Al ulama’ warosatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Maqolah itu menjadi kekuatan tersendiri bagi para ulama atau agamawan. Pendakwah atau penceramah yang dihormati dan dijadikan panutan oleh masyarakat atas kebijaksanaan dan pesan damainya. Mereka adalah penyambung lidah para pendahulu, para nabi.
Di negeri yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama ini, menjadikan masyarakat kita memusatkan segala pengilhamannya pada ajaran dan nilai agama. Bukan rahasia umum, di negeri yang percaya agama ini, masyarakatnya lebih percaya pada agamawan dari pada pada ilmuwan. Perkataan agamawan lebih manjur ditangkap sebagai pesan kebenaran oleh masyarakat dari pada ilmuwan.
Pertentangan antar kepercayaan terhadap agamawan dan ilmuwan itu menjadikan dilematika mendalam di tengah revolusi industri 4.0. Kegelisahan itu bermuara pada sebuah pola konservatisme keberagamaan kita. Seolah agama bukan lagi sebuah panggilan Tuhan, akan tetapi panggilan politik. Begitulah faktanya yang terjadi di Indonesia.
Musim politik di Indonesia telah menghardik agama yang tengah dijadikan tumbal, tumbal kebinalan pencari kekuasaan. Banalitas itu tidak hanya terjadi di kampung-kampung, kantor, atau sekolah. Banalitas itu terjadi di mimbar-mimbar tempat ibadah. Tempat ibadah pun menjadi sarang ujaran kebencian, hoaks, dan SARA- yang telah dilakukan oleh beberapa pendakwah atau agamawan.
Teks agama hanya dijadikan komoditas politik untuk saling memengaruhi dan menindas yang lemah. Ayat suci hanya dijadikan untuk menista manusia yang satu dan yang lain. Ungkapan agamawan dipercaya mentah-mentah dan dijadikan bahan merawat irasionalitas.
Baca Juga :Eko-Sufisme, Restorasi Ekologis dan Politik Hijau
Distorsi nilai dan ajaran agama inilah yang perlu direvitalisasi kembali. Agama sebagai ajaran berbagi damai dan cinta kasih harus disembuhkan dari perilaku licik oknum manusia. Agama sebagai nilai keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, dan kearifan lokal juga perlu untuk disuguhkan oleh para agamawan.
Agamawan sebagai pemegang kendali kepercayaan terhadap masyarakat memiliki peran sangat penting mengubah mindset masyarakat. Tekstualitas agama juga dibutuhkan oleh masyarakat. Akan tetapi, teks agama akan lebih bernyawa jika dikaitkan dengan sebuah konteks, sebuah realitas, atau sebuah fenomena. Di situlah, ilmuwan hadir untuk menggenapinya, sukur jika para agamawan di negeri ini paham keduanya.
Realitas yang ada akhir ini misalnya sebuah bencana alam. Tidak lah cukup rasional hanya menjelaskan kepada masyarakat bahwa itu adalah sebuah kehendak Tuhan, apalagi menjelaskan kepada masyarakat bahwa itu adalah sebuah azab. Azab yang diturunkan kepada hambanya yang bermaksiat, misalnya.
Tentu itu jauh dari akal sehat para ilmuwan, setidaknya bagi orang yang waras. Akal sehat akan berkata lain, bencana alam bukan satu-satunya atas kehendak Tuhan. Itu tidak lebih dari sebuah ketidakseimbangan alam. Ketidakseimbangan itu salah satunya dipengaruhi oleh perilaku manusia.
Agamawan yang ilmiah sangat dibutuhkan di masa sulit ini, masa yang melulu masyarakatnya hanya membincang ‘Banjir; berkah atau musibah’. Agamawan adalah juru damai dan juru selamat umat manusia. Bagaimana bisa kedamaian dan keselamatan dijawab oleh dalil-dalil, tanpa teladan.
Guna meliterasikan masyarakat tentang kesadaran lingkungan hidup, dibutuhkan peran agamawan. Para penceramah atau pendakwah yang berwawasan ekologis atau lingkungan. Literasi lingkungan menjadi penting sebagai transformasi ilmu memelihara alam semesta. Sebagaimana pesan Al Quran;
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Ruum: 41).
Allah telah menciptalan manusia untuk menjadi pemimpin. Pemimpin itu perwakilan Allah di muka bumi, pengelola isi bumi. Tugas utamanya adalah memastikan keberlangsungan bumi. Sehingga bisa mewariskan ke generasi berikutnya, dan memberikan keadilan kepada semua makhluk.
Akan tetapi, manusia juga memiliki kelemahan, berupa salah dan khilaf. Gawatnya, kelemahan untuk mengelola bumi itu dilakukannya dengan sengaja atas kepentingan kolektif, atas dasar pertumbuhan ekonomi. Kealpaan itulah yang terkadang dianggap wajar. Sehingga, Allah memberikan peringatan agar manusia berfikir (Al Baqarah:44), tidak membuat kerusakan (Ar-Ruum:41), dan berbuat bijak kepada sesame (Al Baqarah:177).
Oleh karena itu, nasehat hijau agamawan untuk mengedukasi masyarakat terkait ekologi ini menjadi penting. Sebagaiman pula yang termaktub dalam kaidah fikih, bahwa manusia berhak atas hak hidup, hak memperoleh rasa aman, dan hak untuk mendapat jaminan keselamatan lainnya. Dengan memelihara dan melestarikan lingkungan, semua manusia akan hidup makmur sejahtera- meminimalisir bencana alam yang ada. Karena sesungguhnya bencana alam bukan sepenuhnya kehendak Tuhan, bukan pula sepenuhnya atas perilaku manusia.
Pada akhir sebuah nasehat, “Birukan laut, hijaukan bumi, putihkan udara- agar semua manusia bisa hidup bahagia.”