NII adalah Ibu Kandung Terorisme di Indonesia?

NII adalah Ibu Kandung Terorisme di Indonesia?

- in Editorial
734
0
Pondok Pesantren (Ponpes) AL Zaytun di Indramayu baru-baru ini memunculkan kontroversi tidak hanya persoalan tuduhan penistaan agama, tetapi isu lama keterkaitannya dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Panji Gumilang menepis dengan menegaskan bahwa sejarah NII telah usai sejak 1962. Betulkah sejarah NII telah selesai? Dua mantan Anggota NII seperti Ken Setiawan dan AL Chaidar menegaskan bahwa NII merupakan ibu kandung dari seluruh kelompok terorisme di Indonesia. Banyak kasus terorisme di Indonesia bersumber dari anggota NII yang berganti baju menjadi JI, JAT, JAD dan lainnya. Bagi mereka, NII telah mencetak kader menjadi mesin pembunuh ketika bergabung dalam kelompok teror yang lebih militan. Jauh sebelum gerakan salafi jihadi yang lahir di Afganistan pada tahun 1980-an melalui berdirinya Al-Qaeda, di Indonesia telah muncul gerakan serupa dalam arti kesamaan ideologi dan gerakan. Gerakan itu adalah kelompok Darul Islam yang mengimpikan berdirinya Negara Islam Indonesia pada 1948. Mei 1948, Kartosuwiryo memproklamirkan diri sebagai imam negara baru bernama Darul Islam. Pada 7 Agustus 1949 di Cisampak, Kecamatan Cilugagar, Kabupaten Tasikmalaya, DI memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia : Kami umat Islam Indonesia menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia. Maka hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia adalah hukum Islam. Dalam aspek ideologi, DI atau NII berhaluan takfiri dengan menghukumi orang yang menolak pemberlakuan syariat Islam sebagai orang murtad. Kelompok ini juga menetapkan jihad perang melawan pemerintah Indonesia sebagai fardlu ain. Dalam hal pendanaan, konsep fa’i telah menjadi pegangan, yakni kebolehan merampas harta warga sipil yang tidak mau bergabung dalam gerakan ini. Jika salafi jihadi mempunyai doktrin yang berakar dari konsep hakimiyah sebagai doktrin kelompok khawarij yang dihidupkan kembali, NII mempunyai doktrin yang cukup terkenal yang disebut RMU (rububiyah, mulkiayh dan uluhiyah). Doktrin ini menegaskan bahwa Allah merupakan Maha Pencipta segalanya termasuk peraturan dan perundang-undangan. Lalu, apa kaitan antara terorisme di Indonesia dengan NII? Pada tahun 1962, sebagaimana ditegaskan oleh Panji Gumilang bahwa NII telah ditumpas dan selesai dengan ditandai eksekusi mati Kartosuwiryo. Praktis gerakan NII memang telah mati dan tidak ada gerakan pemberontakan lagi. Namun, benar pernyataan bahwa organisasi boleh dilarang dan ditumpas, tetapi ideologi sulit untuk dimusnahkan. Pada tahun 1970-an, bekas orang NII menggaungkan kembali gerakan jihad perang melawan pemerintah Indonesia. Gerakan ini kemudian dikenal dengan Komando Jihad. Gerakan ini dimotori oleh Aceng Kurnia dan Djaja Sidjadi, mantan Keuangan DI yang dikenal sebagai ideologi NII. NII memasuki fase konsolidasi dengan memusatkan pendirian cabang di berbagai daerah dan pengadaan pelatihan militer di Jakarta. Salah satu materi pelatihan adalah merakit bom. Di sinilah fase teror dimulai dengan aksi perampokan, pembunuhan dan aksi bom. NII menandai fase baru perlawanan terhadap pemerintah dengan gerakan bawah tanah layaknya organisasi teror di kemudian hari. Dalam catatan NII Crisis Center, pada tahun 1970-an terdapat beberapa aksi teror yang dilakukan gerakan NII seperti Granat MTQ, Pematang Siantar, Bom RS Immanuel Baptist, Bukit Tinggi, Bom Bar Apollo, Bom Bioskop Riang, Pembunuhan wakil rektor UNS, Perampokan gaji guru dan Pembunuhan anggota TNI. Memasuki tahun 1980-an aksi kelompok ini juga tidak sepi. Beberapa aksi semisal Fa’i, perampokan dan pembunuhan supir taksi, Pembunuhan tentara di Talang Sari, Perampokan di Bandung dan yang cukup terkenal adalah Penyerangan polsek Cicendo dan Bom Borobudur. Aksi teror kelompok NII berlanjut hingga tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an seperti Bom Istiqlal dan bom kedubes Australia. Tahun 2000-an, Jamaah Islamiyah bentukan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir tampil sebagai pemain baru dalam aksi dan jaringan teror di Indonesia. Keduanya merupakan aktivis NII jaringan Solo yang bergabung ke NII melalui Ismail Pranoto sebelumnya akhirnya hijrah ke Malaysia dan berkenalan dengan jaringan global. Dua tokoh inilah melalui JI telah mentransformasikan terorisme domestik ala NII dalam skala regional dan global. Perlawanan pun diperluas dengan memusuhi Barat atau hal yang terafiliasi dengan Barat. Pada tahun 1980-an, keduanya mengembangkan jejaring gerakan dengan memobilisasi anak-anak muda untuk berjihad ke Afganistan. Alumni Afganistan inilah yang pada awal reformasi telah mengobrak-abrik Indonesia dengan rentetan teror yang ditandai dengan Bom Natal dan yang spektakuler adalah Bom Bali. Jika dikatakan bahwa ibu kandung terorisme di Indoesia adalah NII bisa dilihat dari dua aspek. Pertama dalam kesamaan ideologi dan cita-cita gerakan. Kedua, dalam aspek biologis yang memperlihatkan nama-nama terduga terorisme baik yang ditangkap atau tertembak mati memiliki sejarah keterlibatan dalam perjuangan dan gerakan teror NII. Artinya, terorisme yang dikenal saat ini memiliki kesejarahan ideologis dan biologis dari perjuangan sebelumnya yakni NII pada era 1950-an dan gerakan Komando Jihad pada era 1970-an. Lalu, benarkah NII telah mati dan musnah sebagaimana pernyataan Panji Gumilang pada tahun 1962? Benarkah ideologi dan gerakan bawah tanah dari NII dan mantan NII yang bergabung dalam gerakan teror yang lebih besar dan global sudah usai? Kenapa masih tersiar kabar pembaiatan NII di Garut, Lampung dan Sumbar? Nampaknya, NII sebagai organisasi telah usai. Namun, ideologi ini telah menembus batin para pengikutnya. Gerakan ini mengalami transformasi dalam bentuk berdirinya kelompok dengan nama yang berbeda dan mengalami diaspora ke berbagai jaringan yang lebih ekstrem.

