Ramadan, Nasionalisme dan Covid-19

Ramadan, Nasionalisme dan Covid-19

- in Narasi
1782
3
Ramadan, Nasionalisme dan Covid-19

Bulan suci Ramadan kian mendekati puncaknya. Hari-hari terakhir di penghujung Ramadan ialah kesempatan paling baik bagi umat Islam untuk mendulang pahala dan berharap ampunan Allah. Berbarengan dengan itu, di penghujung Ramadan, tepatnya 20 Mei mendatang kita akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).

Dua momen penting, yakni puncak Ramadan dan Harkitnas itu ironisnya harus terjadi di masa pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Itu artinya, tahun ini umat Islam akan merayakan hari kemenangan alias Idul Fitri dengan kondisi berbeda.

Namun, semua itu tentu tidak akan mengurangi sedikit pun ghiroh kita dalam beribadah di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Fase puncak yang konon berisi malam Lailatul Qadar yang derajat kemuliaannya melebihi malam seribu bulan tentu sayang untuk dilewati begitu saja.

Demikian pula peringatan Harkitnas sebagai momentum untuk memupuk semangat nasionalisme juga teramat berharga untuk kita abaikan hanya karena alasan pandemi. Justru sebaliknya, sebagai bangsa Indonesia sekaligus umat Islam kita dituntut mampu untuk mereaktualisasikan sekaligus mengkontekstualisasikan gairah Ramadan dan spirit nasionalisme dalam konteks perang melawan pandemi Covid-19.

Hari-hari belakangan ini seperti kita lihat, perjuangan melawan Covid-19 menemui tantangan yang tidak ringan. Di satu sisi, angka pasien positif Covid-19 secara nasional masih terus mengalami penambahan secara signifikan. Di sisi lain, sebagian besar masyarakat mulai jenuh dan bosan menjalani aktivitas di rumah selama nyaris dua bulan lamanya.

Baca Juga : Spirit Bangkit Melawan Covid

Tingkat kewaspadaan dan kedisiplinan masyarakat untuk menerapkan pembatasan sosial dan protokol Covid-19 pun harus diakui mulai mengendur. Alhasil, jalanan kembali ramai, tempat-tempat umum dipenuhi massa. Di saat yang sama, perekonomian nasional pun mulai goyah. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak terelakkan.

Namun, di balik kabar buruk tersebut, masih ada pula sejumlah kabar baik. Meski angka jumlah pasien positif Covid-19 terus bertambah secara nasional, namun angka kematian nasional berhasil ditekan. Sebaliknya, jumlah pasien sembuh saban hari menunjukkan peningkatan signifikan.

Tidak hanya itu, penelitian tentang Covid-19 pun mengalami perkembangan pesat. Jika tidak ada aral melintang, anti-virus dan obat Covid-19 diyakini akan segera ditemukan dalam waktu tidak lama lagi. Walau bagaimana pun juga, kabar baik tentu harus disebarluaskan, demi memupuk optimisme kita dalam menghadapi pandemi ini.

Mengapresiasi dan Mendukung Kinerja Pemerintah

Di titik ini, kita juga perlu mengapresiasi dan terus mendukung kinerja dan kebijakan pemerintah. Terutama dalam konteks refocusing dan realokasi anggaran negara. Ratusan triliun rupiah telah dianggarkan pemerintah untuk melawan pandemi dan multiplier effect yang ditimbulkannya. Namun segala kebijakan yang ditopang nominal fantastis itu kiranya tidak cukup tanpa dukungan partisipasi aktif publik dalam mendukung perang melawan Covid-19.

Adalah kewajiban kita bersama untuk berada dalam barisan pemerintah melawan virus tak kasat mata ini. Peran aktif masyarakat sangat dibutuhkan untuk memastikan pandemi ini tidak melahirkan krisis multidimensi, seperti krisis ekonomi, sosial, apalagi politik.

Maka, spirit Harkitnas yang berbarengan dengan puncak atau akhir Ramadan ini kiranya bisa menjadi momentum untuk kian menumbuhkan kesadaran bersama untuk melawan pandemi ini dengan melibatkan dan mensinergikan seluruh elemen bangsa. Tidak ada waktu bagi kita untuk saling menimpakan kesalahan ke pihak lain. Apalagi berebut panggung dan mengklaim sebagai yang paling berjasa dalam melawan Covid-19.

Apa yang kita bisa teladani dari Harkitnas ialah tentang visi di baliknya. Dalam historiografi Indonesia, Harkitnas merujuk pada berdirinya organisasi Boedi Oetomo oleh sejumlah pelajar STOVIA di tahun 1908.

