Gejala yang muncul akhir-akhir ini adalah adanya sikap menempatkan “Indonesia” di sebuah pojok nan jauh di sana dan lepas dari kesadaran dirinya. Bahkan tidak jarang, sebagian dari generasi milenial menganggap Indonesia sebagai “museum mati” yang hanya dikunjungi ketika dibutuhkan. Sikap seperti ini tentu pada akhirnya akan menimbulkan mental “tidak memiliki.” Mental tidak memiliki merupakan awal dan benih berbagai aksi-aksi terorisme, radikalisme, intoleransi, dan sederet sikap yang bisa merongrong kedamaian bangsa ini. Jika tidak ditanggulangi segera, akan menyebabkan Indonesia hanya tinggal nama saja. Logika sederhana menunjukkan, bahwa apapun yang dimiliki oleh seseorang, cenderung akan dipelihara. Sebaliknya, apapun yang tidak dimiliki, akan diabaikan, bahkan tak jarang bersikap acuh.
Tentu sikap ini bertolak belakang dengan sikap para pendiri bangsa. The Founding Fathers memperlakukan Negara yang baru saja merdeka ketika itu seperti mereka memperlakukan diri mereka sendiri. Indonesia diletakkan sebagai bagian tak terpisahkan dari gerak napas mereka. Sejarah sudah mencatat bagaimana para pahlawan bangsa ini rela mati-matian untuk mempertahankan kedaulatan Negara ini dengan segala pengorbanan yang tak bisa digambarkan. Pengorbanan tentu bukan datang dari ruang hampa, melainkan ia datang dari rasa memiliki.
Rasa memilki inilah menurut pakar yang hilang dari pendidikan kita. Peserta didik hanya diajari berbagai macam aneka pengetahuan kognitif dan versi sejarah ini dan itu. Kampus dituntut untuk menciptakan lulusan yang unggul, bernilai tinggi, dan berdaya saing. Berbagai aturan diterbitkan demi terciptanya institusi pendidikan kelas dunia. Pemerintah pun sibuk untuk meraih rengking pendidikan di mata dunia. Tetapi mental memiliki dan merawat bangsa justru absen dari proses pendidikan dan tidak dipupuk sejak dini.
Ada bebarapa cara bagaimana mental memiliki ini bisa ditumbuhkan-kembangkan sejak dini. Pertama, melakukan revolusi mental. Revolusi yang mental yang digagas oleh Jokowi pada awal-awal ini pemerintahannya perlu diarahkan kepada sense of belonging. Tanpa rasa memilki, revolusi apapun tidak akan berjalan mulus. Beberapa revolusi dalam lembaran sejarah, terjadi dan berangkat dari adanya rasa memiliki. Dalam konteks perdamaian (peaceful), rasa memilki juga bisa meredam aksi-aksi anarkis, intoleran, dan terorisme. Karena tidak mungkin seseorang menyakiti dan menghancurkan sesuatu yang ia miliki.
Kedua, perlu pendidikan yang berbasis pada penghayatan. Pendidikan selama ini lebih diarahkan kepada pemenuhan kognitif, tanpa menekankan penghayatan dan pengalaman langsung. Maka pendidikan perlu diarahkan kepada praktik-praktik langsung, seperti drama, teater, dan musik dalam mempelajari sejarah. Dengan praktik langsung, anak bangsa merasakan langsung bagaimana sejarah para leluhur memperjuangkan bangsa ini. Yang dengan itu, mental memiliki akan terpatri dalam jiwa anak bangsa.
Ketiga, menumbuhkan kesadaran bahwa atribut Keindonesiaan lebih dahulu ada jauh sebelum atribut-atribut lainnya. Dalam konteks ini, ungkapan Gus Dur perlu direnungkan kembali, “Kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia.” Ungkapan ini sebenarnya ingin menegaskan, bahwa atribut Keindonesiaan adalah atribut pertama dan utama.
Ketiga metode ini bisa disosialisasikan, sehingga akan muncul mental memiliki. Mental memiliki pada akhirnya akan menegasikan sikap-sikap yang berseberangan dengan peaceful, yang selama ini menjadi ciri utama bangsa ini.