Bangkitnya Sel Tidur terorisme di Tengah Konflik Palestina-Israel : Pengalihan Isu atau Kewaspadaan?

Bangkitnya Sel Tidur terorisme di Tengah Konflik Palestina-Israel : Pengalihan Isu atau Kewaspadaan?

- in Analisa
280
0

Seniman dan Politisi PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, dengan tegas menyatakan : “Mohon dengan segala hormat hentikan menilai tragedi kemanusiaan Gaza berpotensi membangunkan sel terorisme”, begitu dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (1/11/2023). Menurutnya, kemerdekaan Palestina harus diperjuangkan karena bagian dari amanat konsitusi. Ia pun menyindir agar tidak menjadikan isu perang di Palestina sebagai polemik pengalihan isu hakim konsitusi di Mahkamah Konstitusi.

Nampaknya, sindiran mantan artis ini diarahkan pada pernyataan Kapolri saat menyampaikan arahan pada acara Apel Kasatwil 2023 di Jakarta, Rabu (1/11). Jenderal Sigit mengarahkan aparat kepolisian di wilayah agar waspada dengan sudah ditangkapnya 57 orang terkait terorisme pada beberapa waktu terakhir. Polisi, menurutnya, juga mewaspadai munculnya sel-sel tidur yang terafiliasi dengan teroris di tengah perang Israel-Palestina.

Sekilas membaca arahan Kapolri ini tidak ada persoalan yang mendasar. Indonesia sebagai negara yang terus berkomitmen mendukung Kemerdekaan Palestina sejak awal tidak pernah diragukan. Namun, mewaspadai sel-sel tidur terorisme yang akan bangkit dengan menunggangi isu konflik di Timur Tengah bukan isap jempol semata.

Meneguhkan Solidaritas, Meningkatkan Kewaspadaan

Persoalan solidaritas kemanusiaan dan anti penjajahan dalam isu Israel Palestina harus terus disuarakan. Indonesia, dengan amanat konstitusi yang sangat tegas, terus mendukung kemerdekaan Palestina atas penjajahan Israel. Kejadian di Palestina menginspirasi solidaritas umat dan masyarakat secara umum untuk membela rakyat Palestina yang terjajah zionisme.

Namun, tidak sedikit pula yang menunggangi isu Timur Tengah untuk kepentingan yang destruktif. Konflikyang terjadi di Timur Tengah selalu ditunggangi dengan aksi yang bernuansa tindak pidana terorisme di Indonesia. Eskalasi global khususnya di Timur Tengah kerap dimanfaatkan untuk kegiatan destruktif seperti penggelapan dana kemanusiaan untuk kelompok teror di luar negeri hingga aksi balas dendam di dalam negeri mengatasnamakan solidaritas.

Karenanya, Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan arahan Kapolri harus dibaca sebagai bentuk antisipasi aparat penegak hukum yang sedang mengarakan anggotanya untuk menjaga keagamaan wilayah. Pernyataan itu bukan sebagai pengalihan isu, tetapi early warning.

Senada hal tersebut, Ketua Bidang Kebijakan Publik GP Ansor Kabupaten Kudus, Syakroni Asnawi, yang menyatakan kesepakatannya dengan arahan Kapolri. Ia menekankan pentingnya mewaspadai kemungkinan konflik tersebut dimanfaatkan oleh sel-sel tidur terorisme untuk beraksi di Indonesia. Syakroni menjelaskan bahwa arahan Kapolri dimaknai sebagai peningkatan kewaspadaan dalam rangka pencegahan. Sentimen anti-Israel seharusnya tidak menjadi pemicu untuk aksi-aksi kekerasan di dalam negeri seperti terorisme dan kekerasan lainnya.

