Pandemi corona sedang ganas-ganasnya melanda dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, sejak diumumkan pada 2 Maret lalu oleh Presiden Jokowi bahwa terdapat dua WNI yang dinyatakan positif Covid-19, hingga kini—belum genap satu bulan—jumlah warga yang positif terpapar corona terus meningkat tajam. Saat ini sudah lebih dari satu ribu orang yang positif corona.
Keadaan ini tentu saja tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Terhitung sejak 2 Maret lalu, pemerintah beserta jajarannya terus bergerak melakukan segala daya dan upaya guna mencegah penyebaran Covid-19 ke wilayah yang lebih luas. Diantara upaya tersebut adalah dengan mengeluarkan kebijakan social distancing atau yang belakangan lebih tepat disebut sebagai physical distancing.
Secara gampangnya, physical distancing adalah menjaga jarak fisik (kontak langsung) dengan orang lain. Langkah ini ditempuh karen penyebaran penularan atau transmisi Covid-19 adalah melalui dropet (percikan ludah) yang keluar saat seseorang bersin, batuk atau berbicara keras (hingga muncrat). Dropet ini kemudian masuk melalui hidung dan mulut.
Dari sinilah physical distancing merupakan cara yang tepat dan terbaik guna mencegah penyebaran corona, tentu saja ini hanya salah satu cara, yang sesungguhnya masih banyak lagi cara lain dalam konteks ini.
Satu hal yang perlu diingat adalah, kebijakan physical distancing ini tidak lantas diartikan sebagai menghilangkan interaksi sosial, namun ini hanya jarak fisik saja yang dibatasi selama masa pandemi corona masih berada di Indonesia.
Baca Juga : Distraksi Media Sosial dan Efek Infodemik Corona
Dengan diberlakukannya physical distancing sesungguhnya mayarakat tidak sepenuhnya kehilangan hak untuk berinteraksi dengan orang atau saudara. Artinya, kita masih bisa terhubung dengan orang lain, terutama melalui media sosial. Justru kebijakan physical distancing yang diikuti dengan menjalankan seluruh aktivitas atau rutinitas sehari-hari #DiRumahAja atau #WorkFromHome justru semakin memberikan ruang lebih untuk berselancar di media sosial, menyerap informasi.
Nah pada saat seperti inilah, masyarakat sangat rentas terjerumus dan larut dalam lautan informasi yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan, bahkan berpotensi menimbulkan kepanikan.
Informasi bohong, menyesatkan dan lainnya sangat mudah di temukan di tengah wabah corona saat ini, terutama di beranda-beranda orang lain atau sebuah group. Ada banyak motif yang melatar-belakangi seseorang atau kelompok untuk memproduksi konten berita bohong dan tidak edukatif di saat seperti saat ini. Di antara motifnya adalah karena hendak memanfaatkan kebutuhan masyarakat akan sebuah informasi yang begitu tinggi, sehingga mereka mendompleng melalui isu corona.
Fenomena “Ustadz” Abal-abal
Corona bukan saja soal virus yang menyebar dari orang ke orang dan dapat mengancam nyawa seseorang. Jauh dari sekedar itu, corona juga mengungkap fakta lain, yakni kebohongan dan kedustaan “ustadz” abal-abal.
Diksi ustadz abal-abal ini bukan untuk merendahkan kemuliaan ustadz, namun lebih pada seorang yang dianggap sebaga da’i dan ia berceramah di mana-mana tetapi dalil dan pemahaman keagamaannya tidak mencerahkan, justru mengarah pada pembohongan karena tidak didasarkan pada dalil yang pasti dan dapat dipertanggung-jawabkan.
Hari-hari ini beredar ceramah seorang “ustadz” yang mengaitkan corona dengan tanda kiamat sudah dekat. Dengan nada yang penuh semangat dan mengguhan emosi jamaah, “ustadz” ini mengatakan bahwa bila Ramadhan belum bisa umrah, apalagi musim haji tidak bisa haji karena corona, maka itu semua dikatakan sebagai tanda-tanda kiamat sudah dekat.
Tentu saja kesimpulan atau pemahaman “ustadz” tersebut sungguh tidak ada dasarnya. Dan justru mencerminkan literasi keagamaannya sangat rendah. Sebab, sejauh ini, belum pernah ditemukan teks atau dalil yang menyatakan bahwa diantara tanda kiamat sudah dekat adalah tidak bisa haji atau tidak ada aktivitas haji di Makkah (Ka’bah).
Narasi seperti ini jelas merupakan suatu kebohongan bermodus agama. Tidak hanya itu, “ustadz” model ini jelas meresahkan masyarakat luas. Namun celakanya adalah, banyak masyarakat yang mengamini apa yang dikatakan oleh ustadz tersebut. Ini menunjukkan betapa literasi keagamaan masyarakat kita bergitu rendah. Akibatnya, video ceramah ustadz itu dibagikan oleh ratusan, bahkan menjangkau ratusan ribu orang.
Pentingnya Media Distancing
Memang, setiap dari kita lazimnya sudah bergantung pada media sosial dalam mencari informasi dan kebutuhan lainnya. Namun, di tengah penyebaran Covid-19 ini, kita perlu menjaga jarak dari informasi media agar tidak menelan informasi secara mudah yang bikin resah. Menjaga jarak dari informasi yang bikin resah dan panik seperti ujaran kebencian, hoax dan sejenisnya inilah yang saat ini dikenal dengan istilah media distancing.
Masyarakat harus jeli dalam memilih dan memilah sebuah informasi sehingga tidak terjerambab pada kondisi panik dan resah, yang justru akan menimbulkan tekanan psikologis.
Terhadap kasus “ustadz” abal-abal sebagaimana diuraikan di atas, masyarakat sudah seharusnya menerapkanMedia Distancing, dalam artian tidak turut mengomentari, apalagi turut menshare video-videonya.
Ingat! Turut membagikan ceramah model “ustadz abal-abal” sama aja kita turut serta mempromosikan kebohongan dan kedustaannya. Dengan kebijakan media distancing terhadap informasi yang belum jelas kevalidannya dan berita hoax, berarti kita telah menyetop untuk tidak mempromosikan sebuah kebohongan dan kedustaan.
Lain halnya dengan berita atau ceramah ustadz yang mencerahkan, bukan meresahkan, maka terhadap ustadz demikian, maka kita harus sebarkan seluas-luasnya agar ada banyak insan yang tercerahkan pula.
Mengakhiri uraian ini, kiranya relevan dan penting sekali merenungi kata-kata yang dituturkan oleh orang bijak. Bahwa usaha orang baik, benar dan memiliki kedalaman ilmu akan menjadi sia-sia karena segelintir orang yang bodoh. Pemerintah dan pemuka agama sudah menghimbau dan memberikan protokol, mengeluarkan fatwa untuk menghadapi Covid-19. Tetapi langkah-langkah ini bisa saja akan sia-sia karena ada segelintir “ustadz” abal-abal yang justru meresahkan umat.