Dalam beberapa tahun terakhir, tren aksi terorisme menunjukkan angka penurunan yang cukup signifikan. Tercatat dalam tiga belakangan, gerakan terorisme mengalami semacam kemunduran (decline) sehingga nisbi tidak mampu merancang dan melakukan aksi teror yang besar. Menurut analis terorisme Sidney Jones hal ini terjadi karena sejumlah faktor.
Pertama, pasca kejatuhan ISIS pada tahun 2016 otomatis tidak ada organisasi jaringan teroris global yang menjadi semacam role-model bagi gerakan radikal di seluruh dunia. Kebangkrutan ISIS memicu tiarapnya kelompok-kelompok radikal di banyak negara, termasuk Indonesia.
Kedua, penegakan hukum yang ketat dan masif oleh sejumlah negara, termasuk Indonesia secara langsung berpengaruh dalam menutup ruang gerak kelompok teroris. Di Indonesia, gerak cepat aparat keamanan dalam membongkar jaringan teror membuat kelompok radikal kewalahan dalam menyusun strategi gerakan dan merencakan aksi teror.
Ketiga, terputusnya aliran pendanaan dari luar negeri sebagai akibat dari ketatnya regulasi aliran keuangan yang dilakukan pemerintah. Dalam beberapa tahun belakangan, pemerintah gencar menelusuri aliran dana asing ke kelompok teroris di tanah air. Sejumlah rekening bank pun diblokir guna menutup celah pendanaan aksi teror.
Keempat, dalam konteks yang lebih spesifik, pandemic Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 sampai akhir 2021 ikut andil dalam mendorong gerakan radikal-teroris untuk vakum. Anggota jaringan teror sibuk menyelamatkan diri. Alhasil, aksi terorisme pun menurun drastis.
Narasi Intoleran-Radikal di Tengah Menurunnya Aksi Terorisme
Meski demikian, tren penurunan angka terorisme ini kiranya tidak boleh kita sikapi dengan menepuk dada. Perang melawan terorisme belum usai atau barangkali tidak akan pernah usai. Selama, intoleransi dan radikalisme masih eksis di planet ini, bisa dipastikan akar-akar terorisme masih akan terus tumbuh menjalar kemana-mana. Tersebab, intoleransi dan radikalime ialah akar dari terorisme.
Jatuhnya ISIS misalnya, tidak lantas membuat kelompok radikal punah. Pasca ISIS ideologi teror justru semakin tersebar luas. Doktrin ISIS yang menyeru simpatisannya untuk melakukan aksi teror tunggal dimana dan kapan saja. Di saat yang sama, ketika pemerintah gencar memburu kelompok teror, kaum radikal justru tidak hentinya menebar narasi intoleran-radikal.
Narasi intoleran-radikal dicirikan dengan setidaknya tiga hal. Pertama, sikap anti pada keberagamaan yang moderat, inklusif, dan toleran serta menganggapnya sebagai penyelewengan akidah. Dalam pandangan kaum radikal, keberislaman yang moderat akan merusak tauhid umat Islam.
Kedua, menebarkan kebencian pada kelompok minoritas. Kaum radikal selalu mengklaim keimanan dan agamanya sebagai yang paling benar. Alhasil, mereka menganggap kelompok minoritas sebagai musuh atau ancaman yang harus dienyahkan.
Ketiga, menebar sikap-anti pemerintah dengan tujuan mendelegitimasi kekuasaan dan kepemimpinan yang sah. Di mata kelompok radikal, apa yang dilakukan pemerintah selalu salah. Karena itulah mereka tidak henti menebar kebohongan dan fitnah untuk menyerang pemerintah.
Keempat, menghasut publik agar tidak percaya lagi pada Pancasila sebagai falsafah bangsa. Kaum radikal selalu membenturkan antara Pancasila dan Islam. Corak berpikir kontradiktif ini memuncak pada kesimpulan prematur bahwa Pancasila bertentangan dengan ajaran Islam.
Kelima, mengobarkan sentimen alergi pada budaya dan kearifan lokal Nusantara yang menjadi salah satu ciri dan jatidiri bangsa. Kaum intoleran-radikal selalu berupaya mengaburkan identitas kebangsaan, salah satunya dengan berusaha memusnahkan akar budaya dan tradisi lokal.
Melawan Narasi Intoleran-Radikal
Lima hal itulah yang harus kita lawan bersama. Tersebab, narasi anti-minoritas, pemerintah, Pancasila, dan tradisi lokal pada dasarnya merupakan perwujudan dari ideologi ekstremisme yang tidak kalah berbahayanya dengan terorisme. Terorisme nyatanya tidak selalu mewujud pada kekerasan fisik. Di tengah kondisi seperti saat ini, terorisme lebih banyak mewujud pada propaganda kebencian dan provokasi perpecahan.
Disinilah pentingnya kita melawan segala narasi intoleran-radikal, baik di dunia nyata maupun maya. Dalam teori analisis wacana, perang melawan narasi negatif yang paling efektif ialah dengan menggulirkan wacana tandingan yang bersifat positif. Artinya, segala opini yang memprovokasi masyarakat dan mendelegitimasi pemerintah ini harus kita lawan dengan narasi-narasi yang bersifat menyejukkan, mencerahkan, sekaligus mempersatukan.
Upaya itu tentu membutuhkan sinergi lintas-lini. Di level keagamaan, para tokoh agama perlu menjalin komunikasi intensif untuk mencegah tindakan intoleransi dan persekusi berlatar isu agama di level akar rumput. Di saat yang sama, lembaga keagamaan dan para tokohnya hendaknya juga berperan aktif dalam mendorong terwujudnya moderasi beragama di kelompoknya masing-masing.
Penting pula bagi pemerintah untuk merawat kepercayaan publik yang telah terbangun. Jangan sampai kepercayaan itu dirusak oleh kelompok radikal. Salah satu cara merawat kepercayaan publik ialah bekerja sebaik-baiknya sesuai konstitusi.
Terakhir, namun tidak kalah pentingnya adalah meneguhkan Pancasila sebagai falsafah bangsa sekaligus melestarikan kearifan lokal sebagai identitas nasional. Pancasila dan kearifan lokal adalah benteng yang akan menghalau penetrasi intoleransi dan radikalisme di Indonesia.