Pancasila, Islam Revivalis dan Irelevansi Khilafah

Pancasila, Islam Revivalis dan Irelevansi Khilafah

- in Narasi
1794
0
Pancasila, Islam Revivalis dan Irelevansi Khilafah

Hari lahir Pancasila yang diperingati saban tanggal 1 Juni merupakan momentum pengakuan bahwa Pancasila tidak hanya menjadi dasar, falsafah dan ideologi negara. Lebih dari itu, Pancasila ialah rujukan atas sistem sosial-politik yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh warganegara. Namun, ironisnya hingga saat ini masih saja ada kelompok yang berniat menggugat keabsahan Pancasila dan berupaya menggantikannya dengan ideologi lain. Salah satu tantangan Pancasila yang paling berat saat ini hadir dari kelompok Islam revivalis.

Istilah Islam revivalis dipopulerkan oleh intelektual Islam Fazlur Rahman. Dalam bukunya yang berjudul Revival and Reform in Islam Rahman memakai istilah Islam revivalis untuk menyebut gerakan kaum Islam yang terobsesi dengan romantisme kejayaan masa lalu dan terobsesi pada kemurnian atau kesucian ajaran Islam. Kaum revivalis berpandangan bahwa umat Islam di zaman ini tengah mengalami dekadensi moral dan etika lantaran hidup di bawah sistem sosial, politik dan ekonomi yang berasal dari kaum kafir Barat. Atas dasar asumsi itu, kaum revivalis mengagendakan gerakan untuk mengembalikan Islam ke dalam kejayaannya, yakni dengan menerapkan ajaran Islam secara formal melalui pendirian negara Islam (daulah Islamiyah) bersistem khilafah dan berdasar syariah.

Dalam perkembangannya, revivalisme Islam ini mewujud ke dalam sejumlah bentuk gerakan yang umumnya berkarakter radikal dan ekstrem. Jika ditinjau dari akar kemunculannya, revivalisme dapat dilacak dari pemikiran keislaman sejumlah tokoh mulai dari Ibnu Taimiyyah, Sayyid Qutb (tokoh Ikhwanul Muslimin) dan Syekh Abdul Wahhab (pendiri Wahabi). Ketiganya kerap dijadikan sebagai ulama panutan bagi kaum revivalis-puritan yang menghendaki pemurnian Islam dan mengembalikan kejayaan Islam melalui penerapan khilafah.

Dalam konteks Indonesia, revivalisme Islam ini sudah ada sejak era Orde Baru dan mulai tumbuh subur di era Reformasi. Kebebasan berpendapat dan terbukanya ruang publik memungkinkan kaum revivalis Islam untuk menyebarkan gagasan puritanisme keislamannya. Di tengah gairah keislaman masyarakat Indonesia yang tengah memuncak, gagasan-gagasan kaum revivalis tentang kejayaan Islam, kemurnian agama dan sejenisnya segera mendapat pengikut luas dari beragam kalangan. Saat ini seperti dapat kita lihat, gerakan revivalisme Islam memiliki basis yang kuat di masyarakat, mulai dari kalangan profesional kelas menengah hingga pekerja informal kelas bawah.

Khilafah Sebagai Gerakan Politik, Bukan Agama

Di Indonesia gerakan revivalisme Islam umumnya mengerucut pada satu isu, yakni tuntutan untuk mengembalikan tujuh ayat dalam sila pertama Pancasila sesuai dengan teks Piagam Jakarta. Sila Pertama Piagam Jakarta yang berbunyi “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” dianggap sebagai representasi ajaran Islam yang harus diperjuangkan. Perjuangan mengembalikan Piagam Jakarta untuk menggeser Pancasila itu sebenarnya hanyalah pintu masuk untuk misi yang lebih besar selanjutnya, yakni mengubah bentuk dan dasar negara dari Republik Indonesia berdasar Pancasila menjadi negara Islam dengan sistem khilafah.

Baca Juga : Menangkal Ancaman Terorisme di Masa Pandemi

M. Amin Abdullah (2006) mengidentifikasi kelompok Islam revivalis di Indonesia dengan karakter berpikir dan beragama yang kaku, rigid dan tekstualis. Mereka cenderung memahami doktrin Islam secara literalistik dan menjadikan teks sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Abdullah berpandangan bahwa corak berpikir yang demikian ini irelevan dengan realitas sosial dan politik umat Islam yang dinamis dan terus berubah sepanjang waktu. Dalam argumen Abdullah, teks memiliki keterbatasan padahal realitas sosial serba tidak terbatas. Pola pikir dan corak keberagamaan yang rigid sebagaimana dipraktikkan oleh kaum revivalis itu pada akhirnya akan berbenturan dengan banyak hal. Dalam konteks Indonesia, benturan itu mewujud dalam perdebatan mengenai bentuk dan dasar negara yang seolah tidak berujung.