Boedi Oetomo merupakan tonggak penting dalam sejarah Indonesia, karena dari sinilah muncul visi tentang nasionalisme, penegasan identitas kebangsaan sekaligus upaya untuk mewujudkan negara yang merdeka dan berdaulat. Kesamaan visi itulah yang mampu mengaburkan egoisme sektoral dan meruntuhkan sekat-sekat sosiologis, ideologis, politis dan keagamaan. Semua elemen masyarakat bersatu-padu memperjuangkan kemerdekaan dari tangan penjajah.

Spirit kesamaan visi tentang nasionaisme itulah yang harus kita teladani dalam konteks melawan pandemi. Masyarakat harus bersama-sama menyadari bahwa perang melawan pandemi ini ialah visi nasional yang membutuhkan dukungan semua pihak. Perang melawan pandemi bukanlah visi sektoral, apalagi individu. Maka, penanganan pandemi haruslah mengedepankan sisi kebersamaan sekaligus kemanusiaan.

Perang melawan pandemi bukanlah ajang mempertontonkan kesombongan, kepongahan, apalagi disisipi motif ego sektoral dan kepentingan politik individual. Bagaimana pun juga kita tetap harus mengedapankan dimensi etika dalam situasi sulit seperti ini.

Menyamakan Visi Melawan Pandemi

Maka, apa yang kita butuhkan saat ini untuk melawan pandemi dan dampak turunannya ialah menyamakan visi. Ilmuwan sosial Peter Senge berpendapat, visi merupakan hal penting sebagai sebuah acuan untuk mencapai satu tujuan. Senge menegaskan bahwa manusia tidak perlu risau apalagi takut ada kesejangan antara visi yang dicanangkan dengan realitas yang dicapai. Sebaliknya, manusia harus berusaha memangkas kesenjangan (tension gap) itu dengan mendekatkan visi dengan realitas, atau sebaliknya mendekatkan realitas dengan visi itu sendiri.

Jika kita melihat kondisi saat ini, visi mengatasi pandemi dapat dipetakan ke dalam dua variabel penting. Pertama, kepentingan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat dari bahaya penularan virus. Hal ini dilakukan dengan menerapkan pembatasan sosial dan penerapan protokol Covid-19.

Kedua, kepentingan untuk melindungi ekonomi nasional dari ancaman badai krisis yang diakibatkan pandemi Covid-19. Upaya ini diwujudkan dengan memberikan bantuan stimulus pada para pengusaha atau pelaku industri serta jaminan pengaman sosial bagi masyarakat ekonomi lemah agar aktivitas konsumsi tetap terjaga. Stimulus dunia usaha dan bantuan sosial inilah yang akan menopang tetap tegaknya ekonomi nasional.

Untuk mewujukan visi bersama itu, dibutuhkan pikiran yang terbuka (open mind) dan hati yang terbuka (open heart) serta kemauan yang terbuka (open will). Dengan ketiganya, maka visi nasioal memerangi pandemi Covid-19 akan dapat diaplikasikan. Hari-hari menjelang puncak atau akhir Ramadan ini kiranya menjadi momen sakral dan tepat untuk membuka hati, pikiran dan keinginan kita agar dapat melaksanakan visi bersama melawan pandemi. Ramadan ialah momentum tepat untuk membuka hati dan pikiran, terutama melalui rangkaian ibadah wajib dan sunnah yang dianjurkan selama bulan Ramadan.

Menahan nafsu biologis selama sebulan lamanya ialah latihan efektif untuk membuka mata hati dan menyingkap akal-pikiran manusia. Dengan menahan godaan untuk tidak makan, minum, berhubungan badan, marah, serta hanya mengarahkan pikiran pada Allah, niscaya hati dan pikiran manusia akan terbuka untuk menerima hal-hal positif. Keterbukaan hati dan ketersingkapan akal-pikiran itulah yang akan menuntun manusia pada keinginan-keinginan yang mulia dan bijak. Maka, puncak capaian seorang yang berpuasa, bukanlah dilihat semata dari dimensi spiritualitas-individualnya, melainkan dari dimensi sosial-kemanusiannya. Akhirul Kalam, semoga momentum puncak puasa ini bisa menjadi sarana terbukanya pintu langit agar kita bisa melayangkan doa pada Allah, berharap pandemi ini segera diangkat dari muka bumi. Begitu pula, peringatan Harkitnas kiranya mampu memupuk jiwa nasionalisme kita terutama dalam konteks melawan pandemi Covid-19 ini.

Facebook Comments