Di abad ini, viral adalah kekuatan yang kadangkala jauh lebih efektif ketimbang jabatan, kekuasaan, bahkan senjata sekalipun. Sesuatu yang viral bisa menjungkirbalikkan nasib seseorang, bahkan di titik tertentu mengubah kondisi sosial dan politik sebuah masyarakat. Seseorang mendadak kaya-raya, karena viral di media sosial.
Keadilan bisa diraih karena suara korban viral di media sosial. Sebaliknya, reputasi seorang bisa hancur, karena kekhilafannya terlanjur viral di media sosial. Di abad digital, ketika informasi di media sosial menyebar secara super cepat dan super masif, viral menjadi mantra sakti yang berwajah ganda. Viral bisa bermakna positif-konstruktif, sekaligus bisa bermakna negatif-destruktif.
Zaman viralitas ini berdampak pada nyaris seluruh sisi kehidupan manusia. Mulai dari sisi ekonomi, politik, budaya, tidak terkecuali agama. Dalam konteks beragama, fenomena viralitas itu telah menimbulkan berbagai macam perubahan dan pergeseran. Salah satunya dalam hal bagaimana ajaran agama itu disebarluaskan. Lebih spesifik dalam konteks Islam, abad viralitas telah mengubah lanskap dakwah keislaman.
Di masa analog, dakwah Islam lebih banyak dilakukan melalui media konvensional, seperti pengajian umum, pengajian semi tertutup di pondok pesantren, maupun dakwah klasik yang dilakukan dari rumah ke rumah. Di era ini, pegiat dakwah umumnya berasal dari kalangan ulama, kiai, atau santri yang memilik latar belakang pendidikan keagamaan formal (sekolah Islam atau pesantren).
Otoritas dakwah di era analog ini dipegang oleh para kiai atau ulama yang memiliki pesantren. Juga pra tokoh ormas keislaman yang memang aktif dalam gerakan Islam. Mereka inilah sosok-sosok yang dianggap memiliki otoritas dakwah Islam.
Pergeseran Lanksap Dakwah
Munculnya media digital, terutama internet dan media sosial mengubah secara keseluruhan lanskap dakwah keislaman. Perubahan itu tidak hanya terjadi pada metode atau media dakwah yang tadinya konvensional ke digital. Namun, perubahan juga terjadi pada pemegang otoritas dakwah tersebut.
Di era digital, otoritas dakwah tidak lagi hanya dimonopoli oleh kiai, ulama, atau santri yang berafiliasi dengan pesantren atau ormas keislaman tertentu. Media digital telah melahirkan sosok-sosok pendakwah baru yang acapkali tidak memiliki akar keilmuan Islam yang mendalam sekaligus tidak memiliki rekam jejak panjang dalam gerakan dakwah keislaman.
Mereka muncul lebih karena faktor popularitas dan kepiawaian menaklukkan algoritma media sosial. Mereka memiliki kecakapan public speaking yang mampu memukau netizen muslim kelas menengah yang memang tengah haus akan kajian agama. Mengutip Gary R. Bunt, para pendakwah ini memiliki kemampuan untuk membranding dirinya sebagai agamawan yang digital friendly.
Munculnya sosok-sosok idola baru dalam lanskap dakwah digital ini bukan tanpa menimbulkan persoalan. Pergeseran otoritas dakwah dari ulama dan kiai ke para ustad seleb dan influencer Islam ini kerap meninggalkan residu persoalan. Antara lain, munculnya corak dakwah yang ekskusif, intoleran, bahkan mengarah pada radikal.
Hal ini terjadi karena sosok-sosok pendakwah baru di ranah digital itu umumnya memiliki pandangan keagamaan yang konservatif. Mereka tidak dididik dalam kultur pendidikan agama yang berbasis pada Aswaja. Sebagian ustad seleb dan influencer Islam itu justru berlatar belakang pendidikan sekuler, dan hanya belajar Islam secara instan.
Maka, tidak mengherankan jika fenomena dakwah di ranah digital kerap diwarnai kontroversi. Selain materi dakwah yang kerap menjurus pada intoleransi dan radikalisasi, tidak sedikit pula para influencer dakwah medsos yang tersandung kasus terkiat pelanggaran moral dan etika. Di titik ini, penting kiranya kita mengajukan pertanyaan krusial; apakah otoritas dan otentisitas pendakwah di era digital ini masih relevan?
Urgensi Pendakwah yang Otentik dan Otoritatif
Jika melihat realitas yang mengemuka belakangan ini, otentisias dan otoritas ulama sebagai pendakwah di era digital ini masih sangat relevan. Dalam artian, umat membutuhkan sosok pendakwah yang benar-benar asli (otentik) dan otoritatif untuk membimbing umat. Otentik dalam artian mereka benar-benar lahir dari kultur dakwah yang berpegang teguh pada Aswaja dan berkomitmen pada corak keberislaman ala Nusantara yang toleran dan moderat.
Otoritatif dalam artian bahwa para pendakwah itu memiliki latar belakang pendidikan Islam secara formal. Latar belakang itu penting untuk memastikan bahwa pengetahuan keislaman mereka itu berakar pada khazanah literature keislaman mulai dari klasik, pertengahan, hingga modern. Dengan begitu, mereka akan memiliki perspektif keislaman yang kaya akan spektrum pemikiran dan tidak fanatik pada satu aliran apalagi golongan.
Otentisitas dan otoritas adalah dua variabel penting dalam konteks dakwah di era digital. Tanpa dia variabel tersebut, seorang pendakwah hanya akan menjadi influencer bahkan buzzer yang rajin memproduksi opini keagamaan tanpa basis literatur yang jelas. Pandangan keagamaan mereka akan rawan terjebak pada simplifikasi bahkan distorsi.
Menghadirkan pendakwah digital yang otentik dan otoritatif adalah pekerjaan rumah bagi ormas keislaman seperti NU, Muhammadiyah, dan sebagainya. Ke depan, ormas keislaman perlu mendorong kader-kader potensialnya untuk merambah lanskap dakwah digital. Demi mengambil alih lanskap dakwah digital yang kadung didominasi oleh para influencer dakwah yang hanya bermodal popularitas dan viralitas semata.