Perdebatan itulah yang lantas melahirkan faksi anti-NKRI dan anti-Pancasila yang selama ini menjadi benalu bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Mereka hidup di bumi Indonesia, menghirup udara dan airnya, bekerja dan beranak pinak di atas tanahnya, namun selalu mencela Pancasila dan mengobarkan kebencian pada pemerintah yang sah. Sebuah hal yang tidak hanya ironis, namun juga absurd dan irelevan. Gerakan anti Pancasila dan NKRI itu kian mendapat angin segar dengan masuknya ideologi khilafah yang dibawa oleh sejumlah eksponen organisasi Islam transnasional seperti Hizbut Tahrir (HT) atau ISIS dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini (Carool Kersten: 2016).

Di Timur Tengah, HT dan ISIS telah menjadi dua aktor penting yang melatari pergolakan sejumlah negara di kawasan Arab. Fenomena revolusiArab Spring yang meluluhlantakkan sebagian negara di kawasan Timur Tengah salah satunya dilatari oleh agitasi dan provokasi dari kaum revivalis berkarakter ekstremis. Mereka mengadu domba masyarakat dengan menebarkan kebencian pada rezim dengan tujuan merubuhkan negara dari dalam. Konflik sektarian di kawasan Timur Tengah itulah yang tampaknya ingin dikobarkan oleh para pengusung khilafah di Indonesia. Mereka berharap Indonesia menjadi medan perang saudara sesama muslim agar pemerintah yang sah terdelegitimasi. Tujuannya satu, yakni menegakkan panji khilafah yang diklaim sebagai sistem politik paling kaffah dalam Islam (Musa Kazim: 2018).

Bassam Tibi dalam bukunya berjudul Islamism and Islam menyebut bahwa gerakan pendirian khilafah yang diinisasi oleh kelompok revivalis Islam tidak lain merupakan bentuk dari politisasi agama (Islam). Mereka menjadikan Islam sebagai komoditas sekaligus senjata untuk meraih kekuasaan. Ini artinya, gerakan khilafahyang dikampanyekan oleh kaum islamis sama sekali tidak berdasar pada keimanan relijius Islam, alih-alih didasarkan pada penerapan ideologis atas Islam di ranah politik. sederhananya, gerakan khilafahialah gerakan politik, bukan gerakan agama.

Pancasila sebagai Inspirasi Solidaritas dan Kegotongroyongan

Dalam konteks Indonesia yang multirelijius dan multikultur, Pancasila merupakan titik temu yang mempersatukan kebinekaan menjadi sebuah keniscayaan dan kekuatan bangsa. Pancasila menjamin terciptanya kesetaraan atau egalitarianisme, dimana semua kelompok agama, suku dan ras memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum positif negara. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum tidak mengenal pembedaan strata warganegara, sebagaimana hukum Islam di masa klasik yang membedakan masyarakat berdasarkan pada agamanya. Yakni golongan muslim, kafir harbi dan kafir dzimmi. Dalam konsep negara bangsa (nation state) seperti Indonesia, klasifikasi yang demikian itu jelas irelevan dengan prinsip universalitas kemanusiaan dan hak asasi manusia sebagaimana dikandung Pancasila dan UUD 1945. Peringatan hari lahir Pancasila di tengah situasi keprihatinan akibat pandemi Covid-19 ini kiranya bisa meneguhkan kembali komitmen kebangsaan kita dan kesetiaan kita pada NKRI dan Pancasila. Situasi pandemi yang kita hadapi saat ini tentu tidak mudah. Pandemi tidak hanya berdampak pada kesehatan, namun juga ekonomi dan ranah sosial yang lebih luas. Meski demikian, kita bisa melihat bagaimana bangsa ini bersinergi melawan pandemi dengan mengedepankan solidaritas dan gotong-royong. Tanpa dikomandoi oleh negara, masyarakat melakukan inisiatif kolektif untuk menggalang donasi dan bantuan untuk meringankan beban sesamanya. Ini membuktikan bahwa Pancasila sudah tertanam secara alamiah dalam struktur berpikir dan bertindak masyarakat Indonesia. Beda halnya dengan ideologi khilafahyang asing dan tentunya irelevan dengan konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia.

Facebook Comments