Memupuk Solidaritas Virtual, Hindari Perpecahan!

Memupuk Solidaritas Virtual, Hindari Perpecahan!

- in Narasi
1975
1
Memupuk Solidaritas Virtual, Hindari Perpecahan!

Pepatah pernah mengatakan, “mulutmu harimaumu!”. Sungguh luar biasa mulut kita ini, dia dapat lebih mengaung daripada harimau, menerkam dan membahayakan orang lain dan bahkan diri kita sendiri. Kini, tak hanya mulut yang mampu menjadi harimau. Bahkan, jempol juga. Tak ayal, ada istilah baru yang muncul: “jempolmu, harimaumu!”.

Di era virtual seperti sekarang, jempol tak ubahnya sama bahayanya dengan mulut/lisan. Jika jempol digunakan secara bijak, maka tidak akan membahayakan diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya, jika jempol tidak digunakan secara bijak, akan membahayakan diri sendiri dan orang lain. Bisa terjadi perpecahan dan pertikaian karena lisan dan jempol. Karenanya, hati-hati menjaga keduanya. Jempol sama saja fungsinya dengan lisan. Bisa jadi alat fitnah dan adu domba. Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda, ”Berhati-hatilah kalian pada saat terjadinya fitnah, sesungguhnya lisan pada saat itu setajam tebasan pedang.” (HR. Ibnu Majah).

Di era serba virtual seperti sekarang, kita sering gagap dalam penggunaan media sosial. Informasi-informasi yang sebenarnya tidak layak dikonsumsi oleh publik karena mengandung unsur kebohongan, SARA, dan adu domba, sering dengan asal kita sebar. Kita seringkali merasa gatal jempol untuk langsung mengeklik share atas informasi-informasi provokatif semacam itu. Padahal, baik diketahui atau tidak, informasi-informasi tersebut akan memiliki dampak negatif yang bisa berujung pada perseteruan antarkelompok karena merasa difitnah atau karena terprovokasi dengan informasi bohong bernada adu domba.

Tidak Layak

Sebagai negara dengan fitrah keberagaman yang sulit dijelaskan, konten-konten negatif di dunia maya sangat tidak layak disebarluaskan karena berpotensi menyulut api perpecahan. Tentunya, kita tidak menginginkan hal tersebut terjadi.

Kita berharap, antarwarga negara terjalin solidaritas yang kuat. Kita tidak berharap antarwarga negara justru saling bertengkar dan menebar teror. Karena itu akan meruntuhkan persatuan NKRI. Kita harus menjaga kesolidan dan persatuan NKRI.

Perlu dipahami, solidaritas merupakan modal utama dalam membangun sebuah bangsa. Tanpa adanya rasa solidaritas, kita tidak akan menjadi bangsa besar, kita hanya akan menjadi bangsa kecil dan hancur. Emile Durkheim pernah menjelaskan bahwa solidaritas merupakan suatu hubungan yang mengikat dari dalam diri tiap individu dalam masyarakat yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama.

Dari pemikiran inilah Durkheim membagi tipologi solidaritas sosial masyarakat ke dalam dua kategori yakni Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik. Perkembangan masyararakat metropolitian dewasa ini menggambarkan tipe solidaritas organik dimana antar individu berkembang rasa ketergantungan, dikarenakan adanya spesialisasi pekerjaan dan motif ekonomi. Tipologi masyarakat organik seperti ini memang sangat rentan dipantik oleh konflik konfik sosial yang disebabkan oleh rapuhnya ikatan (kohesi) dan kontrol sosial dalam komunitasnya. Oleh karena itulah penting disini menghadirkan nilai solidaritas mekanik yang meski terkenal sangat tradisional namun justru mengedepankan adanya penguatan basis norma serta kontrol sosial (Agung SS. Widodo, 2018).

Solidaritas mekanik inilah yang tidak bisa kita pungkiri perlahan mulai hilang dalam interaksi di ruang publik, pun satu diantaranya dalam ruang dunia maya. Dunia maya sebagai dimensi yang telah menjelma menjadi ruang publik yang mampu memediasi kenyataan kenyataan sosial di ruang publik kenyataannya tidak mampu mewujudkan solidaritas mekanik ini. Meski sebenarnya kita tidak bisa melakukan suatu generalisasi atas fakta yang baru kita lihat sebagian ini, namun setidaknya kegaduhan di dunia maya dengan bertebarannya konten negatif hoaks, adu domba, dan provokasi menunjukkan fakta tersebut.

Tak ayal, karena dunia maya merupakan representasi dunia nyata, di dunia nyata pun kita bisa melihat kegaduhan-kegaduhan itu. Terorisme, perilaku radikal, anti-perbedaan dan justifikasi kebenaran tunggal yang dimiliki seseorang ialah salah satu contohnya. Ironinya, fenomena saling menyalahkan dan tidak menerima perbedaan ini sering bermuara pada pertikaian. Kasus penyerangan jamaah Ahmadiyah di Lombok baru-baru ini ialah salah satu wujud konkrit akibat sikap tersebut.

Perilaku pecah-belah, adu domba, tidak menerima perbedaan sudah seharusnya tidak terjadi di bumi NKRI yang kental dengan nuansa Bhinneka. Dari itu, publik, yang sebagian besar merupakan warganet ini sudah seharusnya memupuk solidaritas sosial dan hindari perpecahan di mana pun mereka berada, tidak terkecuali di dunia maya. Jika di dunia maya kita tidak menebar konten negatif dan benci, hanya menebar konten positif, niscaya informasi yang diterima setiap orang juga positif. Dan, ini akan semakin mendekatkan kita menjadi bangsa yang beradab. Jauh dari pecah-belah.

Jadi, jagalah jempol kita agar tidak mudah menebar informasi-informasi yang lebih banyak negatifnya daripada positifnya di dunia maya. Wallahu a’lam bish-shawaab.

Facebook Comments