Indonesia memang sangat luar biasa penyebaran hoax dan disinformasi yang merajalela. Satu kasus dengan yang lain ditafsir dan dibincangkan dengan saling menyudutkan. Tidak lama dari kasus penusukan Syekh Ali Jaber muncul foto pelaku memegang bendera komunis. Muncul juga nama pelaku yang disebut Alfred. Dibalas oleh kelompok lain pelaku memegang bendera pengusung khilafah.
Perang hoax tidak berhenti di situ. Kejadian lain pembacokan terhadap pengurus masjid di Sumatera Selatan pada 11 September 2020 siang juga menggemparkan. Narasi berkembang Imam Masjid dibacok sebagai bentuk kriminalisasi. Padahal faktanya, korban adalah pengurus DKM yang dibacok oleh bendaharanya sendiri gegara persoalan kotak amal.
Spekulasi, asumsi dan provokasi deras meluncur melebih fakta yang ada. Berbagai informasi sesat tersebar luas yang pada akhirnya bertumpu pada tuduhan anti ulama dan sekali lagi isu lama bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak ayal, jika ada kelompok sudah menyerukan “siaga jihad” untuk merespons dua kejadian tersebut. Bahkan ada pula yang mencoba mendorong hukum qishas terhadap kasus penusukan Ali Jaber. Apa yang ada dalam pikiran mereka untuk menerapkan qishas di tengah hukum positif yang ada?
Apabila kita mencoba untuk membaca secara mendalam sepertinya arus besar dari narasi pemerintah anti Islam dan kebangkitan PKI selalu berjalan seiring. Terutama dalam setiap peristiwa yang melibatkan isu-isu agama. Dua narasi propaganda pemerintah anti Islam dan PKI menjadi jualan propaganda kelompok tertentu untuk memprovokasi masyarakat.
Apa yang ingin diharapkan dari dua narasi yang terus berjalan ini? Delegitimasi pemerintahan dengan mengaitkan PKI akan memunculkan anarki dan main hakim sendiri. Suasana ketidakpercayaan masyarakat akan didorong melalui berbagai aksi untuk kepentingan politik tertentu. Bahaya dua narasi ini akan terus berkembang dalam setiap isu apapun apalagi menjelang 30 September yang selalu dikenang sebagai gerakan G/30 S/PKI.
Masyarakat tentu harus menjadi cerdas dalam membaca fakta dan memilah propaganda. Kasus penusukan Syekh Ali Jaber telah mendapatkan penanganan khusus dari pemerintah. Bahkan Presiden Jokowi memberikan atensi khusus dengan melibatkan BNPT, BIN dan Polri untuk menyingkap peristiwa ini agar tidak melebar menjadi asumsi dan provokasi. Sementara kasus pembacokan pengurus DKM memang murni masalah pribadi yang dikaitkan dengan isu kriminalisasi.
Kebangkitan PKI memang menjadi jualan propaganda yang empuk. Sudah cukup jelas bahwa Bangsa Indonesia telah menutup rapat terhadap kebangkitan PKI dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan melarang pembentukannya. Ini dasar konstitusional yang sangat penting untuk menjamin gerakan apapun terkait PKI. Tidak hanya itu, UU No 16 tahun 2017 juga semakin mempertegas larangan Ormas yang menyebarkan ajaran Ateisme, Komunisme, Leninisme sebagai sumber rujukan ideologi dan gerakan komunisme.
Dalam konteks inilah, masyarakat dituntut harus cerdas dalam membaca semua propaganda murahan yang tiada henti. Akan selalu ada narasi kriminalisasi ulama, pemerintah anti Islam dan PKI yang akan mengiringi berbagai peristiwa. Apa tujuannya? Tentu dalam skema besarnya adalah penanaman ketidakpercayaan kepada pemerintah. Selanjutnya adalah mengadu domba masyarakat untuk dapat melancarkan berbagai aksi.
Dalam negara hukum, masyarakat harus didorong untuk mempercayai proses penegakan hukum yang terus berjalan. Selain itu, pemerintah melalui aparat penegak hukum harus bergerak cepat untuk memberikan kepastian hukum agar tidak melebar menjadi asumsi, spekulasi apalagi provokasi. Tokoh agama tentu saja berperan penting untuk meredam berbagai propaganda dan provokasi. Statemen yang menyejukkan dari berbagai kalangan untuk menghormati proses hukum akan menjadi peredam bagi provokasi yang ingin mendorong anarki.