanyalah milik kelompok paling banyak.

Luar dimaksud di sini adalah agama, budaya, tradisi, norma, atau ideologi tertentu yag secara sengaja dipaksakan. Akibatnya diskursus ruang publik tidak bebas dan otonom. Kebenaran yang ada pun kebenaran mayoritas.

Baca Juga : Merawat Solidaritas Kebangsaan Di Tengah Ancaman Konservatisme Global

Jika agama, tradisi, atau budaya mayoritas yang menentukan kebenaran suatu diskursus di ruang publik, maka opini publik, perdebatan publik, akan merusak wajah ruang publik. Logika yang berlaku adalah logika komunitarian, suaru kebenaran diukur berdasarkan pada standar kebenaran kumunistas tertentu.

Persis kenyataan inilah yang terjadi di media sosial. Logika perdebatan sosial media kita masih di dasarkan pada viralitas yang basisnya itu adalah komunitas mayoritas. Siapa paling banyak, dialah yang menguasai ruang publik.

Ini tentu sangat berbahaya. Selain menciptakan iklim yang tidak sehat, juga akan sering terjadi diskriminasi, kebenaran tunggal, dan opini yang dipaksakan. Ruang publik sejatinya adalah ruang bersama, tempat diskursus yang menyenangkan, mendamaikan, dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang bisa diterima oleh semua.

Sebagian ahli menyatakan, ruang publik yang sehat mensyaratkan tiga hal, yakni demokratis, responsif, dan bermakna. Syarat pertama mengharuskan semua lapisan warga diposisikan setara dan sama-sama mempunyai hak dalam berkontribusi menyuarakan opini. Perdebatan harus terbuka, tak boleh dikendalikan oleh segelintir agama atau kelompok tertentu.

Wujud demokrasi ini sejatinya sudah terlaksana pada media sosial ketika semua bisa terlibat aktif. Meskipun dalam realitanya masih menyisakan masalah, yakni masih banyak warga yang tidak tau pangkal ujung, akar masalah, dan materi yang diperdebatkan. Akibatnya sosial media jadi ajang pamer kekuatan kelompok.

Syarat kedua, ruang publik harus bisa merespons realita. Kebutuhan masyarakat menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan. Jangan sampai opini publik adalah opini segelintir orang apalagi itu hanya opini elite semata.

Kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan riil masyaraka akan bertahan lama dan solutif, sebab sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Responsif mensyaratkan adanya keterbukaan dalam melihat “apa yang diinginkan” oleh khalayak masyarakat.

Ketiga, harus bermakna. Ruang publik yang sehat adalah ruang publik yang melahirkan diskursus yang bermakna. Rasionalitas masyarakat menjadi landasan di sini. Hal-hal yang sifatnya artifisial, perdebatan kosong, dan dengungan para buzzer tidak akan menjadikan ruang publik sehat, malah akan bertambah semrawut.

Menjamurnya Mayoritasisme

Ketiga syarat di atas masih belum terlaksana dalam debat atau diskursus ruang publik kita. Mayoritasisme, yang mendasarkan sesuatu pada kebenaran dengan angka paling banyak masih menjadi tolak ukur. Siapa yang paling banyak secara kuantitas, maka dialah yang paling otoritatif dan paling menentukan dalam menggiring opini publik.

Akibatnya nalar publik pun tidak sehat, sebab suara publik itu hanyalah representasi dari kelompok besar, sementara kelompok kecil tidak terakomodasi. Kondisi seperti ini ibarat gunung es, suatu saat akan pecah, menimbulkan konflik dan perkelahian.

Efek nyata dari mayoritasisme bisa dengan mudah kita liat dalam kebijakan publik dan bentuk peraturan daerah atau instansi lainnya. Perda Syariah yang diklaim sebagai penjaga moral keagamaan suatu kelompok agama tertentu, sering mencederai kelompok agama atau keyakinan lainnya.

Peraturan tertentu yang eksklusif untuk agama tertentu kemudian dijadikan sebagai aturan bersama, untuk semua agama dan keyakinan, adalah bentuk pemaksaan yang akan melahirkan resistensi. Resistensi kemudian membesar, akan melahirkan konflik. Sesudah konflik, harmoni masyarakat akan rusak, polarisasi masyarakat tidak terelakkan lagi.

Pemaksaan atas nama mayoritas dan perdebatan atas nama kebenaran kuantitas harus dihindarkan. Kita perlu kembali kepada nalar publik yang rasional yang bisa diterima oleh semua. Rasionalitas adalah kata kunci ketika kita menghadirkan suatu diskursus di ruang publik.

Untuk itu, ketiga syarat di atas, yakni demokratis, responsif, dan bermakna –adalah syarat utama untuk mencegah terjadinya mayoritasisme did ruang publik. Jangan sampai mayoritasisme kita biarkan menguasai ruang publik kita.

Pentingnya Narasi Egalitarianisme

Untuk itu kita perlu kembali kepada narasi besar kita, yakni egalitarianisme bahwa kita semua tanpa memandang suku, agama, bahasa, budaya dan apapun itu –sama dan setara. Setara dalam politik, hukum, ekonomi, dan setara did hadapan negara. Tidak ada lagi istilah mayoritas dan minoritas dalam kebijakan pulik. Semuanya sudah melebur menjadi warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Egalitarianisme harus dijadikan sebagai paradigma dalam mengambil kebijakan publik. Semua harus diakomodasi, tidak ada pihak yang merasa terdiskriminasi dan tersub-ordinasi. Adanya spirit kesetaraan dan keadilan akan menjadikan solidaritas kebangsaan semakin kuat. Solidaritas yang didasarkan pada tali persaudaraan sesama anak bangsa.

Narasi egalitarianisme semakin mendapat tempatnya ketika kita dulu sama-sama berada dalam satu pengalaman masa lalu. Kita dari dulu senasib-sepenanggungan, sama-sama berjuang dan sama-sama ingin memajukan Indonesia.

Tidak ada pihak yang paling berjasa dan berhak mengklaim dirinya sebagai pahlawan. Semuanya mempunyai sumbangsih dan kontribusi dalam mengawal, mengisi, dan menjaga kedaulatan negeri ini.

Kesadaran egalitarianisme inilah yang disadari oleh para pendahulu kita dengan menjadikan Pancasila sebagai landasan dan falsafah hidup. Pancasila adalah wujud nyata dari ide-ide egalitarianisme yang menolak mentah-mentah logika mayoritasisme. Meredam konflik sektarian, intoleransi, diskriminasi, dan provokasi atas nama agama atau entah apa pun itu, tidak ada cara lain selain kita kembali kepada Pancasila sebagai abstraksi dari semangat kesetaraan ini.

Facebook Comments