Cegah Generasi Bangsa dari Indoktrinasi Radikalisme

Cegah Generasi Bangsa dari Indoktrinasi Radikalisme

- in Narasi
551
2
Cegah Generasi Bangsa dari Indoktrinasi Radikalisme

Kasus bom bunuh diri di Medan yang dilakukan oleh anak muda menunjukkan bahwa indoktrinasi radikalisme masih sangat rawan merasuki generasi bangsa. Anak muda yang seharusnya sibuk menyiapkan dirinya untuk menjadi pemimpin masa depan, terjebak pada lingkaran kekerasan.

Kekhawatiran terhadap radikalisme yang merasuki anak-naka muda medapat bukti di lapangan. Setara Institute (31/05/2019) meluncurkan hasil riset yang menunjukkan, bahwa beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) terpapar gerakan radikalisme agama.

Anak muda sebagai generasi bangsa terpengaruh oleh doktrin radikalisme adalah suatu fakta yang tidak perlu ditutupi. Yang kita butuhkan bukan lagi sikap apologies dan pembelaan diri. Yang kita butuhkan adalah kerja nyata untuk sama-sama mencegah generasi bangsa agar terhindar dari radikalisme.

Sesuai dengan riset di lapangan, setidaknya ada dua bentuk besar radikalisme yang tumbuh subur pada anak muda. Pertama, radikalisme dengan bentuk puritanisme agama. Kedua, radikalisme berbentuk ideologi-politik.

Radikalisme bentuk yang pertama adalah sikap, tindakan, dan pola pikir yang ketat sesuai doktrin-doktrin agama. Bagi kelompok ini, agama harus dibebaskan dari segala macam pengaruh dari luar. Agama harus menjadi landasan segalanya, termasuk ilmu pengetahuan.

Baca Juga :Toleransi dalam Beragama

Puritanisme agama dibangun pada asumsi bahwa agama itu komprehensif dan sempurna (samil wa kamil). Agama harus dijadikan otoritas penentu terhadap segala hal, bahkan terhadap penemuan ilmiah sekalipun.

Pemahaman agama yang ketat ditambah dengan keyakinan akan kesempurnaannya menjadikan individu lebih sibuk ke dalam, tertutup, tidak bisa mewarnai dan diwarnai, tekstual, dan susah berdialog dengan tradisi dan kebudayaan lain.

Bentuk yang pertama ini adalah bentuk radikalisme soft. Meski demikian, akan menjadi hard ketika masuk faktor-faktor lain. Faktor lain itu adalah ideologi-politik.

Ideologi politik yang menjadikan keyakinan akan kesempurnaan agama sebagai landasan politik. Akibatnya, semua hal mau dihakimi dan diukur dengan agama. Celakanya agama yang dijadikan ukuran adalah agama yang kaku dan ketat.

Radikalisme berbentuk ideologi-politik ingin menggantikan semua hal tenteng sistem politik, pemerintahan, dan tata-kelola negara dengan sistem yang dinilai lebih Islami. NKRI mau diubah dengan konsep khilafah, Pancasila dan UUD 1945 mau diganti jadi syariah sebagai konstitusi, demokrasi diubah menjadi syura’, presiden dengan khalifah.

Puritanisme agama bersambut gayung dengan ideologi politik yang ingin mengganti semua sistem. Tentu ini sangat berbahaya bagi generasi bangsa. Pertanyaannya, apa solusi riil untuk mencegah generasi bangsa dari kedua bentuk radikal itu?

Pendidikan Integratif

Dua bentuk radikalisme di atas melahirkan dua akibat. Pertama, puritanisme agama melahirkan sikap intoleran terhadap agama lain. Dengan keyakinan akan kekomprehensifan dan kesempurnaan agama yang dia miliki, ia merasa tak perlu berdialog dan tidak membutuhkan yang lain.

kedua, radikalisme ideologi-politik melahirkan sikap anti. Anti terhadap Pancasila, anti dengan demokrasi, anti terhadap NKRI dan seterusnya. Sikap anti ini muncul, sebab radikalisme ideologi-politik berlandaskan pada agama yang kaku.

Pendidikan integratif bisa menjadi solusi untuk mencegah para anak bangsa agar tidak terjebak pada indoktrinasi radikalisme. Pendidikan integratif yang dimaksud adalah pendidikan yang memadukan semua elemen, unsur, dan disiplin.

Dengan kata lain, adanya dialog dan upaya saling menyapa antar disiplin, tradisi, dan kebudayaan. Belajar agama tidak melulu soal ibadah, halal-haram, mukmin-kafir, tetapi harus menyapa sistem dan unsur lain semisal kebudayaan, kemasyarakatan, perkembangan dunia, dan penemuan ilmiah.

Belajar agama yang hanya berhenti pada tataran dokrin dan wilayah mahdah semata, akan menjadikan manusia kaku, sempit, dan eksklusif. Sikap integrasi dengan budaya, tradisi, perkembangan ilmu pengetahuan, menjadikan anak bangsa tidak terasing lagi.

Sikap saling menyapa lintas disiplin, budaya, dan tradisi, melahirkan manusia yang kritis. Sikap kritis ini muncul dari karakteristik pendidikan integratif itu sendiri yang mensyaratkan adanya tiga syarat terkait dengan uji kebenaran.

Pertama, uji kebenaran keherensial. Sesuatu dianggap benar ketika sesuai dengan premis sebelumnya yang dianggap sebagai premis umum. Doktrin agama dianggap benar jika sesuai dengan premis utama agama itu sendiri, yakni rahmatanlil’alamin, rahmat bagi sekalian alam.

Jika ada ajaran, provokasi, dan ajakan kekerasan, pembunuhan, bom bunuh diri, dan segala macamnya tetapi mengatasnamakan agama, maka itu bukan agama. Sebab, bertentangan dengan premis utama agama.

Kedua,uji kebenaran korespondensial. Kebenaran dianggap sebagai kebenaran jika ia sesuai (berkorespondensi) dengan fakta di lapangan.

Doktrin radikalisme yang mengajarkan untuk mengganti Pancasila dan segala turunannya adalah salah. Sebab, Pancasila adalah hasil kesepakatan bersama, dasar negara, dan sumber dari segala sumber hukum. Jika ada yang mau menggantinya, artinya itu bertolak belakang dengan fakta di lapangan.

Ketiga, uji kebenaran pragmatis. Dianggap sebagai suatu kebenaran, jika menimbulkan nilai praksis. Membunuh, menebar ketakutan, bom bunuh diri, anti-Pancasila, anti-NKRI, dan anti-anti yang lain, tidak melahirkan nilai praksis. Justru sebaliknya, menimbulkan madarat.

Doktrin radikalisme ternyata tidak lolos dari ujian kebenaran sebagai syarat penting dari pendidikan integratif. Untuk itu, jika Kementerian agama mau merombak buku agama, maka hal yang perlu diprioritaskan adalah pentingnya pendidikan integratif dalam buku agama. Dengan demikian, kita sudah berupaya agar generasi bangsa bebas dari doktrin radikalisme agama.

Facebook Comments