Mereka yang Terjaga: Menggagas Pendidikan Antiradikalisme dan Antiterorisme Sejak Dini

Mereka yang Terjaga: Menggagas Pendidikan Antiradikalisme dan Antiterorisme Sejak Dini

- in Narasi
871
0
Mereka yang Terjaga: Menggagas Pendidikan Antiradikalisme dan Antiterorisme Sejak Dini

Beberapa tahun lalu, tepatnya pada 2016, ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar dan ketika radikalisme dan terorisme seolah sudah menjadi santapan sehari-hari, saya bertanya padanya: “Kenapa orang melakukan teror?”

Sembari makan di sebuah acara kenduri, anak itu pun menjawab tanpa saya kasih wawasan sebelumnya: “Untuk menyebarkan ketakutan dan kecemasan.”

Dan ketika usianya menginjak SMP, tiba-tiba ia memperingatkan keluarganya untuk tak memaksa adiknya melakukan sesuatu.

Ketakutan dan pemaksaan adalah dua hal yang menjadi karakteristik dari terorisme. Seseorang atau sebuah organisasi melakukan aksi-aksi teror adalah karena memang untuk menciptakan ketakutan dan kecemasan. Dan itu artinya mereka menginginkan sesuatu dengan jalan pemaksaan. Ketika orang takut atau cemas, tentu tak ada jalan lain kecuali terpaksa melakukan apa yang oleh para teroris itu inginkan. Jiwa-jiwa pun akan selalu dibonsai dan tumbuh tak sebagaimana mestinya.

Pada dasarnya segala bentuk terorisme dapat dikembalikan pada dua karakteristik mendasar tersebut: ketakutan dan pemaksaan. Maka pada titik ini, sebenarnya tak ada beda antara terorisme dan bentuk kriminalitas lainnya seperti premanisme. Keduanya memang bersifat “masturbasif” karena merupakan derivasi langsung dari radikalisme.

Baca Juga :Cegah Generasi Bangsa dari Indoktrinasi Radikalisme

Tak ada preman yang tak radikal dan karena itu tak “masturbasif.” Pola pikir seorang preman adalah pola pikir yang sudah jelas tak memberi ruang bagi orang lain. Sebab, tentu, ketika mau berbagi ruang, tak mungkin ada yang namanya premanisme. Bukankah ancaman, intimidasi, serta bentuk pemaksaan dan kekerasan lainnya—baik verbal (mental) maupun fisikal—merupakan logika dan karakter utama dari seorang preman?

Memang benar, negosiasi terkadang juga ada dan terjadi di dunia premanisme. Tapi ibarat gunung es yang sewaktu-waktu pecah, sebenarnya hal itu hanya bersifat permukaan saja. Negosiasi dalam dunia premanisme sungguh jauh berbeda dengan negosiasi dalam dunia bisnis ataupun politik praktis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Akan terasa geli andaikata terdapat seorang preman yang peduli pada hajat hidup orang banyak dalam setiap kebijakan yang ia ambil.

Dengan demikian, pada aras pola pikir dan mental, ketika tujuan dari terorisme adalah menciptakan atau membuat ketakutan, maka tak ada solusi lain untuk menghadapi dan menanggulanginya kecuali dengan keberanian. Ketika seseorang ataupun sekelompok masyarakat tak takut pada sebentuk teror, maka secara mental terorisme itu sudah dapat dikatakan kalah dan gagal.

Organisasi teroris kontemporer internasional semacam IS, dari berbagai aksi teroristik mereka di Indonesia, sebenarnya pada tataran taktis dan strategis memilih pendekatan teroristik purba sebagaimana premanisme. Ada perebutan dan penguasaan wilayah yang memiliki sumber daya potensial, kehidupan kelam laiknya para hewan (alkohol, drugs, pulihan atau kompensasi seksual—Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.net), memanfaatkan sumber daya seadanya (parang, gunting, dst.—Bertolak Dari yang Ada, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.net), dan anti intelektualisme (dengan sadar memilih jalan kegoblokan).

Beberapa waktu lalu dikabarkan bahwa tampuk kepemimpinan organisasi terorisme kontemporer yang pernah beribu kota di Raqqa tersebut beralih ke Abu Ibrahim Hashimi al-Quraishi. Hal ini mengindikasikan bahwa IS bukanlah jaringan terorisme yang tergantung pada figur tertentu. Unsur seduktif mereka tampaknya masih bertahan dengan konsep lama: “agama bayangan” (pseudo religion) yang memadukan dua hal yang pada dasarnya kontradiktif: ibadat dan maksiat atau kesucian dan kerendahan.

Dengan melihat bahwa IS tak lagi berupa sebuah jaringan atau organisasi terorisme, melainkan seperti sudah menjadi pola pikir dan pola kebiasaan, maka tak ada jalan lain kecuali membangun pola pikir dan pola kebiasaan sejak dini tentang radikalisme dan terorisme sebagai tindak lanjut pendidikan toleransi antar-umat beragama yang selama ini sudah berlangsung. Paling tidak, ketika banyak anak didik sudah paham tentang hakikat dan tujuan terorisme dan secara intelektual dan mental paham bagaimana cara menghadapinya, kita dan para pemangku kebijakan tinggal merumuskan hal-hal teknis pengamanan dan pencegahannya.

Facebook Comments