Netanyahu dan Legitimasi Perang: Ketika Kekerasan Selalu Berlindung di Balik Kitab Suci

Netanyahu dan Legitimasi Perang: Ketika Kekerasan Selalu Berlindung di Balik Kitab Suci

- in Narasi
160
0

Memasuki bulan kedua serangan Israel ke Gaza, PBB memperingatkan adanya situasi “darurat” bagi anak-anak di Gaza. Pasalnya, bom-bom Israel kini juga menarget sekolah-sekolah yang digunakan sebagai tempat berlindung selain rumah sakit. Mengutip The Guardian, lebih dari 40% korban tewas di Gaza setelah hampir empat minggu perang adalah anak-anak. PBB menyatakan, 3.900 korban yang dilaporkan adalah anak-anak dan 1.250 lainnya hilang dan diperkirakan terkubur di bawah reruntuhan bangunan yang dibom. Dengan sedikitnya peralatan penyelamat dan rumah sakit yang penuh sesak serta kehabisan persediaan, peluang untuk bertahan hidup bagi mereka yang terjebak di reruntuhan sangatlah rendah.

Bersama dengan laporan PBB ini, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengeluarkan pernyataan resmi melalui kanal YouTube pada hari Selasa (31/10). Dalam pidato berdurasi enam menit tersebut, Netanyahu tegas menolak gencatan senjata yang disepakati oleh lebih dari 100 negara anggota PBB. Ia juga mengajak negara-negara lain yang berkomitmen terhadap janji dan harapan kemajuan abad ke-21 untuk bergabung dengan Israel menghabisi kelompok-kelompok barbar dan teror.

Kaum Barbar yang dimaksud Netanyahu dalam konteks ini adalah Hamas. Menurutnya, Hamas adalah bagian dari tirani dan teror dan ancaman terhadap peradaban manusia. PM Israel lima periode tersebut secara rinci menguliti Hamas dengan menyebut aksi-aksi terornya seperti memisahkan anak-anak dari orang tuanya, membunuh warga sipil, menjadikan warga Palestina sebagai tameng hidup, termasuk menyebutkan proksi-proksi teror di Timur Tengah seperti Hizbullah di Iran. Sedangkan Israel, menurutnya, sedang berusaha mengeluarkan warga sipil Palestina dari rezim barbar Hamas dan membebaskan mereka dari daerah konflik yang dikuasai Hamas.

Pernyataan Netanyahu tersebut mutlak membangun wacana soal mana “malaikat” yang harus didukung, mana “iblis” yang harus dilawan. Netanyahu menyebutnya “the force of civilization” melawan“the force of barbarism”. Untuk menegaskan kerangka dikotomi ini, Netanyahu mengutip salah satu ayat dari Bible yang redaksinya kira-kira berbunyi, “there is a time for peace and a time for war”. Menurut Netanyahu, saat ini adalah “a time for war”, perang untuk masa depan bersama.

Apa yang ditampilkan Netanyahu sebenarnya adalah cerminan dari kelompok-kelompok fundamentalisme agama yang menggunakan ayat-ayat Tuhan semata sebagai dalih kekerasan. Kelompok ini setidaknya memiliki tiga karakteristik utama. Pertama, mereka menghalalkan pertumpahan darah karena yakin bahwa itu adalah bagian dari “mandat” Tuhan yang berikan manusia di muka bumi. Kedua, dalil agama kerap digunakan untuk membuat jarak antara dua identitas yang dianggap berseberangan. ISIS, misalnya, menggunakan kata “kafir” untuk mengidentifikasi kelompok di luar mereka sehingga boleh untuk dimusnahkan. Ketiga, dalil agama cenderung dikapitalisasi untuk meneguhkan posisi sebuah kelompok sembari mendiskreditkan yang lain.

Di luar bagaimana konteks ayat Bible tersebut ditafsirkan, penggunaan dalil agama untuk menjustifikasi perang justru bertolakbelakang dengan frase “civilized people” yang dilontarkan Netanyahu dalam pidatonya. Orang mungkin berdebat soal pihak yang disalahkan atas tragedi Gaza sebulan terakhir ini. Namun akumulasi pertempuran Palestina sejak pendudukan pertama Israel mutlak menempatkan Israel, dalam hal ini Zionis, sebagai pihak yang dipersalahkan karena menciderai nilai-nilai kemanusian dan peradaban masyarakat modern.

Netanyahu menampilkan diri sebagai neo-fundamentalis yang berusaha mencapai cita-cita politiknya lewat narasi perang dan kebencian. Narasi ini mirip dengan ketika Amerika dan sekutunya menyerbu Irak. Terlepas dari motif-motif yang diisukan, karena mayoritas warga Amerika beragama Kristen, dan sementara mayoritas warga Irak beragama Islam, maka narasi yang dibangun adalah serbuan Tentara Salib atas bumi Islam. Dalam arti lain, kelompok fundamentalisme agama cenderung bisa mengambil hati masyarakat dalam mewujudkan satu kepentingan tertentu dengan mengkapitalisasi dalil-dalil agama tadi.

Argumen-argumen ini sudah bukan hal yang tabu lagi. Zionisme memang menggunakan dalil historis dan agama, termasuk referensi ke Alkitab, dalam konteks perdebatan terkait konflik Israel-Palestina. Netanyahu, misalnya, menggunakan argumen ini untuk mendukung klaim Israel atas pendudukan tanah Yerusalem. Menurutnya, tanah itu adalah bagian dari sejarah Yahudi kuno, dan bahwa Alkitab memberikan landasan historis bagi hak Israel atas wilayah tersebut.

Perilaku Netanyahu seperti mengamini tesis John L. Esposito bahwa peperangan dan kekerasan dalam agama selalu bermula dari faktor keimananan manusia. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, faktor utama munculnya radikalisme dalam beragama adalah kurangnya pemahaman yang benar dan mendalam atas esensi ajaran agama dan pemahaman literalistik atas teks-teks agama. Gejala ini bukan ada pada Netanyahu saja, tetapi banyak terjadi di banyak komunitas keagamaan.

Dalil-dalil agama tersebut seperti menutup berbagai dimensi lain yang sebenarnya turut membentuk kompleksitas konflik Israel-Palestina, seperti dimensi politik, ekonomi, sosial, dan utamanya kemanusiaan. Akhirnya, alih-alih mencapai resolusi konflik yang dicanangkan oleh banyak negara termasuk Indonesia, penyalahgunaan dalil agama justru semakin mengaburkan visi perdamaian kedua negara.

Facebook Comments