Anak-Anak di Tengah Pusaran Radikalisme Digital, Inilah Tiga Strategi Awal Menanggulanginya

Anak-Anak di Tengah Pusaran Radikalisme Digital, Inilah Tiga Strategi Awal Menanggulanginya

- in Faktual
1
0

Temuan Densus 88 bahwa ada 110 anak di berbagai daerah Indonesia yang teridentifikasi direkrut kelompok radikal menunjukkan betapa seriusnya ancaman radikalisme digital di kalangan anak-Anak dan remaja. Fenomena ini menggambarkan dan memperlihatkan bahwa ruang digital yang selama ini dianggap aman—tempat anak bermain game, belajar, atau sekadar bersosialisasi—ternyata tidak steril dari infiltrasi ideologi ekstrem yang berbahaya.

Kini perekrut tidak lagi menggunakan cara-cara yang keras atau menggurui, melainkan hadir melalui konten yang tampak biasa: percakapan ringan di game online, ajakan bergabung ke grup diskusi, meme yang dibungkus humor, hingga video pendek yang menampilkan heroisme yang dipelintir. Proses radikalisasi berjalan secara halus dan bertahap, dimulai dari pendekatan personal yang membuat anak merasa diperhatikan, lalu mengarahkan mereka ke ruang tertutup seperti WhatsApp atau Telegram untuk menerima materi yang lebih intens.

Pola itulah yang berhasil menyentuh anak-anak yang berada dalam fase pencarian jati diri, terutama mereka yang mengalami tekanan emosional seperti bullying, kurang komunikasi di rumah, atau minim rasa percaya diri. Ketika kondisi psikologis anak rapuh, narasi penerimaan dari pihak luar, sekalipun berbahaya, bisa tampak seperti ruang aman yang baru. Maka tidak heran apabila sebagian dari anak-anak ini sudah diarahkan, walaupun pada akhirnya berhasil dicegah, untuk merencanakan aksi teror di beberapa wilayah.

Melihat kompleksitas persoalan tersebut, langkah penanggulangannya tidak bisa semata-mata bertumpu pada pendekatan keamanan. Upaya pencegahan harus menyentuh akar masalah: ekosistem terdekat anak, yaitu keluarga, sekolah, dan kemampuan mereka mengelola informasi digital. Strategi pertama yang harus diperkuat adalah peran keluarga sebagai benteng awal. Banyak anak yang akhirnya mudah dipengaruhi karena kebutuhan emosional mereka tidak terpenuhi di rumah. Orang tua sering hanya memantau anak dari sisi akademik, tetapi tidak benar-benar mengetahui dunia digital yang mereka masuki dalam setiap waktu.

Padahal, anak hari ini bukan sekadar pengguna teknologi, melainkan penghuni penuh ruang digital. Oleh karena itu, komunikasi yang terbuka, rutin, dan tidak menghakimi menjadi kunci. Menanyakan kegiatan online anak, mengetahui siapa teman-temannya, melihat apa yang ia tonton, dan sesekali memeriksa perangkatnya secara wajar merupakan bagian dari upaya proteksi. Bukan untuk mengontrol secara berlebihan, tetapi untuk memastikan bahwa anak tidak sedang masuk ke ruang digital yang berisiko. Ketika hubungan emosional antara orang tua dan anak baik, peluang bagi pihak luar untuk mempengaruhi akan jauh lebih kecil.

Strategi kedua adalah memperkuat sekolah sebagai ruang aman dan peka terhadap perubahan perilaku murid. Guru berada dalam posisi ideal untuk mendeteksi tanda-tanda awal radikalisasi, seperti adanya perubahan sikap yang tiba-tiba, kecenderungan menjauh dari pergaulan, atau konsumsi konten ekstrem yang tampak dari cara anak berbicara. Namun kemampuan membaca tanda-tanda tersebut membutuhkan literasi yang memadai.

Sekolah harus mulai melakukan pelatihan kepada guru agar memahami karakter radikalisasi digital dan pola-pola manipulasi yang biasa digunakan. Selain itu, sekolah perlu menghidupkan suasana belajar yang inklusif dan bebas dari perilaku bullying, karena banyak anak yang menjadi korban perekrutan adalah mereka yang merasa tersisihkan.

Ketika sekolah mampu menjadi ruang yang menghargai setiap murid, menyediakan ruang diskusi yang sehat, dan membangun relasi emosional yang positif, kebutuhan anak untuk mencari identitas atau penerimaan di luar lingkungan yang sehat niscaya akan berkurang.

Strategi ketiga adalah memperkuat literasi digital anak secara lebih nyata. Literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan gadget, melainkan kemampuan memahami bagaimana informasi bekerja, bagaimana propaganda disebarkan, dan bagaimana seseorang bisa dimanipulasi melalui konten yang tampak menarik. Anak perlu diajarkan mengenali pola ajakan mencurigakan, memahami risiko bergabung ke grup privat, dan membangun kebiasaan skeptis terhadap informasi yang terlalu heroik atau mengandung ajakan emosional berlebihan.

Pendekatan literasi digital harus mengikuti bahasa anak: menggunakan contoh pada platform yang mereka gunakan, menampilkan contoh chat, potongan video, atau meme yang relevan dengan dunia mereka. Jika anak paham cara kerja manipulasi digital, mereka akan meiliki mekanisme pertahanan internal yang jauh lebih kuat untuk menjaga diri mereka.

Ketiga strategi di atas bukan solusi instan, tetapi fondasi penting dalam menghadapi ancaman radikalisme digital yang semakin terdesentralisasi. Anak-anak tidak mungkin dijauhkan dari internet, karena dunia itulah yang sedang mereka tinggali. Yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa lingkungan terdekat mereka cukup kuat untuk melindungi, mendampingi, dan mengarahkan mereka pada dunia yang tepat dan tentu saja positif.

Dengan keluarga yang hadir, sekolah yang sensitif, dan literasi digital yang kuat, anak-anak akan memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi dunia digital yang kompleks tanpa mudah terjerembab dalam ideologi berbahaya. Dengan demikian, upaya pencegahan radikalisme digital bukan hanya soal menjauhkan anak dari bahaya, tetapi memastikan mereka tumbuh sebagai generasi yang lebih matang, kritis, dan tangguh menghadapi tantangan zaman.

Facebook Comments