Jatuh Bangun Konghucu Meraih Pengakuan

Jatuh Bangun Konghucu Meraih Pengakuan

- in Narasi
0
0
Jatuh Bangun Konghucu Meraih Pengakuan

Hari Raya Imlek menjadi momentum untuk mendefinisikan kembali relasi harmonis antara umat Muslim dengan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Perayaan Imlek mestinya dilihat bukan hanya sebagai selebrasi budaya, melainkan juga penegasan harmonisasi, solidaritas, dan pemaknaan rasa antar ragam identitas agama Islam dan Konghucu.

Untuk tiba pada rasa solidaritas ini, perlu rasanya membaca ulang bagaimana jatuh bangun komunitas Konghucu mendapatkan kesetaraan di Indonesia, hingga akhirnya mendapat pengakuan dari Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid.

Pada awal abad ke-19, komunitasperanakanTionghoa di Nusantara mulai menjadi sasaran kebijakan penguasa kolonial. Persisnya pada tahun 1814, kolonial Belanda mengeluarkan konstitusi (grondwet) yang berisi tentang sistem stratifikasi rasial.

Peraturan ini membuat kategorisasi penduduk Hindia-Belanda menjadi tiga kelas; kelas pertama adalah ras kulit putih (Eropa, Amerika, Jepang); kelas kedua adalah Timur Asing (Arab, India, Tionghoa); dan kelas ketiga adalah pribumi.

Peraturan itu berlanjut ke arah separasi pemukiman yang didasarkan juga pada kelompok-kelompok etnis. Akibatnya, muncullah kampung Arab, Kampung Melayu, Kampung India, dan Pecinan. Motivasi kolonial melakukan segregasi tersebut adalah untuk mengontrol kekuasaan, keamanan, dan kepentingan dagang.

Segregasi etnis ini membuat masyarakatperanakanmenutup diri. Pemusatan mereka di Pecinan pada gilirannya menguatkan solidaritas kolektif ke dalam tetapi sekaligus juga eksklusif keluar. Ini yang akan berimbas jauh hingga Indonesia merdeka.

Hampir seabad sejak segregasi itu diterapkan, akhirnya pada 1911, kebijakanpassenstelselberakhir, dan disusul juga dengan dicabutnya kebijakanwijkensetelselpada 1919. Mulai 1920-an kehidupan orang-orangperanakanTionghoa di Indonesia berjalan membaik. Dalam soal tradisi dan keyakinan pun demikian pula.

Tetapi, ketegangan mulai mengemuka lagi ketika sebagian orang Tionghoa berpindah agama (Islam atau Kristen). Bagi sebagian kalangan masyarakat Tionghoa, konversi agama ini dipandang akan menggerus tradisi berkeyakinan mereka.

Merespon fenomena konversi ini, muncul semangat untuk mengikat kembali identitas mereka. Ini kemudian dilembagakan melalui sebuah ‘ormas’’ bernama Tiong Hoa Hwee Koan(THHK) di Batavia, yang juga bermisi mempromosikan Konghucu sebagai agama leluhur orang Tionghoa.

Pascakemerdekaan, Konghucu membentuk sebuah perkumpulan bernama Perserikatan K’ung Chiao Hui Indonesia (PKCHI). Organisasi ini berjalan dengan nilai-nilai yang ada dalam organisasi sebelumnya, THHK. Lembaga ini di kemudian hari masih berganti-ganti nama, hingga nanti akhirnya menjadi Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN). Organisasi ini didirikan sebagai upaya umat Konghucu dalam menentukan nasib dan memperjuangkan hak mereka sebagai salah satu agama di Indonesia.

Dalam salah satu upayanya, PKCHI mempromosikan Konghucu sebagai agama yang selaras dengan nilai-nilai keindonesiaan. Lebih dari itu, PKCHI juga menafsirkan ajaran-ajaran Konghucu dengan cara yang lebih rasionalis dibanding Konghucu tradisional yang syarat dengan nilai-nilai negeri asalnya, China. Upaya-upaya ini bertujuan menarik atensi negara agar memasukkan Konghucu sebagai bagian dari nilai keindonesiaan.

