Pluralitas adalah sunatullah. Pluralitas aliran, golongan, bahasa, agama, dan budaya adalah fakta sosial yang tak bisa dinafikan. Al-Quran sejak dini sudah menyatakan “Seandainya Kami mau menjadi kalian umat yang satu, Kami pasti bisa.” Kata “seandainya” menunjukkan bahwa keseragaman itu adalah mustahil. Dan, keserba-beragaman itu suatu keniscayaan.
Perbedaan sebagai fakta sosial harus dirawat. Manusia tidak boleh terjebak pada sekteranisme, suatu sikap/tindakan yang didasarkan pada mengauatnya satu kelompok/golongan tertentu yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan marginalisasi kelompok/golongan lain.
Mengelola keberagaman adalah suatu keniscayaan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, keberagamaan itu harus dikelola sehingga ia bisa menjadi nikmat dan kekekuatan, bukan jadi azab dan sumber dari kelemahan.
Ketiadaan pengelolaan yang bagus akan melahirkan arogansi kelompok, yakni merasa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik, serta paling berjasa. Sementara kelompok lain dianggap tak berjasa, dan tidak ada kebenarannya.
Arogansi kelompok bisa melahirkan mayoritasisme, suatu sikap/tindakan yang selalu menjadikan kepentingan mayoritas sebagai rujukan. Siapa yang paling banyak, dialah penentu segala, baik soal kebenaran, kebaikan, maupun soal keindahan.
Inilah yang disebut ‘asabiyah, suatu sikap fanatisme yang berlebihan terhadap golongan/kelompoknya. Akibatnya, upaya untuk saling memahami dan saling memberdayakan tidak berjalan. Yang ada sikap mau menang sendiri. Solidaritasnya hanya terbatas pada solidaritas kesukuan.
Solidaritas Kebangsaan
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, solidaritas kesukuan harus digeser kepada solidaritas kebangsaan. Solidaritas kebangsaan ini ditandai dengan rasa sepengalaman, senasib-sepenanggungan. Kita sama-sama punya pengalaman masa lalu yang sama, berjuang bersama, merebut kemerdekaan secara bersama, dan mempertahankan kemerdekaan juga secara bersama-sama.
Baca Juga : Politik Sektarian dan Matinya Solidaritas Kebangsaan
Untuk itu, dalam merawat dan mengisi kemerdekaan ini kita juga harus bersama-sama. Tidak boleh ada yang merasa paling berjasa, paling benar sendiri. Semua anak bangsa adalah warga-negara yang setara serta punya hak dan kewajiban yang sama.
Sikap ‘asabiyah harus dibendung. Adanya gerakan yang mau bermaksud menghidupkan kembali sektarianisme (‘asabiyah), mau membangun ideologi politik tertutup (hizbiyah) harus dilawan. Kedua gerakan ini sangat merusak tatanan persatuan dan kesatuan bangsa.
Kerusuhan Delhi yang akhir-akhir jadi bahan perbincangan adalah contoh konkritnya ketika perbadaan itu tidak bisa dikelola dengan baik. Menguatnya fanatisme beragama, dengan menganggap agamanyalah –dalam kasus Delhi Hindu –paling berhak, yang terjadi justru peperangan dan kekerasan.
Hal yang sama juga terjadi di beberapa negara Timur Tengah. Sektarianisme menguat. Masyarakat terbelah menjadi “Kami” versus “Mereka”. Kami adalah nomor satu, mereka nomor sekian di bawah. Akibatnya perang sesama warga tak terelakkan. Korban berjatuhan.
Kasu-kasus di negara lain seharusnya menjadi contoh konkrit bagi bangsa Indonesia, bahwa ongkos yang harus dibayar dari munculnya sektarianisme (‘asabiyah)itu sangat mahal. Kita harus membayarnya bersama-sama. Fisik rusak, psikis hancur, dan tak ada kehidupan yang harmonis, nyaman, dan damai.
Solidaritas kebangsaan adalah koentji. Sikap saling asah dalam beragama, saling asuh dalam bermasyarakat, dan saling asih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita harus kembali kepada persaudaraan (ukhwah)sebagai tali ikatan kita bersama.
Kembali ke Ukhwah
Apa itu persaudaraan (ukhwah)? Kita bisa mengambil ilustrasi yang dibuat sendiri oleh Nabi. Persaudaraan itu ibarat satu organ tubuh, jika sakit satu organ (tangan umpamanya), organ tubuh yang lain ikut merasakannya.
Para leluhur kita menerjemahkan hadis ini dengan kata senasib-sepenanggungan.Kita sama-sama dalam satu tarikan nafas. Jika satu bahagia, kita ikut bahagian. Jika satu berduka, yang lain ikut berduka.
Persaudaraan adalah inti dari solidaritas kebangsaan itu. Dengan menganggap bahwa kelompok/agama lain adalah saudaraku, maka tak mungkin kita tega menyakitinya apalagi memeranginya.
Diskriminasi dan intoleransi lahir dari tidak adanya perasaan senasib-sepenanggunganitu. Intoleransi adalah sikap arogan yang lahir dari pikiran bahwa kami adalah paling benar, baik, dan layak. Mereka adalah liyan, orang asing yang tak perlu dihormati. Persaudaraan dalam segala level –agama, bangsa, dan kemanusiaan –harus jadi pedoman bersama. “Jika kamu bukan saudara seagamaku, maka kamu adalah saudaraku sesama manusia” begitu ungkapan Ali bin Abi Thalib. Ungkapan ini sagat layak dijadikan oleh kita dalam mengelola keberagaman Indonesia.