Pondok Pesantren (Ponpes) AL Zaytun di Indramayu baru-baru ini memunculkan kontroversi tidak hanya persoalan tuduhan penistaan agama, tetapi isu lama keterkaitannya dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Panji Gumilang menepis dengan menegaskan bahwa sejarah NII telah usai sejak 1962. Betulkah sejarah NII telah selesai?

Dua mantan Anggota NII seperti Ken Setiawan dan AL Chaidar menegaskan bahwa NII merupakan ibu kandung dari seluruh kelompok terorisme di Indonesia. Banyak kasus terorisme di Indonesia bersumber dari anggota NII yang berganti baju menjadi JI, JAT, JAD dan lainnya. Bagi mereka, NII telah mencetak kader menjadi mesin pembunuh ketika bergabung dalam kelompok teror yang lebih militan.

Jauh sebelum gerakan salafi jihadi yang lahir di Afganistan pada tahun 1980-an melalui berdirinya Al-Qaeda, di Indonesia telah muncul gerakan serupa dalam arti kesamaan ideologi dan gerakan. Gerakan itu adalah kelompok Darul Islam yang mengimpikan berdirinya Negara Islam Indonesia pada 1948.

Mei 1948, Kartosuwiryo memproklamirkan diri sebagai imam negara baru bernama Darul Islam. Pada 7 Agustus 1949 di Cisampak, Kecamatan Cilugagar, Kabupaten Tasikmalaya, DI memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia : Kami umat Islam Indonesia menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia. Maka hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia adalah hukum Islam.

Dalam aspek ideologi, DI atau NII berhaluan takfiri dengan menghukumi orang yang menolak pemberlakuan syariat Islam sebagai orang murtad. Kelompok ini juga menetapkan jihad perang melawan pemerintah Indonesia sebagai fardlu ain. Dalam hal pendanaan, konsep fa’i telah menjadi pegangan, yakni kebolehan merampas harta warga sipil yang tidak mau bergabung dalam gerakan ini.

Jika salafi jihadi mempunyai doktrin yang berakar dari konsep hakimiyah sebagai doktrin kelompok khawarij yang dihidupkan kembali, NII mempunyai doktrin yang cukup terkenal yang disebut RMU (rububiyah, mulkiayh dan uluhiyah). Doktrin ini menegaskan bahwa Allah merupakan Maha Pencipta segalanya termasuk peraturan dan perundang-undangan.

