Distraksi Media Sosial dan Efek Infodemik Corona

Distraksi Media Sosial dan Efek Infodemik Corona

- in Faktual
2200
3
Distraksi Media Sosial dan Efek Infodemik Corona

Segala jenis temuan manusia, mulai dari ilmu pengetahuan dan teknologi pastilah memiliki dua sisi yang saling berlawanan. Tidak terkecuali, media sosial yang dianggap sebagai penemuan paling penting dalam sejarah manusia modern. Kemunculan media sosial menyuguhkan berbagai kemudahan bagi manusia. Medsos mampu memangkas jarak antarindividu yang sebelumnya menjadi penghalang interaksi dan komunikasi antarmanusia.

Kini, melalui media sosial, nyaris seluruh manusia dunia dapat terhubung dan berinteraksi sama lain. Melalui media sosial pula, sebuah isu dimungkinkan untuk menyebar dalam skala global hanya dalam waktu yang singkat. Namun, di balik itu semua, media sosial juga menyimpan sisi negative yang potensial mempengaruhi kualitas hidup manusia. Alex Soojung dan Kim Pang (2010) dalam bukunya The Distraction Addictionmenyebutkan bahwa salah satu dampak negatif media sosial ialah menimbulkan efek distraksi.

Secara sederhana, efek distraksi dapat dimakani sebagai sebuah kondisi dimana manusia merasa terganggu, teralihkan, terhambat konsentrasinya karena sesuatu hal yang memiliki kekuatan menghibur sekaligus mengendalikan otak manusia. Efek distraksi tidak bisa disepelekan lantaran berpotensi menimbulkan gejolak psikologi bahkan neurosis alias kegilaan. Keberadan medsos yang telah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia tidak diragukantelah menyita perhatian dan sebagian besar waktu sebagian besar manusia di dunia.

Menurut data statistica.com pada tahun 2020 pengguna media sosial Facebookmencapai 2, 5 miliar orang dan YouTubemencapai 2 miliar orang, WhatsAppmencapai 1, 6 miliar orang dan Twittermencapai 340 juta orang. Masih menurut statistica.commasyarakat dunia menghabiskan rata-rata 5 jam perhari untuk mengakses media sosial. Data ini membuktikan betapa media sosial telah menjadi bagian penting bagi kehidupan manusia modern. Tidak hanya itu, media sosial juga efektif dalam membentuk opini publik dan menggerakkan massa untuk melakukan perubahan.

Di banyak negara, media sosial dipakai sejumlah politisi untuk melancarkan kampanye hitam. Bahkan, di sejumlah negara di kawasan Timur Tengah, media sosial dipakai untuk menghasut publik agar menjatuhkan pemerintahan yang sah. Fenomena ini membuktikan untuk kesekian kalinya bagaimana medsos memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pola pikir, persepsi bahkan perilaku masyarakat.

Corona dan Persepsi Publik

Pengaruh medsos dalam membentuk persepsi publik juga mengemuka dalam konteks isu pandemik Corona. Ketika pertama kali muncul di Wuhan, virus Corona segera menjadi perbincangan publik luas. Video pemandangan Wuhan selama lockdown yang mirip seperti kota mati ditambah video adegan di rumah sakit-rumah sakit khusus Corona tersebar nyaris saban hari di media sosial. Ketimbang memberikan informasi tentang kondisi Wuhan, video-video itu justru menciptakan teror mental bagi pengguna media sosial.

Baca Juga : Mulutmu Harimaumu itu Ketika Sebar Berita Negatif

Warganet yang mengonsumsi sebaran video dan berita tentang Corona itu pun tanpa sadar mempersepsikan Corona sebagai sebuah hal yang menyeramkan. Maka, ketika virus Corona menyebar keluar China bahkan dianggap sebagai pandemik global, masyarakat dunia, tidak terkecuali di Indonesia mengalami kepanikan luar biasa. Terlebih ketika pasien pertama pengidap virus Corona diumumkan pertama kali oleh pemerintah, publik pun segera meresponnya dengan tindakan-tindakan irasional dan berlebihan.

Pasca presiden mengumumkan ada dua pasien positif Corona, masyarakat segera menghambur ke supermarket, memborong habis stok bahan makanan pokok. Tidak hanya itu, masker, cairan pensteril tangan bahkan alat pelindung diri yang sedianya diprioritaskan penggunaannya bagi kalangan tenaga medis pun tiba-tiba raib dari pasaran. Baru dua pasien dinyatakan positif, namun publik sudah membayangkan kondisi terburuk seperti yang terjadi di Wuhan.

