Internalisasi terhadap makna Pancasila sesungguhnya berujung pada implementasi semangat gotong royong, apalagi dalam konteks sekarang, masa pandemi covid-19. Gotong royong sangat dibutuhkan untuk saling membantu, antara yang kaya dengan yang miskin, yang mampu dengan yang tidak mampu, yang berpunya dengan yang tidak berpunya.
Persis seperti yang pernah disampaikan presiden pertama Indonesia, Soekarno, saat menyampaikan pidato 1 Juni 1945, yang diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Dalam kesempatan itu, ia mengatakan, “Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong. Alangkah hebatnya! Negara gotong royong!”, ungkap Soekarno yang dihadiahi tepuk tangan oleh anggota sidang BPUPKI.
Dalam kacamata Soekarno, gotong royong merupakan ruh dari Pancasila sebagai ideologi bangsa. Pancasila, yang berarti Lima Sila, kata Soekarno, jika diperas akan menjadi Tri Sila, yaitu socio-nationslime, socio-democratie, dan ketuhanan. Dan dari Tri Sila itu, jika diperas lagi menjadi Eka Sila, yaitu Gotong Royong.
Kerena sebagai bagian atau unsur dari sebuah ideologi Pancasila, menurut Soekarno, dalam ungkapannya pada pidato 1 Juni 1945, mengatakan, “Gotong royong adalah adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari ‘kekeluargaan’. Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo, satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini bersama-sama! Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kehilangan semua. Holopis-kuntul-barisbuat kepentingan bersama! Itulah gotong royong!”.
Saling membantu dan menghormati
Dari pernyataan di atas, tampaklah bagaimana Pancasila dirumuskan berdasarkan semangat gotong royong yang dilandasi oleh nilai-niliai kemanusiaan. Artinya, jika kondisi sekarang, bangsa kita dan seluruh elemen masyarakat sedang menghadapi wabah covid-19, segala keluh-kesah, penderitaan yang dialami oleh sebagian masyarakat, maka dengan semangat gotong royong, diharapkan saling membantu satu sama lain.
Baca Juga : Menangkal Ancaman Terorisme di Masa Pandemi
Gotong royong dalam konteks itu, dipahami sebagai perbuatan terpuji untuk saling membantu sesama di atas prinsip kemanusiaan, sesuai dengan Sila ke-2, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dan terbukti, sebagaimana kita amati dan rasakan bersama, solidaritas masyarakat untuk korban covid-19 sejak awal hingga kini telah menunjukkan perilaku positif, saling membantu, berjiwa gotong royong.
Namun demikian, gotong royong tidak hanya bermakna saling membantu dan tolong menolong, tetapi juga memiliki dimensi lain, berkaitan dengan keharmonisan dan saling menghormati. Gotong royong yang bermakna saling menghormati ini dalam skala luas, baik perbedaan etnis, bahasa, maupun agama.
Hal itu ditegaskan oleh Soekarno bahwa, “Prinsip gotong royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan pranakan yang menjadi bangsa Indonesia”. Dari sini, tampak jelas bagaimana semangat gotong royong telah ditanamkan sejak awal sebelum bangsa ini merdeka.
Bahwa solidaritas, saling membantu, dan saling menghormati satu sama lain, tidak mengenal batas perbedaan primordial, seperti beda etnis, bahasa, dan agama. Internalisasi terhadap semangat gotong royong dengan sendirinya akan mengantarkan setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk saling berkontribusi demi kebaikan bersama. Pada akhirnya, jika semangat gotong royong semakin kuat dalam diri setiap warga, akan mengantarkan pula pada jiwa nasionalisme dan sekaligus patriotisme. Membantu dan menolong sesama, bukan semata-mata pangilan kemanusiaan dan agama, tetapi telah menjadi pandangan hidup bangsa.