Kafir; Musuh Yang Dibuat-Buat

Kafir; Musuh Yang Dibuat-Buat

- in Narasi
1482
0

Secara kuantitas, Islam menempati posisi umat terbanyak dibandingkan dengan agama lain. Dari Sabang hingga Merauke, tidak ada suatu wilayah yang pasti ada warga negara yang beragama Islam. Papua yang dihuni oleh mayoritas umat Kristiani, masih ada beberapa masjid yang berdiri. Ini menandakan bahwa negara ini memang tidak sepi dari aktivitas dakwah umat Islam. Umat Islam begitu bebas melaksanakan ajaran agamanya tanpa ada hambatan apapun. Ini berbeda dengan umat agama lain yang seringkali mengalami intimidasi dan diskriminasi.

Kebebasan yang diberikan oleh ‘alam mayoritas’ dan negri ini terhadap umat Islam ini tidak hanya merupakan anugrah dari Allah tapi juga pertanda bahwa Islam tidak pernah dijadikan warga negara nomor dua. Tak satu pun di negara orang yang berani melakukan intimidasi dan dikskriminasi terhadap aktivitas keislaman. Ritual keislaman dan dakwah Islamiyah berjalan sesuai dengan keinginan umat Islam. Jika tidak ada yang menghalangi dalam melakukan aktivitas dakwah, pada hakekatnya ini merupakan kondisi Islami yang sering disebut dalam beberapa kitab-kitab yang bernuansa “al Siyasah al Islamiyah” sebagai mahall al salam. Yakni negara damai yang tidak boleh diciderai oleh sebuah tindakan diskriminatif apalagi teror.

Namun demikian, justru umat Islam sendiri yang seringkali melakukan perlakuan tidak adil kepada sesama umat Islam. Kegiatan keagamaan di masyarakat yang penuh kedamaian seperti tahlil, ziarah kubur, atau maulid Nabi seringkali dilecehkan oleh umat Islam sendiri. Wahhabi, ideologi keagamaan yang baru hadir dan bertengger di negri ini merasa paling Islami di antara umat Islam lainnya. Kelompok ini mencaci maki umat Islam lain sebagai orang yang sudah keluar sendi-sendi agama. Mereka mengkafir-kafirkan orang yang tidak sejalan dengan dirinya. Sementara yang dituduh kafir melakukan pembelaan diri melalui diskusi dan ceramah-ceramah. Ketegangan antara umat Islam pun terjadi. Akibatnya, permusuhan antar umat Islam tak terelakkan.

Shaib Abdul Hamid dalam “al Wahhabiyyah fi Shuratih al haqiqiyyah” menjelaskan ada dua bentuk gerakan wahhabi; ashlul mu’lan dan ashlul khafiy. Ashlul mu’lan ini merupakan gerakan yang tampak yang seringkali disebarkan oleh kelompok wahhabi. Yakni ikhlash al tauhid lillah; pemurnian agama Islam secara teologis. Caranya adalah al muharabah al syirk wal autsan; memerangi kemusyrikan dan berhala-berhala. Karenanya, tidak sedikit orang yang dianggap musyrik diperangi oleh mereka. Patung-patung yang pada digagas sebagai hasil seni dirobohkan karena dianggap berhala.

Sementara ashlul khafi merupakan agenda tersembunyi yang ada di balik gerakan wahhabi. Yakni tamziq al muslimin wa itsaratul fitan wal hurub fima bainahum khidmatan lil musta’mar al gharbiyyi; sebuah upaya untuk memecah belah umat Islam dan menimbulkan fitnah dan peperangan di antara umat Islam demi melayani kemauan orang asing. Dalam beberapa fakta memang bisa ditemui bahwa para pengusung gerakan wahhabi ini hanya berorientasi untuk memecah belah umat Islam. Mereka, demikian Shaib Abdul Hamid, pada hakekanya hanya pandai merakit fitnah dengan berbagai dalih. Sementara soal ilmu keagamaan kurang mumpuni.

Pendapat Shaib Abdul Hamid ini bisa dipahami ketika membahas soal kafir. Kaum wahhabi memahami kafir ini merupakan umat agama lain. Padahal makna kafir dalam al Qur’an tidak tunggal. Misalnya, kafir yang merupakan kebalikan dari sifat syukur sebagaimana dalam QS; 14:7. Bahkan umat Nabi Isa dalam al Qur’an tidak disebut sebagai kafir, QS; 3:55. Begitu juga musyrik, tidak selamanya bermakna orang-orang yang menyembah berhala. Di banyak ayat, justru musyrik ini lebih banyak bermakna kedhaliman. Yakni perbuatan keji secara sosial. Jadi, kalau berdasarkan al Qur’an bukan perkara udah mengidentifikasi orang sebagai kafir atau musyrik. Karena kafir dan syrik itu merupakan aktivitas hati yang tidak bisa ditebak.

Dalam sebuah kisah disebutkan, Nabi Musa pernah memarahi anak gembala yang sedang berdoa dan menengadah ke atas. Karena, menurut Nabi Musa, anak tersebut secara tidak langsung memposisikan Allah berada di langit. Padahal, demikian Nabi Musa, Allah tidak memiliki tempat. Faktanya, dalam kisah tersebut Nabi Musa justru ditegur oleh Allah. Allah berfirman “ana ‘inda dhanni ‘abdi by” Aku tergantung kepada perasangka hambaku. Tuduhan Nabi Musa keliru, apalagi tuduhan kaum wahhabi.

Berdasarkan pendapat Shaib Abdul Hamid dan rumitnya mengidentifikasi kafir dan musyrik maka alasan untuk memerangi kafir sebagaimana ideologi ekstrimis wahhabi itu tidak memiliki dasar. Apalagi, di balik agenda pemurnian tauhid, kaum ekstrimis wahhabi itu memang berencana memecah belah umat Islam. Kita mesti waspada. Jangan mau diajak berperang melawan ‘kafir’ cipataan ekstrimis wahhabi. Agar kita selamat dari perpecahan.

Facebook Comments