Begitu pula, Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis), Jeje Zaenudin, juga memahami pernyataan Kapolri. Ia berpendapat bahwa arahan Kapolri dapat dimaknai sebagai langkah antisipasi terhadap upaya pihak-pihak yang ingin menciptakan kerusuhan dan kekacauan di Indonesia dengan memanfaatkan situasi perang di Palestina. Jeje Zaenudin menyoroti kemungkinan adanya upaya untuk merusak citra umat Islam dengan memanfaatkan emosi warga yang berduka akibat konflik tersebut.

Dalam konteks ini, perlu diwaspadai potensi eksploitasi dan penyalagunaan aksi solidaritas rakyat Indonesia dalam pembelaan terhadap Palestina untuk tujuan anarkis terhadap fasilitas tertentu, seperti fasilitas milik Amerika atau mereka yang dianggap pro Israel. Dengan demikian, langkah-langkah pencegahan dan pengamanan menjadi sangat penting untuk menjaga ketertiban dan keamanan dalam menyuarakan dukungan terhadap Palestina.

Kacamata Pengamat dan Mantan Pelaku Teror

Pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie, menilai hal serupa tentang pentingnya kewaspadaan terutama terhadap sel-sel tidur jaringan terorisme di dalam negeri. Bukan tidak mungkin, konflik Palestina dan Israel berpotensi ditangkap dalam kacamata kelompok radikal atau garis keras dengan aksi destruktif.

Secara umum, karakter garis keras di Indonesia memiliki sifat yang reaktif dan destruktif dalam menyikapi peristiwa global, utamanya di Timur Tengah. Aksi solidaritas cukup beragam, tidak hanya kecaman, boikot, bahkan bisa juga dalam bentuk kekerasan dan teror (4/11/2023).

Artinya, dalam melancarkan aksi teror dengan mengatasnamakan solidaritas bisa menyasar kantor-kantor pemerintahan di Jakarta dari negara-negara yang mendukung aksi penyerangan Israel ke Palestina. Simbol-simbol Barat akan menjadi sasaran target dari aksi balas dendam yang dipertontonkan dalam aksi terorisme.

Para mantan narapidana terorisme (Napiter) juga mengamini hal tersebut. Dodi Suridi (29), mantan teroris Bom Thamrin menjelaskan, membenarkan jika konflik Israel-Palestina bisa saja memicu bangkitnya sel-sel yang terafiliasi dengan jaringan terorisme dengan alasan membela saudara muslim.

Logikanya sederhana menurut Dodi. Sel teroris yang sedang tidur itu merasa terpanggil untuk berangkat ke Palestina untuk ikut berperang. Namun, karena kurang fasilitas yang menduku, dikhawatirkan keinginan itu justru dilampiaskan di Tanah Air dengan membuat kekacauan.

“Ketika mentok itulah nanti akan timbul permasalahan, seperti pemikiran saya dulu, daripada jihad di sana (Palestina) dihalangi, kita bikin aksi di sini,” ujar Dodi, dikutip dari TribunCirebon.com, Sabtu (4/11/2023).

Karena itulah, ia mengajak dan mengingatkan dukungan terhadap Palestina harus tegas dilakukan, tetapi tidak perlu diekspresikan secara berlebihan yang dapat memecah perpecahan umat, apalagi merusak citra Islam dengan kekerasan dan teror.

Mantan napiter asal Kabupaten Cirebon lainnya, Yusuf Firdaus (53) juga menegaskan potensi sel-sel teroris baru dari jaringan terorisme dengan alasan ingin membantu warga Palestina. Mereka yang mengaku para mujahid militan atau aktivis semakin memiliki niat berjihad semakin besar. Namun, ekspresi dukungan menurutnya tidak bisa berlebihan yang dapat memecah belah umat.

Memahami Logika dan Narasi Terorisme Menunggangi Konflik

Pada tahun 2012, The Indonesian Research Team, yang terdiri dari Kementerian Luar Negeri, INSEP dan Densus 88 melakukan riset terhadap 110 Pelaku Tindakan Terorisme bertema “Research on Motivation and Root Causes of Terrorism”. Salah satu data yang dihasilkan adalah tentang motivasi aksi teror di Indonesia. Sebanyak 45,5 persen karena ideologi agama, 20 persen karena solidaritas komunal, 12,7 persen karena mob mentality, 9,1 persen situasional dan 1,8 persen karena separatisme.

