Kenapa narasi “Pengagungan nasab” baru muncul dan heboh saat ini? Sebelumnya adem, tidak ada persoalan. Toh, baik habib maupun kiai sama-sama mengerti, kemuliaan tidak diukur dari keturunan tapi ketakwaan. Mungkinkah hanya suatu kebetulan, atau rekayasa kepentingan?
Melihat perkembangannya di media sosial, narasi ini bergulir dan bersambung dari satu opini ke opini selanjutnya yang masih berhubungan. Mulai dari nasab sampai klaim paling mulia. Misalnya, narasi satu habib sekalipun bodoh tetap lebih mulia dari tujuh puluh kiai yang alim.
Nada-nada penuh emosi pun bergelayutan di ruang-ruang media sosial. Bahkan, kalangan awam terseret arus perbincangan seputar hal itu. Bisa ditebak, komentar-komentar bernuansa tidak ramah tidak terelakkan. Saling buly, saling caci dan saling hina.
Sebagai balasan dari narasi-narasi yang dilontarkan kelompok (oknum) habaib, keluar pernyataan bahwa habaib di Nusantara nasabnya tidak bersambung dengan Rasulullah. Hal ini tentu fenomena buruk.
Apalagi kalau sampai ditunggangi oleh kelompok-kelompok yang selama ini memang berharap terjadinya pertikaian umat Islam di Indonesia. Disaat hal itu terjadi mereka akan masuk melakukan provokasi supaya pertikaian berlanjut menjadi pertumpahan darah. Begitu umat Islam Indonesia hancur, mereka tertawa karena sebentar lagi hasrat berkuasa mereka akan menjadi kenyataan.
Umat Islam di Indonesia harus sadar bahwa ada upaya kelompok tertentu yang mengintip celah-celah retakan bangunan umat Islam. Mereka berusaha menyusup melalui celah-celah retakan tersebut, kemudian menciptakan sentimen-sentimen anti kelompok tertentu dengan memanfaatkan kebodohan atau terkadang nafsu dalam individu-individu atau kelompok-kelompok umat Islam sendiri.
Saya curiga, “perang nasab” ini sengaja dibuat sebagai strategi dan upaya menciptakan disintegrasi Islam. Setelah narasi bid’ah dan takfirisme tidak mampu menggoyahkan kesatuan umat Islam di Indonesia, mereka sekali lagi mencoba dengan melakukan adu domba kelompok habaib dan kiai. Bukankah negeri ini pernah luluh lantak dan dijajah dengan strategi politik devide at impera?
Kenapa kelompok Kiai dan kelompok habaib yang disasar. Sebagaimana telah diketahui bersama, keduanya sama-sama berpondasi, mengusung dan bervisi pada Islam moderat (tawassuth), adil (ta’adul), toleran (tasamuh) dan bijak (tawazun).
Pemahaman keagamaan yang mengedepankan akhlak terpuji dalam berdakwah, tidak memaksakan kebenaran kepada pihak lain, tidak menuduh sesat orang atau kelompok yang berbeda tafsir dan madhab. Suatu model beragama yang memberikan kontribusi signifikan terhadap kuatnya rajutan tenun kebangsaan di tengah masyarakat yang beragam agama, keyakinan, suku, etnis dan golongan.
Dua kekuatan, kiai-kiai NU dan habaib, sama-sama mengimani “hubbul wathan minal iman” cinta tanah air sebagian dari iman. Kalau dua kekuatan ini masih saling bersinergi, maka tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menggoyahkan komitmen kebangsaan.
Mereka juga menerima Pancasila sebagai ideologi bangsa karena memang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Tidak pernah menyatakan “Indonesia negara kafir” (darul kufr). Sekalipun Indonesia bukan negara Islam (darul Islam), Indonesia tetap negeri Islam (sarus salam) dengan Pancasila-nya yang mencerminkan nilai-nilai luhur ajaran Islam sekalipun tak menerapkan Islam secara simbolik namun substantif.
Berbeda jauh dengan kelompok ekstremis muslim atau kelompok radikal yang menjadi representasi neo khawarij yang cenderung radikal, senang mengkafirkan dan anti NKRI. Kelompok yang selalu berusaha mendoktrin umat Islam untuk membenci yang berbeda, bahkan menghalalkan darah siapa saja yang tak sepaham dengannya.
“Perebutan nasab” antara kiai-kiai NU dan Habaib yang bermula dari oknum habaib bisa jadi upaya menciptakan ketegangan di antara dua kelompok, ditambah bumbu-bumbu berita hoaks sebagai senjata adu domba.
Fenomena saling tuding nasab tidak bersambung ke Rasulullah menjadi lahan subur penyemaian berita-berita bohong atau hoaks. Eskalasinya bisa sangat tinggi kalau masing-masing antara kelompok Kiai dan habaib tidak menyadarinya.
Perlu kedewasaan berpikir dan bertindak supaya tidak termakan hoaks yang akan semakin memperuncing ketegangan. Bagaimana pun, kemuliaan seseorang bukan karena keturunan melainkan karena ketakwaan. Apalah arti nasab kalau tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap agama maupun negara.