Sebagaimana termaktub dalam Alquran, tujuan berpuasa tidak lain untuk membentuk pribadi bertakwa. Yakni, adanya kesantunan dan perangai luhur melakoni kehidupan sehari-hari. Imbas ketakwaan mesti berjalan dua arah. Selain makin akrabnya bersinggungan hubungan vertikal, juga tak kalah penting, adanya kebaikan horizontal. Terutama sekali, ritus agama ini menghendaki adanya pemupukan rasa solidaritas/kepekaan terhadap sesama.
Dalam suatu hari di bulan Ramadan, Nabi Saw menjumpai seseorang yang menghardik hamba sahayanya. Melihat hal itu, baginda Nabi lantas berkata: “Makanlah roti ini”. Sontak saja, orang tersebut berujar: “Ya Rasul, aku ini sedang berpuasa.” Nabi Saw kemudian menimpali: “Bagaimana engkau berpuasa, namun memaki sahayamu.” Kisah ini rupanya menjadi asbabul wurud dari hadis populer bahwa, betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga.
Puasa yang menebarkan laku kemuliaan bak menjadi oase di tengah kehidupan yang makin serba bebas seperti hari-hari ini. Kehidupan bermedia sosial dalam jagat maya merupakan wahana baru yang menyajikan antarpengguna akun bisa saling berinteraksi tanpa batasan. Ironisnya, dunia maya tak jarang disikapi dengan hiruk pikuk umpatan dan makian. Keluasan dan kebebasan dengan bisa memiliki akun anonim, semakin menggerakkan percakapan di dunia siber menuju ketidakberadaban sebagai manusia.
Salah satu keadaban yang diajarkan oleh ibadah puasa adalah hasrat kejujuran yang mesti tertanam kuat. Kejujuran merupakan faktor integral kredibilitas seseorang yang menampilkan adanya tranparansi. Karena itu, langkah pertama dalam interaksi di era digital adalah, memantangkan diri untuk bersikap bohong dan pengelabuhan diri. Ibarat mengisi daftar riwayat hidup pada kolom KTP atau SIM, kejujuran mesti diterapkan pula dalam konfirmasi isian akun media sosial. Kita memahfumi betul aneka teror, ancaman, makian, hardikan, dan lain sebagianya hampir-hampir selalu disetir dan diuarkan dari akun-akun anonim.
Diakui atau tidak, fenomena mutakhir jagat maya juga mencuatkan buzzer, istilah yang sering digunakan untuk upaya pencitraan; utamanya dalam urusan kontestasi politik. Dalam asas kebebasan, hal tersebut sah-sah saja. Namun, bakal menjadi soal, manakala fenomena buzzer kadung masuk dalam sengketa ujaran kebencian dan fitnah. Perang cuitan alias twitwar sebenarnya bisa dimaknai sebagai ajang adu gagasan. Bila ini terjadi secara baik, tentu akan menghasilkan keadaban masyarakat berdemokrasi. Sayangnya, yang tampak adalah sebaliknya. Justru yang ada adalah terbentuknya polarisasi dan fragmentasi masyarakat.
Hilangnya keakraban sebagai sesama warga negara kian hari kita rasakan bersama eskalasinya. Gegara perbedaan corak politik, hampir-hampir menjadi penyulut utama untuk kemudian dijadikan bahan bakar perseteruan yang terus berlangsung. Karena itu, Ramadan merupakan momentum terbaik menjalin kembali ikatan persaudaraan warga negara. Dengan puasa, ada pelajaran untuk berkontemplasi perihal kemanusiaan. Seperti yang telah banyak diuarkan, puasa merupakan tamsil agar kita bisa memahami kepayahan fakir-miskin yang sehari-hari diakrabi kesusahan beroleh pemenuhan pangan. Dengan imaji kesadaran tersebut, kita mungkin bisa sejenak melepaskan hiruk-pikuk celoteh politik pragmatis di dunia maya untuk kemudian beralih kepada urusan yang lebih urgen dan subtil.
Dunia siber melepaskan busur panahnya beribu-ribu lebih cepat ketimbang busur panah sungguhan. Solidaritas kemanusiaan pun berlangsung seketika. Peristiwa di pelbagai belahan dunia, sontak menibakan respons cepat. Keunggulan yang tersemat pada jati diri jagat maya inilah yang mesti kita maksimalkan perannya. Pada banyak sisi keagungan ibadah puasa, kesadaran kolektif berupa merasa senasib sepenanggungan sebagai sesama manusia, menjadi dorongan utama untuk diadopsi dalam pergaulan di dunia maya.
Modal berupa jumlah pengguna aktif media sosial masyarakat Indonesia dalam kisaran puluhan juta, meniscayakan keselarasan sikap untuk meneguhkan ciri khas kita yang sering disematkan: ramah, toleran, dan guyub. Dalam perang melawan aksi-aksi terorisme, peranan dunia maya teranggap penting dan ampuh. Masyarakat kita secara cepat menibakan kecaman atas aksi biadab tersebut. Dengan aneka sematan tagar sebagai bahasa simbol mulai dari #kamitidaktakut, #kamibersamapolisi, dan lain sebagainya, merupakan upaya counter pada diri masyarakat kita bahwa orang Indonesia senyatanya tetap solid dan kompak bersama aparat keamanan menanggulangi segala bentuk teror.
Keadaban puasa menghasratkan untuk cermat dan penuh kehati-hatian atas setiap pijakan langkah kaki dan gerak jemari; agar pahala puasa bisa terengkuh. Relevansi berpuasa di hari-hari ini, saat aksi terorisme dan terpaan ketakutan makin menguat, adalah dengan berhati-hati pula serta berpikir lebih mendalam saat akan membuat postingan dan menyebarkan konten. Karena itu, upaya pemaksimalan berikutnya adalah menjadikan linimasa media sosial kita sebagai ruang yang bersih dari konten-konten negatif. Me-remove akun-akun penguar hasutan. Membagikan informasi-informasi berfaedah. Dan, khusyuk mendalami ilmu agama melalui ngaji online yang semarak dibawakan para kiai yang mumpuni ilmu serta berjiwa patriotik. Walhasil, cara-cara seperti ini bisa sedikit-banyak mematikan paham radikalisme dan menumbuhkan perangai luhur dalam beragama di era siber. Wallahu a’lam