Data tersebut menunjukkan bahwa motivasi ideologi keagamaan menjadi salah satu sumber utama dan dominan dalam proses radikalisasi. Motivasi ideologi dimaksudkan eksploitasi ajaran agama dalam bentuk ideologisasi untuk membenarkan tindakan teror. Menariknya, solidaritas komunal yang destruktif juga menjadi alasan mereka melakukan teror. Penderitaan yang dialami masyarakat seagama di luar negeri dan di dalam negeri menjadi alasan mereka melakukan aksi teror sebagai bentuk pembelaan. Senada dengan itu, mtovasi balas dendam juga menjadi alasan.

Tentu garis besar dari penelitian ini bukan untuk menghakimi bentuk solidaritas kemanusiaan berarti bernuansa teror. Jangan salah memahami atau tergiring opini. Penjelasan di atas diambil dari kacamata pelaku teror yang menegaskan aksi teror yang mereka lakukan dimotivasi sebagai bentuk pembelaan yang destruktif dan negatif dengan menyasar kelompok yang tidak bersalah dalam bentuk teror.

Pengakuan beberapa mantan napiter juga menegaskan kejadian di luar negeri terutama di Timur Tengah seringkali menginspirasi mereka untuk melakukan bentuk pembelaan dengan menyasar target di dalam negeri, terutama simbol-simbol yang dianggap musuh. Dalam memanfaatkan situasi konflik tersebut ada tiga narasi yang kerap dimainkan adalah : 1) Narasi militansi yang menanamkan kebencian terhadap yang lain (the other), 2) Narasi keterancaman (Islam under siege), 3) Narasi umat yang diperlakukan tidak adil.

Narasi-narasi itu dipropagandakan sehingga mendorong emosi yang memuncak untuk melakukan perlawanan yang destruktif dan membabi buta. Terkadang untuk menambah keyakinan, dalam pengkaderan terorisme, para kader diajak menonton film kekejaman Barat terhadap negara-negara di Timur Tengah yang menimbulkan amarah dan semangat untuk membela dan berperang.

Mantan narapidana terorisme yang juga mantan polisi, Sofyan Tsauri mengatakn bahwa terorisme sangat berkaitan dengan situasi global. Artinya terorisme di Indonesia tidak muncul tiba-tiba tetapi imbas dari situasi global seperti konflik di Timur Tengah dan konflik dalam negeri. Perasaan membela terhadap kondisi konflik jika tidak disalurkan dalam aksi dan tindakan positif mudah dieksploitasi dalam tindakan terorisme. seringkali solidaritas komunal ini juga sering disalahartikan dalam bentuk teror dan aksi balas dendam sebagaimana munculnya aksi Bom Bali pada tahun 2002.

Karena itulah, kembali pada arahan Kapolri tentang peningkatan kewaspadaan terhadap sel-sel tidur terorisme untuk menunggangi konflik harus dibaca dalam kacamata peningkatan kewaspadaan, khususnya bagi aparat penegak hukum. Pernyataan ini tidak perlu dibaca politis seperti pengalihan isu, kecuali memang politisi. Aksi solidaritas dan komitmen bangsa Indonesia untuk Palestina tidak diragukan, mengalir dari para negarawan, politisi dan masyarakat.

Tetapi, tentu harus ingat, isu perjuangan Palestina Merdeka harus disuarakan dengan tulus dan konsisten. Bukan dimanfaatkan para politisi untuk menaikkan elektoralnya. Perjuangan Palestina adalah perjuangan kemanusiaan untuk menjadi manusia merdeka di tanah kelahirannya sendiri yang sudah lama dijajah zionisme.

Facebook Comments