Video dan informasi yang tersebar di media sosial tentang penyebaran virus Corona terbukti efektif memantik kepanikan massa. Akibatnya, naluri dasar manusia untuk mempertahankan diri pun termanifestasikan dengan praktik arogan. Salah satunya mewujud ke dalam praktik panic buying. Kondisi ini tidak diragukan merupakan efek distraksi dari media sosial. Konten-konten yang bertebaran di media sosial, dimana sebagian besarnya belum tentu benar, kadung menjadi acuan informasi bagi publik. Konsekuensinya, publik lebih peduli pada apa yang tersaji di media sosial ketimbang berpikir rasional dan mentaati anjuran pemerintah.

Di saat yang sama, media massa arusutama yang digadang-gadang mampu menjadi kanal informasi akurat seputar pandemik Corona nyatanya belum mampu menjalankan perannya secara maksimal. Media massa arusutama dalam banyak hal masing kerap terjebak dalam model pemberitaan yang lebih mengedepankan efek sensasional ketimbang membedah persoalan secara subtansial. Magnitud pemberitaan media massa arusutama, terutama dalam jaringan (daring) pun terkesan mengeksploitasi ketidaktahuan dan kekhawatiran publik.

Social Media Distancing

Dalam leksikon komunikasi massa, inilah yang disebut sebagai infodemik. Sederhananya, infodemik ialah ledakan informasi yang alih-alih membuat masyarakat paham dan tercerahkan atas sebuah isu, namun justru menjermuskan publik ke dalam kecemasan dan ketidakpastian informasi. Infodemik berpotnsi melahirkan misinformasi, disinformasi, rumor bahkan hoaks. Efek puncak dari infodemik ialah kesulitan manusia dalam mengindetifikasi dan mencari solusi atas sebuah isu atau persolan lantaran derasnya gelombang informasi yang simpang-siur.

Maka, selain menghadapi pandemik Corona, kita (masyarakat Indoenesia) juga menghadapi infodemik Corona yang tidak kalah membayakannya. Pandemik Corona membahayakan nyawa manusia, sedangkan infodemik Corona berpotensi merusak kondisi psikologis manusia dan merusak stabilitas sosial akibat munculnya kepanikan massa. Untuk mencegah infodemik Corona itu kian parah, kita tentu perlu melakukan langkah-langkah mitigasi. World Health Organisation (WHO) sebagai lembaga kesehatan dunia sebenarnya telah melakukan langkah pencegahan infodemik dengan meluncurkan portal informasi resmi bernama EPI-WIN (WHO Network for Information in Epidemics).

Pada portal resmi WHO itulah, tersedia segala jenis informasi mengenai pandemik Corona yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Maka, membaca dan menyebarkan berita tentang Corona hanya dari sumber terpercaya, terutama dari WHO merupakan salah satu langkah untuk mencegah kian akutnya fenomena infodemik Corona. Selain itu, kita juga perlu melakukan pembatasan medsos (media social distancing) untuk membatasi sebaran informasi soal Corona yang sudah kadung membanjiri ruang-ruang virtual kita belakangan ini. Sebagai masyarakat kita memiliki kewajiban etis untuk bersikap bijak selama masa pandemik Corona ini.

Selain menaati anjuran pemerintah tentang physical distancing, menjauhi kerumunan, dan menjaga gaya hidup sehat-bersih, kita juga perlu melakukan pembatasan medsos dengan tidak membagikan informasi tentang Corona yang berpotensi menambah kepanikan publik. Media sosial distancing kiranya bisa menjadi ikhtiar kecil kita untuk memutus matarantai penyebaran infodemik Corona yang tidak kalah berbahaya dan meresahkannya dengan pandemik Corona. Di tengah masa pandemik Corona yang entah berakhir kapan ini, publik lebih membutuhkan kualitas sebuah informasi ketimbang kuantitasnya. Informasi tentang Corona yang bersifat edukatif, mencerahkan dan berasal dari sumber terpercaya itulah yang akan sangat berguna bagi publik. Sebaliknya, limpahan informasi yang tidak jelas kebenarannya dan berasal dari sumber-sumber non-kredibel justru akan melahirkan fenomena infodemik yang membuat publik merasa cemas, takut dan panik secara berlebihan.

Facebook Comments