Absursditas Agenda Formalisasi Syariah dalam Konteks Negara Pancasila

Absursditas Agenda Formalisasi Syariah dalam Konteks Negara Pancasila

- in Narasi
28
0

Isu penerapan hukum Islam atau formalisasi syariah sebenarnya bukan isu baru. Sejak awal berdirinya negara ini, perdebatan tentang formalisasi syariah sudah mencuat. Kelompok nasionalis-islamis menginginkan Indonesia menjadi negara Islam berdasar hukum syariah. Namun kubu nasionalis-modernis menghendaki Indonesia menjadi negara bangsa (nation-state) yang bertumpu pada Pancasila dan UUD 1945.

Debat itu dimenangkan oleh kubu nasionalis-moderat dengan disahkannya Pancasila dan UUD 1945. Meski demikian, isu formalisasi syariah tidak pernah benar-benar padam. Pasca Reformasi yang ditandai dengan berakhirnya kebijakan asas tunggal Pancasila, agaenda formaliasi syariah kembali muncul ke ruang publik.

Agenda itu diusung oleh kekuatan politik Islam konservatif kanan yang kembali mendapat panggung pasca berakhirnya rezim Orde Baru. Di saat yang sama, gelombang penetrasi ideologi transnasional yang mengusung ide-ide negara Islam atau khilafah juga tengah melanda Indonesia. Momentum inilah yang menjadi semacam awal kebangkitan gerakan formalisasi syariah di Indonesia.

Namun, agenda formalisasi syariah tidak kunjung menemukan titik terang. Wacana itu gagal dibawa ke parlemen lantaran parpol-parpol berhaluan Islam tidak mendapat suara signifikan. Bahkan, hari ini kita melihat bagaimana parpol-parpol berideologi Islam berguguran dari parlemen karena gagal melewati angka ambang batas minimal perolah suara.

Sisanya, yang masih bertahan di parlemen pun mulai beranjak menjadi partai moderat dan tidak lagi mengusung agenda formalisasi syariah sebagai komoditas politiknya. Di titik ini, kita bisa menyimpulkan bahwa wacana formalisasi syariah sebenarnya telah mengalami kebangkrutan.

Hal itu sekaligus juga membuktikan bahwa agenda formalisasi syariah dalam konteks negara Pancasila adalah sebuah hal yang absurd alias tidak masuk akal. Absurditas gerakan formalisasi syariah ini dapat dilihat dari setidaknya dua sudut pandang; yakni sosial dan politik.

Membaca Absurditas Formalisasi Syariah dari Perspektif Sosial dan Politik

Pertama, dari sisi sosial, agenda formalisasi syariah itu tidak relevan dan adaptif dengan realitas sosial-keagamaan masyarakat Indonesia yang pluralistik. Seperti kita tahu, Indonesia adalah negara yang multikultur dan multireliji. Beragam suku, etnis, ras dan golongan agama hidup di wilayah NKRI yang membentang dari Aceh hingga Papua.

Penerapan hukum yang berdasar pada agama tertentu seperti syariah Islam tidak akan bisa mengakomodasi kepentingan seluruh golongan agama yang ada di Indonesia. Eksistensi kelompok non-muslim akan dianggap sebagai warganegara kelas dua dalam bingkai hukum syariah. Dan hal itu tidak pelak akan memicu munculnya diskriminasi kelompok minoriatas yang berpotensi merusak integrasi bangsa.

Kedua, dari perspektif politik agenda formalisasi syariah kerapkali hanya menjadi komoditas politik para elit politisi yang ingin mendapatkan kekuasaan dengan modal suara dari kelompok pemilih muslim konservatif. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kelompok berlatarbelakang muslim konservatif merupakan ceruk pemilih yang besar di negeri ini. Banyak survei menyebutkan bahwa jumlahnya bisa mencapai 10-15 persen dari total pemilih dalam Pemilihan Umum.

Ceruk pemilih yang besar itulah yang digarap oleh parpol dan elite politik berhaluan konservatif-kanan untuk mendapatkan suara dan memuluskan jalan menuju kekuasaan. Alhasil, wacana formalisasi syariah itu pun tidak jelas rumusannya seperti apa karena hanya menjadi bahan kampanye usang setiap lima tahun sekali.

Mengejawantahkan Islam Sebagai Sistem Nilai Moral dan Etika

Jika melihat realitas sosial-politik Indonesia yang plural dan tantantan kebangsaan yang dihadapi Indonesia saat ini, agenda formalisasi syariah bukanlah satu hal yang urgen. Formalisasi syariah sebagai manifestasi dari pola pikir tekstual dalam memahami agama justru akan menjadi pemicu masalah baru alih-alih menjadi solusi bagi problematika bangsa seperti yang diklaim para pengusung konsep negara Islam, khilafah, dan sejenisnya.

Kita bisa melihat bagaimana negara-negara Islam yang menerapkan hukum Islam hari ini justru tengan dilanda krisis sosial bahkan konflik politik yang berkepanjangan. Di sisi lain, banyak negara Islam hari ini yang pelan-pelan bertransformasi menjadi negara-bangsa dan mengadaptasi sistem demokrasi.

Lebih spesifik dalam konteks Indonesia kita melihat bagaimana kemunculan perda-syariah di sejumlah wilayah gagal mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warganegara. Banyak penelitian membuktikan bahwa perda-perda syariah yang berlaku di sejumlah daerah justuru menjadi akar diskriminasi kepada kelompok agama minoritas.

Di negara mayoritas muslim seperti Indonesia, kehadiran Islam secara nyata di ruang publik dan pemerintahan memang sangat dibutuhkan. Namun, bukan berarti bahwa formalisasi syariah adalah sebuah kebutuhan mutlak. Yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana Islam sebagai sistem nilai moral dan etika bisa diejawantahkan dalam seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Prinsip Islam tentang keadilan misalnya bisa diformulasikan ke dalam tata hukum dan pembangunan ekonomi yang berwawasan keadilan dan pemerataan. Juga prinsip Islam tentang kesetaraan misalnya bisa mengejawantah ke dalam kebijakan yang menjamin hak asasi setiap entitas warganegara terlepas dari latarbelakang suku dan agamanya.

Facebook Comments