Menangkal Ancaman Terorisme di Masa Pandemi

Menangkal Ancaman Terorisme di Masa Pandemi

- in Narasi
1890
2
Menangkal Ancaman Terorisme di Masa Pandemi

Terorisme memang tidak kenal lelah dan waktu. Terbukti, di masa pandemi jaringan terorisme tidak rehat dalam melancarkan aksinya. Seperti yang baru saja terjadi di Daha, Kalimantan Selatan. Seorang yang teridentifikasi sebagai anggota jaringan teroris dan berafiliasi dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) menyerang Kantor Polisi Sektor Daha Selatan, Kalimantan Selatan.

Peristiwa teror itu menyebabkan gugurnya satu anggota Polri dan melukai satu Polisi lainnya. Sementara sang pelaku teror tewas diterjang timah panas petugas. Peristiwa penyerangan Kantor Polsek Daha Selatan ini seolah membuktikan kekhawatiran pemerintah terhadap ancaman terorisme di masa pandemi Covid-19. Sejak awal ketika wabah Covid-19 mulai menyebar di Indonesia, pemerintah telah mencium gelagat jaringan teror di sejumlah daerah.

Di bulan April lalu misalnya, Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-teror menangkap sejumlah anggota Jama’ah Ansharut Daulah (JAD), organisasi radikal yang berafiliasi dengan ISIS. Dari penangkapan tersebut terungkap bahwa jaringan teroris di Indoneisa berencana melancarkan aksi teror di tengah wabah Covid-19.

Pergerakan jaringan terorisme di masa pandemi ini tidak pernah berhenti. Sebagian jaringan teror memanfaatkan situasi pandemi untuk melancarkan aksi mereka, mulai dari menyebarkan narasi-narasi provokatif untuk mendelegitmasi kinerja pemerintah melawan Covid-19, merekrut anggota baru dan mendoktrin mereka dengan ideologi jihadnya, sampai melancarkan aksi seperti terjadi baru-baru ini (Ridwan Habib: 2020).

Kepanikan dan kecemasan publik akibat pandemi dimanfaatkan betul oleh kelompok teroris untuk mempengaruhi publik dengan paham-paham radikal keagamaan. Salah satu strategi awalnya ialah dengan berupaya meruntuhkan kepercayaan publik pada pemerintah melalui penyebaran berita palsu.

Baca Juga : Pentingnya Laku Pancasila di Tengah Pandemi

Di media sosial, para eksponen gerakan radikalis-teroris ini begitu santer memproduksi kebencian pada pemerintah dengan memanfaarkan isu pandemi Covid-19. Mereka tanpa henti membangun narasi bahwa pemerintah telah gagal mengatasi pandemi. Narasi provokatif itu bertujuan untuk menarik simpati publik. Jika tujuan itu tercapai, maka kesempatan untuk merekrut dan mendoktrin anggota baru akan lebih terbuka lebar.

Di sisi lain, jaringan teroris di Indonesia juga memanfaatkan kelengahan pemerintah yang saat ini tengah sibuk berjibaku melawan Covid-19. Harus diakui, seluruh kekuatan negara saat ini dikerahkan untuk melawan pandemi dan mengatasi dampak-dampaknya. Termasuk aparat Polri dan TNI.

Situasi ini dimanfaatkan betul oleh anggota teroris untuk melancarkan aksinya. Kita tentu tidak bisa menyebut peristiwa teror di Kantor Polsek Daha Selatan itu sebagai kelalaian atau kelengahan aparat keamanan. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa situasi pandemi ini telah mengalihkan perhatian kita pada isu radikalisme dan terorisme.

Padahal, seperti kita tahu terorisme tidak pernah tidur. Sel-sel jaringannya barangkali memang tidak tampak mencolok di permukaan, namun jaringannya tetap hidup; merekrut anggota baru, menyebarkan doktrin dan menyusun strategi untuk menyerang. Teror terhadap anggota Polri di Polsek Daha, Kalsel bisa dibaca sebagai sebuah pesan kecil dari teroris bahwa mereka masih eksis.

Meski demikian, patut digarisbawahi bahwa kekuatan mereka di masa pandemi ini tampaknya mulai melemah. Terlihat dari pola serangan yang hanya mengandalkan senjata tajam, alih-alih bom sebagaimana menjadi senjata andalan kelompok teroris radikal. Meski demikian, terorisme adalah ancaman nyata yang harus diwaspadai. Apa pun strategi dan senjata yang digunakan untuk melancarkan aksinya, terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang layak dijadikan sebagai musuh bersama.

