Dalam setiap agama, ada ajaran untuk memberikan sebagian harta kepada yang sangat membutuhkan. Agama, tidak memperbolehkan jurang si kaya dan si miskin terlalu lebar. Dalam Islam, secara sarih dinyatakan, perintah berderma merupakan kewajiban. Harta yang diperoleh dengan jerih payah itu, tetap ada hak untuk si fakir yang mesti dibayar. Agama hakikatnya melarang konsentrasi penumpukan modal yang berkisar pada segelintir orang. Dalam aspek sosiologis, fenomena tersebut melahirkan kecemburuan sosial dan ketimpangan ekonomi.
Pembagian/penyaluran “timbunan” kekayaan untuk kemudian diberikan kepada yang membutuhkan semata-mata demi upaya pemberdayaan si miskin. Tidak sekadar dilihat dari sebentuk kewajiban agama yang berpahala. Namun, sebagai upaya agama mengentaskan kemiskinan. Kita tahu, kemiskinan atau ketimpangan ekonomi bisa berujung instabilitas sosial.
Perintah berderma merupakan etos kerja memuliakan mereka yang lemah ekonomi. Ditilik mendalam, ajaran berderma dalam agama juga menibakan aspek filosofis, yakni: menyorongkan rasa solidaritas kepada sesama. Solidaritas adalah sebentuk kesadaran bahwa masing-masing diri ini berkedudukan sederajat di hadapan Tuhan. Faktor pembeda bukan terletak pada kekayaan materialistik, namun nalar dan lakon kesalehan sebagai tolok ukur.
Islam menaruh perhatian sangat besar kepada kaum miskin, sebagai elan yang harus dibantu oleh si kaya. Hampir-hampir setiap bagian kepemilikan harta-benda, mulai ladang persawahan, peternakan, hingga komoditas barang perdagangan, semuanya memiliki ketentuan untuk dizakati. Bahkan pelanggaran terhadap ritus agama semisal tidak berpuasa atau melanggar sumpah, dikenakan denda berupa kifarat; mengeluarkan sebagian harta-benda untuk disedekahkan.
Menariknya terkait objek sedekah, Maulana Rumi dan Ibnu Arabi, setidaknya dua sufi agung itu, dalam banyak hal selalu mendasarkan untuk tidak memandang siapa pun dalam keberbeda-bedaan. Semua makhluk di bumi (baca: manusia) tanpa pandang batasan etnis maupun agama, hakikatnya sama sebagai seorang manusia, makhluk Tuhan. Kita pun lantas prihatin, pada hari-hari ini, masih kerap ditemukan fenomena solidaritas yang bersifat terbatas. Dengan kata lain, aku mengasihanimu dan aku peduli denganmu karena disatukan oleh kesamaan suku dan agama.
Padahal, dalam agama sendiri, pilih-pilih kasih macam itu tidak beroleh pembenaran. Agama menghendaki adanya distribusi ekonomi berjalan tanpa memandang latar belakang identitas. Poin penting agama ialah, membantu yang teraniaya/lemah untuk kemudian bisa berdikari. Begitu pun dalam berderma, bencana kelaparan yang menimpa yang berbeda agama, selaiknya tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak menolong dan berempati. Pengungsi Rohingya maupun para korban perang di Yaman, Suriah, dan Palestina, hendaknya diinterpretasikan dengan sederhana; bahwa mereka merupakan orang lemah, terlilit lapar. Karena itu, mesti dibantu segera mungkin dan kontinu. Tidak perlu harus dihadapkan kepada mereka perihal agama apa yang dianut atau beralibi tersebab urusan politik yang mencegah untuk memberikan bantuan kemanusiaan.
Solidaritas komunal kurang mendapat legitimasi kuat dari agama sebagai variabel pembeda dalam urusan kemanusiaan macam di atas. Justru, agama menyorongkan bahwa hakikat berderma sebagai elan vital kemanusiaan menghendaki adanya solidaritas universal. Sebuah sikap yang tidak memandang dan membedakan si objek/sasaran empati. Kesadaran inilah yang kiranya mesti tersemat. Nabi Muhammad Saw telah menamsilkan perkara berderma dengan sangat baik. Kisah-kisah tentang beliau yang apik soal kepeduliannya kepada orang lain, bahkan hampir-hampir tidak memedulikan dirinya sendiri karena saking welas-asihnya terhadap sesama. Tak hanya kepada kaum muslim, Nabi juga berwelas asih dengan yang berbeda agama macam seorang peminta Yahudi di pojokan Kota Madinah. Jadi, jelaslah bahwa Nabi Saw telah mengajarkan bahwa solidaritas mestinya diberikan untuk setiap orang.
Sedekah yang memberdayakan
Qardhawi dalam kitab Ash-Shodaqoh mengecam keras anggapan sebagian pihak yang menganggap kemiskinan merupakan suratan takdir; dan oleh karenanya orang miskin tak perlu sampai diberikan akses/modal pemberdayaan. Sedekah sebagai perintah agama tidak sekadar dimaknai dengan asal menolong. Namun, perlu ditafsirkan sebagai implementasi pemberdayaan. Si miskin/peminta mesti diberikan modal atau akses sehingga kemudian bisa mendiri dan justru bisa menjadi calon penderma. Inilah sebenarnya puncak term solidaritas sosial.
Hikayat masa lampau sudah mengabarkan bahwa zakat terkira ampuh mengentaskan kemiskinan, terutama di zaman Khulafa Rasyidin dan masa Umar bin Abdul Aziz dengan Baitul Mal-nya. Karena itu, keberhasilan implementasi aspek penyaluran sedekah dan terutama zakat harus melalui lembaga atau institusi negara/swasta. Bukan memasrahkan kepada tiap-tiap person individu yang selama ini lebih bertipikal sekadar pemenuhan aspek konsumtif yang berjangka pendek.
Dan, menepati di bulan Ramadan, kiranya menjadi momentum tepat bagi kaum muslim sebagai titik balik memandang arti lain signifikansi perintah agama berupa bersedekah. Selain bakal lebih dilipatgandakan pahala dan mendapat aneka keutamaan lain, bersedekah di bulan Ramadan bisa dijadikan langkah awal memetakan kemiskinan beserta cara penanggulangannya. Praktisnya, sesuai anjuran Qardhawi, bersedekah-berzakat akan lebih efektif mengentaskan kemiskinan manakala disalurkan kepada lembaga zakat yang resmi dan kompeten. Wallahu a’lam