Upaya lain yang mereka lakukan adalah mendukung sepenuhnya kebijakan Soekarno ketika mendeklarasikan ‘Demokrasi Terpimpin’ sebagai sistem pemerintahan Indoenesia. PKCHI bahkan sampai mengaitkan karakter kepemimpinan Soekarno dengan salah satu nilai yang ada dalam Konghucu, yaituli(礼), yang mereka artikan sebagai pemimpin yang mewujudkan ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.

Setelah merasa cukup diterima oleh pemerintah Indonesia, sekaligus cukup percaya diri dengan konsep teologis yang bagi mereka sudah selaras dengan sila pertama Pancasila, PKCHI mulai mendekati Kementerian Agama dengan mengirim perwakilannya pada 1961 untuk meminta divisi khusus bagi agama Konghucu.

Pada tahun yang sama, PKCHI mendeklarasikan Konghucu sebagai agama dan Konfusius sebagai nabi di depan publik dalam konvensi nasional mereka yang keenam.

Permintaan PKCHI tersebut pada mulanya tidak direspons dengan baik oleh Kemenag (Depag). Hingga empat tahun berselang, Soekarno tampaknya melihat sikap positif Konghucu terhadap pemerintahan sehingga ia menyebut Konghucu sebagai salah satu agama yang diakui negara.

Ini ditetapkannya melalui PNPS No.1 tahun 1965. PNPS ini menandai era baru bagi Konghucu sebagai agama yang diakui bersama dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.

Hubungan baik antara Konghucu dan negara itu tidak berlangsung lama. Maret 1967 menjadi awal masa kelam Konghucu di Indonesia. Penyebabnya cukup jelas. Soeharto menjadi presiden kedua Indonesia dengan semangat anti-komunisme, dan Konghucu dipandang memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia.

Tuduhan ini melahirkan sentimen anti-Tionghoa yang kuat bukan hanya dari kalangan pemerintah, melainkan juga dari masyarakat sendiri.

Masa kelam ini baru berakhir ketika B.J. Habibie menjabat sebagai presiden selepas jatuhnya Soeharto. Mempertimbangkan relevansi UU. PNPS No. 5 Tahun 1969, Menteri Agama pada era B.J. Habibie, Malik Fajar, memberikan pengakuan kembali kepada agama Konghucu, walau kebijakan ini belum secara langsung dapat memperbaiki status politik dan hak sipil umat Konghucu.

Misalnya, orang Konghucu pada saat itu masih tidak boleh menjadi anggota MPR, di samping mengalami kesulitan dalam akses terhadap pencatatan sipil.

Keleluasaan baru benar-benar dirasakan oleh umat Konghucu di era kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada hari-hari pertama pemerintahannya, Gus Dur berdiskusi dengan perwakilan MATAKIN, yakni Bingky Irawan, seorang pemuka Konghucu di Surabaya. Ia meminta Gus Dur untuk mencabut Inpres 14/1967 yang melarang ekspresi publik dari para penganut Konghucu.

Permintaan itu disambut oleh Gus Dur dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 tentang penghapusan Inpres No. 14 Tahun 1967. Sejak saat itu hingga kini, perayaan Imlek dapat diselenggarakan di ruang publik.

Semangat Gus Dur untuk mengakhiri diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa dan para penganut Konghucu ini diteruskan oleh presiden-presiden selanjutnya. Megawati (2001 – 2004) menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional dalam Kepres No. 19 Tahun 2002.

Saat ini, Konghucu sebagai agama menikmati hak-hak yang kurang lebih setara sebagaimana yang dimiliki agama-agama yang diakui lainnya. Tantangan yang masih berlangsung kini ialah stigma-stigma negatif anti-Tionghoa yang masih berkembang di sejumlah kalangan dan acap kali terungkit tatkala ada momen pemilu yang kental dengan politik identitas.

Sebagai warga negara Indonesia yang menganut asas filosofis Pancasila, mengikis stigma negatif Tionghoa adalah sisa-sisa perjuangan yang musti kita lanjutkan. Asas anti diskriminasi harus terpatri dalam benak kita. Semua warga negara, terlepas dari etnis atau agama apa, layak mendapatkan hak-kewajiban yang setara di dalam rumah besar, bernama Indonesia.

Facebook Comments