Fakta bahwa jaringan teroris di Indonesia yang beraksi di tengah pandemi ini ialah anggota jaringan ISIS membuktikan bahwa sebagai ideologi ISIS masih tetap eksis. Mereka memang tidak lagi memiliki wilayah teritorial dan basis pertahanan. Namun, hal itu tidak lantas dapat diartikan bahwa ISIS telah musnah dari muka bumi. Sebaliknya, jaringan ISIS yang tersebar di sejumlah negara di dunia masih tetap hidup. kenyataan inilah yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Situasi pandemi ini kiranya tidak membuat kita lengah, apalagi abai pada isu radikalisme dan terorisme. Pemerintah selaku pemegang otoritas paling tinggi dalam pemberantasan terorisme tidak boleh mengendurkan tingkat kewaspadaannya terhadap jaringan teroris. Pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait harus terus meningkatkan kewaspadaan dan pengawasan terjadap sepak terjang kelompok teroris. Pemerintah wajib memastikan tidak ada ruang gerak bagi teroris untuk melancarkan aksinya.

Dalam konteks yang lebih spesifik, aparat keamanan baik Polri maupun TNI harus meningkatkan pengamanannya di obyek-obyek vital yang kerap menjadi langganan serangan teroris. Pesan kecil dari jaringan teroris harus segera direpons oleh tindakan keamanan dan hukum. Jangan sampai, jaringan teror berpesta di tengah wabah Covid-19. Jangan sampai pula, masyarakat yang tengah kalut dan resah bertambah bebannya oleh aksi-aksi teror yang merajalela.

Di sisi lain, pemerintah harus mampu mempraktikkan kepemimpinan yang solid di masa pandemi ini. Salah satu caranya dengan membangun komunikasi yang efektif dan efisien terkait penanganan pandemi Covid-19. Hal ini penting agar tercipta kesalingpercayaan antara masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi masa pandemi ini. Rasa kesalingpercayaan antara pemerintah dan masyarakat akan menjadi benteng kuat yang sukar ditembus oleh propaganda radikalisme dan terorisme.

Tidak kalah penting dari itu ialah kewaspadaan masyarakat untuk senantiasa memastikan lingkungan sekitar kondusif dan aman dari anasir terorisme. Sistem pertahanan yang melibatkan publik selama ini terbukti efektif dalam mengidentifikasi gerak-gerik jaringan teroris.

Sebagaimana kita tahu, anggota jaringan teroris identik sebagai individu yang lihai dalam menyusup ke masyarakat dan mengkamuflasekan identitas dan latar belakangnya. Selalu memperhatikan kondisi sekitar dan lingkungan ialah hal wajib yang harus selalu kita lakukan. Jika ada kondisi yang tidak wajar atau mencurigakan, hendaknya segera dilaporkan kepada aparat keamanan.

Di saat yang sama, masyarakat juga perlu melawan narasi negatif dan provokatif yang disebar para eksponen teroris radikal atau simpatisannya di media sosial. Narasi kaum radikal teroris harus ditandingi dengan narasi yang mampu menyuntikkan rasa optimis dan sikap positif. Sinergi pemerintah dan masyarakat ini sangat kita butuhkan untuk menutup ruang gerak jaringan teroris, terlebih di masa pandemi Covid-19 ini.

Serangan teror ke anggota Polri yang bertepatan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni adalah sebuah penghinaan nyata atas kedaulatan negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 ialah bentuk final yang tidak bisa diganggu gugat. Mengubah dasar berarti meruntuhkan seluruh bangunan negara yang itu sama artinya dengan menghancurkan negara dari dalam.

Apa yang dilakukan oleh jaringan teroris di masa pandemi ini sekaligus membuktikan bahwa mereka ialah kelompok oportunis yang tuna kemanusiaan. Melakukan aksi teror di tengah pandemi ialah puncak dari matinya empati dan nilai kemanusiaan. Padahal, Islam sangat mementingkan sikap empati dan nilai kemanusiaan. Di titik ini, tampak jelas bahwa kaum teroris tidak memperjuangkan nilai Islam sebagaimana mereka gembar-gemborkan selama ini, alih-alih hanya melampiaskan hawa nafsu destruktifnya. Kelompok oportunis semacam JAD dan organisasi lain yang berafiliasi ke gerakan khilafah global sudah selayaknya diberantas dari bumi pertiwi. Mereka tidak lain hanyalah benalu yang membikin kisruh bangsa.

Facebook Comments