Lalu, apa kaitan antara terorisme di Indonesia dengan NII? Pada tahun 1962, sebagaimana ditegaskan oleh Panji Gumilang bahwa NII telah ditumpas dan selesai dengan ditandai eksekusi mati Kartosuwiryo. Praktis gerakan NII memang telah mati dan tidak ada gerakan pemberontakan lagi.

Namun, benar pernyataan bahwa organisasi boleh dilarang dan ditumpas, tetapi ideologi sulit untuk dimusnahkan. Pada tahun 1970-an, bekas orang NII menggaungkan kembali gerakan jihad perang melawan pemerintah Indonesia. Gerakan ini kemudian dikenal dengan Komando Jihad. Gerakan ini dimotori oleh Aceng Kurnia dan Djaja Sidjadi, mantan Keuangan DI yang dikenal sebagai ideologi NII.

NII memasuki fase konsolidasi dengan memusatkan pendirian cabang di berbagai daerah dan pengadaan pelatihan militer di Jakarta. Salah satu materi pelatihan adalah merakit bom. Di sinilah fase teror dimulai dengan aksi perampokan, pembunuhan dan aksi bom. NII menandai fase baru perlawanan terhadap pemerintah dengan gerakan bawah tanah layaknya organisasi teror di kemudian hari.

Dalam catatan NII Crisis Center, pada tahun 1970-an terdapat beberapa aksi teror yang dilakukan gerakan NII seperti Granat MTQ, Pematang Siantar, Bom RS Immanuel Baptist, Bukit Tinggi, Bom Bar Apollo, Bom Bioskop Riang, Pembunuhan wakil rektor UNS, Perampokan gaji guru dan Pembunuhan anggota TNI. Memasuki tahun 1980-an aksi kelompok ini juga tidak sepi. Beberapa aksi semisal Fa’i, perampokan dan pembunuhan supir taksi, Pembunuhan tentara di Talang Sari, Perampokan di Bandung dan yang cukup terkenal adalah Penyerangan polsek Cicendo dan Bom Borobudur. Aksi teror kelompok NII berlanjut hingga tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an seperti Bom Istiqlal dan bom kedubes Australia.

Tahun 2000-an, Jamaah Islamiyah bentukan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir tampil sebagai pemain baru dalam aksi dan jaringan teror di Indonesia. Keduanya merupakan aktivis NII jaringan Solo yang bergabung ke NII melalui Ismail Pranoto sebelumnya akhirnya hijrah ke Malaysia dan berkenalan dengan jaringan global.

Dua tokoh inilah melalui JI telah mentransformasikan terorisme domestik ala NII dalam skala regional dan global. Perlawanan pun diperluas dengan memusuhi Barat atau hal yang terafiliasi dengan Barat. Pada tahun 1980-an, keduanya mengembangkan jejaring gerakan dengan memobilisasi anak-anak muda untuk berjihad ke Afganistan. Alumni Afganistan inilah yang pada awal reformasi telah mengobrak-abrik Indonesia dengan rentetan teror yang ditandai dengan Bom Natal dan yang spektakuler adalah Bom Bali.

Jika dikatakan bahwa ibu kandung terorisme di Indoesia adalah NII bisa dilihat dari dua aspek. Pertama dalam kesamaan ideologi dan cita-cita gerakan. Kedua, dalam aspek biologis yang memperlihatkan nama-nama terduga terorisme baik yang ditangkap atau tertembak mati memiliki sejarah keterlibatan dalam perjuangan dan gerakan teror NII. Artinya, terorisme yang dikenal saat ini memiliki kesejarahan ideologis dan biologis dari perjuangan sebelumnya yakni NII pada era 1950-an dan gerakan Komando Jihad pada era 1970-an.

Lalu, benarkah NII telah mati dan musnah sebagaimana pernyataan Panji Gumilang pada tahun 1962? Benarkah ideologi dan gerakan bawah tanah dari NII dan mantan NII yang bergabung dalam gerakan teror yang lebih besar dan global sudah usai? Kenapa masih tersiar kabar pembaiatan NII di Garut, Lampung dan Sumbar?

Nampaknya, NII sebagai organisasi telah usai. Namun, ideologi ini telah menembus batin para pengikutnya. Gerakan ini mengalami transformasi dalam bentuk berdirinya kelompok dengan nama yang berbeda dan mengalami diaspora ke berbagai jaringan yang lebih ekstrem.

Facebook Comments