Pada dasarnya, peristiwa Isra’ Mikraj yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. merupakan salah satu kado istimewa yang pernah diberikan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad berikut seluruh umat Islam. “Kado Istimewa” yang dimaksud tersebut adalah perintah melaksanakan ibadah shalat. Perlu dipahami, shalat bukan semata untuk menguatkan konstruksi relasi spiritual antara manusia dengan Tuhannya (hablumminallah), tetapi juga menguatkan relasi sesama manusia, lintas etnis, dan bangsa (hablumminannas). Konstruksi yang “diamanatkan” melalui shalat ini disebut doktrin universalitas. Mengapa demikian?
Sesungguhnya apa yang terkandung dalam shalat bukan sekedar sujud, rukun dan sebagainya. Tetapi, shalat merupakan penyerahan total kepada Allah sebagai Tuhan semesta alam. Tak ada yang pantas disembah kecuali Allah. Adapun fungsi yang diajarkan dari sholat itu sendiri adalah untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar. (QS. Al-Ankabut: 5)
Dengan demikian, kita bisa mengukur sejauh mana sholat yang telah kita lakukan selama ini. Apakah dengan melakukan shalat kita masih sering melakukan kemungkaran dan kekejian terhadap orang lain? Apakah kita masih sering melakukan berseteru dengan anak bangsa? Apakah kita masih mengumbar nafsu demi kepuasan diri kita sendiri? Apabila memang masih demikian, berarti kita belum sepenuhnya mengimplementasikan esensi dari perintah shalat itu sendiri.
Secara lebih lanjut, dalam shalat, ucapan (bacaan) salam yang dibaca pada penutup shalat. Kosakata tersebut menggariskan bahwa setiap muslim yang sedang berelasi atau menahbiskan dirinya dengan Tuhan, wajib hukumnya untuk terlibat pergulatan realitas kemanusiaan. Dalam pergulatan ini, peran yang harus dimainkan oleh manusia (muslim) adalah membumikan kesalehan universal, suatu kesalehan yang bersubstansikan penyelamatan, pembebasan, pemanusiaan manusia, penyejarahan kedamaian, dan pencerahan manusia lain (Marwiyah, 2013). Jadi, paradigma tersebut seharusnya mengantarkan setiap umat di muka bumi ini, khususnya Indonesia untuk saling menyayangi dan melindungi, meski berbeda etnis, agama, politik, budaya, dan lainnya Nabi Muhammad Saw. juga pernah mengingatkan, “manusia terbaik, adalah manusia yang mampu memberikan manfaat bagi sesamanya”.
Abdul Muiz dalam Tafsir Humanitas Agama Langit (2009) menjelaskan, kata “salam” yang diucapkan dalam shalat mengandung makna perintah bagi setiap muslim untuk menyelamatkan dan membahagiakan sesamanya. Selama orang lain masih menjalani kehidupan dengan suasana serba takut, terancam, sengsara, dan rentan terluka, maka shalat yang dijalankannya belumlah memberi makna progresifitas dan humanitas
Hormati Perbedaan!
Perbedaan jangan sampai menjadi dalih pijakan untuk membenarkan kekerasan, konflik, radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme sebagai opsi menyelesaikan masalah atau memenuhi berbagai bentuk kepentingan eksklusif. Maka, menempatkan perbedaan sebagai dalih dalam melicinkan dan meloloskan pertumpahan darah dan pembenaran klaim kebenaran (truth claims) sama sekali tidak dapat dibenarkan. Perbedaan seharusnya dijadikan realitas kesejarahan untuk membangun kebersamaan dan persaudaraan.
Miqdad Husen (2007) pernah menjelaskan bahwa Islam sangat menghormati perbedaan, karena dalam setiap perbedaan, tersembunyi kekuatan istimewa yang bisa digunakan sebagai modal membangun peradaban yang lebih terhormat, konsruksi bangsa yang semakin kuat, atau kuda-kuda masyarakat yang semakin kokoh. Atau, ketahanan hidup bermasyarakat yang tidak mudah digoyahkan oleh kekuatan manapun. Dari perbedaan ini, sebenarnya ada elemen sosial yang bisa dan mampu mengingatkan dan menyelaraskan kepentingan mengenai tegaknya kebenaran, kejujuran, kesetaraan, dan keadilan.
Dari pernyataan tersebut, jelaslah perbedaan merupakan jalan pergulatan manusia untuk mengonstruksi peradaban dan kebersamaan. Perbedaan bisa membuat setiap orang yang berseberangan paham bisa beralih dalam bangunan kesatuan dan keharmonisan. Hanya saja, itu dapat terjadi ketika manusia satu dan manusia lainnya saling mencintai dan tidak bertindak egois yang selalu memenangkan dan membenarkan perilakunya sendiri.
Cinta Adalah Keniscayaan
Saling mencintai antarsesama adalah keniscayaan yang harus dimiliki dalam setiap perbedaan. Nabi Muhammad pernah mengingatkan, “tidak disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai sesamanya (saudaranya) sebagaimana kalian mencintai diri sendiri”. Doktrin universal ini mengajarkan tentang relasi kehidupan yang tidak egoistik, saling “memberi hak hidup” dan kedamaian pada orang lain. Bukan menebar kebencian, saling berseteru dan melegalkan perilaku dehumanisasi.
Mahatma Gandhi pernah berujar, “Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan”. Ini menunjukkan betapa cinta dapat menentukan corak kehidupan manusia. Bangunan hidup manusia baik dalam dimensi persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah) danpersaudaraan lingkup kebangsaan (ukhuwah wathoniyah) oleh karena adanya cinta yang bersemi dalam diri manusia. Cinta menjadi kekuatan moral (moral force) yang menggerakkan terjadinya pertemuan antarsegmen bangsa yang berbeda etnis, budaya, agama, politik, ekonomi, status sosial, dan aspek-aspek lainnya yang semula menjadi sekatnya.
Cinta mampu mencairkan bekunya hubungan antar komponen bangsa yang semula sibuk menganyam friksi dan menkultuskan faksi-faksinya (golongan-golongannya). Seseorang atau sekelompok orang yang mengasah pikiran dan gerakannya (aktivitasnya) atas dasar cinta, maka dunia tak akan rentan bersimbah darah. Mereka akan menjadi penyemai kedamaian dan kebahagiaan (Marwiyah, 2013).
Melalui spirit cinta universal inilah gejolak emosi dan egoisme yang membara dapat dikalahkan Toleransi antarwarga negara dapat tumbuh subur. Tidak ada lagi sentimen kebencian dan seteru antarwarga negara yang mengatasnamakan perbedaan.
Jadi, pada momentum Isra’ Mikraj ini marilah kita fokus dalam upaya membangun komitmen bersama masyarakat dunia untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian dalam lingkup hubungan kemanusiaan. Momentum Isra’ Mi’raj harus bisa menjadi starting point membangun kembali komitmen ukhuwah basyariyah dan ukhuwah wathaniyah yang sempat terkoyak. Semoga!