Dalam konteks kebenaran Islam yang rahmatan lil alamin, Saya kurang sepakat, jika prinsip dakwah itu selalu condong reduksionis. Sebab, ajaran Islam itu sifatnya inter-subjektif. Secara orientasi, tidak ada “keharusan/paksaan/intimidasi” orang itu harus masuk Islam. Tetapi, dia mampu berperilaku “Islami” yaitu bisa berbuat baik, menjaga keseimbangan tatanan dan menghindari kemudharatan.
Dalam konteks argument di atas, kita akan melihat bagaimana etika dakwah dalam Islam itu sebetulnya pro-kemajemukan. Misalnya dalam (Qs. Al-Hujurat:11) “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena( boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan janganlah pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok) lebih baik dari perempuan (yang diolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu-sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim”.
Ayat di atas, kita akan mengenal prinsip dakwah dalam Islam tanpa menjelek-jelekkan siapa-pun. Ayat di atas, memberi satu orientasi kognitif bahwa kualitas “kebaikan” transenden-teologis itu tidak pernah terukur ke dalam sebuah (identitas beragama), melainkan (kualitas beragama) itu sendiri. Meniscayakan kesadaran penting, agar kita tidak mudah mencaci dan membangun klaim eksklusif dalam konteks menyampaikan ajaran Islam.
Selain ayat di atas, ada etika dakwah di dalam Islam yang sebetulnya akan membangun kesadaran moderat. Bahwa, menyampaikan kebenaran Islam itu harus didasari dengan prinsip, tidak membenturkan dengan kebenaran agama lain. Saya begitu tertarik dengan potongan (Qs. Al-Kafirun:6) “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”.
Ayat di atas, ketika kita lihat dalam konteks realitas bangsa yang majemuk, dakwah Islam perihal keimanan itu pada dasarnya menjadikan perbedaan tanpa saling mengganggu sebagai “keharusan teologis” bagi orang beriman. Jadi, sangat-sangat keliru jika pendakwah menjelaskan bahwa menghargai perbedaan itu dianggap bukan ajaran agama.
Clue-etis-nya, pendakwah dalam Islam tidak berhak memaksa umat agama lain harus beragama Islam. Apalagi, menyinggung ajaran agama lain sebagai ajaran yang dianggap keliru dan sesat. Sebab, dakwah dengan membangun pola yang sifatnya tetap berada dalam ajaran agama masing-masing adalah satu tanggung-jawab moral-teologis jika kita mengacu ke dalam prinsip ayat di atas.
Karena pada dasarnya, etika dakwah di dalam Islam itu tak sekadar tentang bagaimana menjadikan umat beriman dalam hal urusan ubudiah. Tetapi, ada tanggung-jawab moral-kemanusiaan di dalam Al-Qur’an yang sejatinya menjadi tanggung-jawab para pendakwah menyampaikan ajaran yang semacam itu.
Misalnya dalam (Qs. Ali-Imran:103) bahwasanya “Berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan jangan bercerai-berai”. Banyak oknum pendakwah radikal yang tidak-suka dan bahkan mencoba menyembunyikan kebenaran etis ayat di atas. Lalu, gemar membuat perpecahan dengan membenturkan ajaran agama.
Ayat di atas, pada dasarnya sebagai inti dari kebenaran Islam yang sifatnya inter-subjektif itu. Dengan segala bentuk prinsip berlaku adil dan berlaku baik atas sesama (Qs. Al-Mumtahanah:8). Kita juga dituntut untuk menjaga kemajemukan agar tidak berpecah-belah dengan prinsip untuk saling menghargai (Qs. Al-Hujurat:13).
Dari sini kita sebetulnya bisa memahami kesimpulan penting. Bahwa etika dakwah di dalam Islam itu sifatnya tidak menjelek-jelekkan agama lain. Condong menjadikan perbedaan agama sebagai keharusan teologis untuk menjaganya. Serta, berbuat baik, tidak saling mengganggu, menjaga persatuan dan keharmonisan di tengah kemajemukan merupakan tanggung-jawab moral para pendakwah yang sesuai dengan etika dakwah dalam Islam.