Setiap tanggal 10 Juni, kita memperingati Hari Media Sosial Nasional. Peringatan ini dimulai sejak enam tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2015. Adalah Handi Irawan, CEO Frontier Group yang pertama kali mencetuskan ide Hari Media Sosial Nasional. Gagasan utama peringatan Hari Media Sosial Nasional ini ialah mengirimkan pesan pada masyarakat ihwal bagaimana memanfaatkan media sosial dengan cerdas dan bijak. Peringatan ini menjadi kian relevan mengingat semakin ke sini, media sosial telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya.
Media sosial tidak hanya sekadar menjadi jejaring komunikasi virtual global, namun juga telah menjadi sarana mencari dan menyebarkan informasi serta membangun opini publik dalam isu apa pun. Maka, tidak mengherankan jika media sosial memiliki peran dan posisi strategis. Baik dalam isu ekonomi, sosial, politik, budaya maupun agama. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa media sosial telah mengubah nyaris seluruh dimensi kehidupan manusia.
Kini, sebagian besar masyarakat bisa terkoneksi satiu sama lain, bertukar pesan dan informasi serta membangun opini melalui jejaring media sosial. Seturut data Kemenkominfo, saat ini terdapat setidaknya 170 juta pengguna media sosial aktif di Indonesia. Jumlah itu setara dengan 61, 8 persen total populasi. Rata-rata, masyarakat Indonesia menghabiskan waktunya 2-4 jam di media sosial setiap harinya.
Namun demikian, harus diakui bahwa media sosial lebih mirip seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menjanjikan apa yang disebut sebagai demokratisasi informasi dan pengetahuan. Di media sosial, semua orang berhak memproduksi dan menyebarluaskan informasi, pengetahuan maupun opini tanpa dibatasi oleh apa pun. Orang-orang yang tidak mendapatkan tempat di media mainstream (tv, koran, radio, dan sejenisnya) bisa mendapat ruang yang luas di media sosial. Namun, di sisi lain demokratisasi pengetahuan dan informasi itu tampaknya juga meninggalkan residu. Antara lain ialah maraknya hoaks, ujaran kebencian dan provokasi yang mewabah di dunia medsos kita belakangan ini.
Dalam konteks Indonesia kita menyaksikan sendiri bagaimana dalam satu dekade terakhir medsos telah menjadiajang perang opini antarkelompok masyarakat. Tidak jarang, perang opini itu berakhir dengan bertukar cacian. Nyaris tidak ada produksi wacana, pemikiran dan gagasan baru nan segar. Alih-alih, medsos telah menjadi inkubator lahirnya hoaks dan kebencian. Di titik inilah bisa disimpulkan bahwa kondisi dunia medsos atau ruang publik digital tidak kondusif.
Sinergi Bersama Demi Medsos Sehat
Upaya mewujudkan ruang publik digital yang sehat tentu merupakan tanggung jawab bersama seluruh pihak, mulai dari pemerintah, perusahaan penyedia layanan media sosial, organisasi masyarakat sipil, sampai masyarakat pengguna medsos itu sendiri. Dari sisi pemerintah, perlu ada regulasi yang jelas untuk mengatur penggunaan media sosial. Di titik ini, pemerintah memiliki kewajiban untuk menegakkan hukum terhadap segala tindakan pelanggaran bermedia sosial, termasuk penyebaran hoaks dan provokasi.
Upaya pemerintah memberantas hoaks dan provokasi di dunia digital kiranya juga harus didukung oleh perusahaan penyedia layanan medsos. Selama ini, seperti kita tahu perusahaan penyedia layanan medsos kerapkali membiarkan platform buatannya menjadi sarang penyebaran hoaks. Perusahaan sekelas Facebook misalnya kerap dikritik karena tidak memiliki sistem filter dan pengamanan terkait konten-konten bernada kebencian dan hoaks.
Selain penindakan hukum, hal tidak kalah pentingnya ialah melakukan edukasi ke publik ihwal bermedia sosial yang sehat. Di titik ini, organisasi masyarakat sipil kiranya bisa memberikan andil untuk memberikan pendidikan literasi digital pada masyarakat. Literasi digital diperlukan agar publik bisa menggunakan media sosial secara produktif dan memberikan dampak positif.
Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah membangun kesadaran di kalangan pengguna medsos itu sendiri. Masyarakat perlu menyadari bahwa kebebasan di medsos bukanlah kebebasan mutlak atawa absolut. Medsos memiliki batasan yakni aturan hukum dan norma etika. Dua hal itulah yang idealnya menjadi pegangan ketika kita masuk ke dalam ruang digital bernama media sosial. Survei lembaga Microsoft tempo hari yang menyebut netizen Indonesia paling tidak sopan di Asia kiranya menjadi semacam warning alarm untuk kita.
Kedepan kita perlu membangun iklim dunia digital yang sehat. Steril dari hoaks, kebencian dan provokasi. Medsos idealnya bisa menjadi ruang publik virtual dimana segala gagasan dan wacana diproduksi, didistribusikan dan dikontestasikan secara kritis dan rasional. Ruang publik digital yang konstruktif itulah yang kiranya akan memperkuat peradaban kita sebagai sebuah bangsa.