Dakwah Itu Mengajak, Bukan Mengejek!

Dakwah Itu Mengajak, Bukan Mengejek!

- in Narasi
2214
0
Dakwah Itu Mengajak, Bukan Mengejek!

Dalam beberapa hari ini, penulis mendapati sekelompok yang lagi nyinyir, meledek, dan menghina kelompok lain. Kelompok yang meledek dan menghina di media sosial itu melabeli diri sedang “meniti jalan salafush shalih. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah meledek, nyinyir dan menghina kelompok lain itu bentuk teladan para salafush shalih? Apakah yang demikian itu termasuk tanda kesalehan dan akhlak mulia?

Realitas di media sosial itu ternyata juga terjadi di dunia nyata. Ironisnya, laku meledek, menghina dan menebar kebencian dilakukan di tempat yang seharusnya streril dari laku seperti itu. Iya. Mimbar khutbah dijadikan “wahana” untuk meledek, menghina dan menebar kebencian terhadap kelompok lain.

Apa yang penulis katakan bukanlah omong kosong. Rumah Kebangsaan dan Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) pada 29 September sampai 21 Oktober 2017 lalu melakukan penelitian terhadap 100 masjid kementerian, lembaga dan BUMN. Salah satu hasilnya adalah, muatan materi radikal dalam khutbah paling populer adalah ujaran kebencian sebesar 73.60%. Baru disusul sikap negatif terhadap agama lain sebesar 21.17%, sikap positif terhadap khilafah (18.15%), sikap negatif terhadap minoritas (7.6%), kebencian pada minoritas (2.1%), dan sikap negatif terhadap pemimpin perempuan (1.1%).

Kondisi di atas semakin parah ketika melihat frekuensi ujaran kebencian; ujaran kebencian terkait Katolik (9.39%), Yahudi (5.22%), Etnis Tionghoa (4.18%), Kristen (4.17%), Anti NKRI/Pancasila (1.4%).

Berangkat dari fenomena ini, banyak masyarakat, terutama pemerintah dan tokoh agama, yang cemas, khawatir akan menimbulkan gejolak yang besar di tengah-tengah masyarakat.

Entah apa yang ada di benak para da’i yang menyampaikan khutbah provokatif tersebut du mimbar khutbah. Padahal, khutbah yang berkonten pemusuhan, fitnah, ujaran kebencian, adu-domba dan sejenisnya itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Jika kita menebak bahwa ustadz tersebut tidak mengerti kandungan surah An-Nur ayat 16 (tentang larangan muslim untuk mencari kesalahan atau keburukan orang), tentu tidak tepat juga.

Penulis juga yakin seyakin-yakinnya bahwa kadar da’i yang menebar permusuhan itu manusia biasa, bukan Nabi yang harus diatati. Nabi Muhammad saw bersabda: Barang siapa yang menjamin bagiku apa yang ada di antara kumis dan jenggot (lisan dan kedua bibir) dan apa yang ada di antara pahanya (kemaluan), maka aku jamin baginya masuk surga.” (HR At-Tirmidzi, Ahmad dan Bukhari). Pertanyaannya: da’i provokatif itu ikut siapa?

Imam Syafi’i menegaskan; “sejelek-jelek bekal menuju ke alam akhirat adalah permusuhan dengan sesama. Sebaik-baik harta simpanan adalah taqwa, dan sejelek-jeleknya adalah sikap permusuhan”. Pertanyaannya: Apakah da’i yang gemar menebar kebencian itu lebih hebat dan lebih alim dari Imam Syafi’i?

Umat Islam tidak mencerminkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Kerena itu, sementara pakar menamai agama Islam sebagai “one of the most misunderstand religion”, yaitu salah satu agama yang paling banyak disalahpahami (dalam Shibab, 2016).

Belajar dari Nabi Musa

Permusuhan, fitnah, dan menebar kebencian yang terjadi di ruang-ruang suci seperti terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini, menuntut kita untuk menjadi pribadi yang aktif dalam menyuarakan persatuan dan perdamaian serta melakukan pendidikan secara komprehensif pada masyarakat luas.

Selain menebar kebencian diarahkan pada kelompok lain, kelompok ini juga selalu menanamkan kebencian terhadap negara dan pemerintahan. Bahasa thagut untuk melabeli pemerintah Indonesia karena tidak menjadikan Alquran sebagai dasar negara. Tidak hanya berhenti sampai di sini saja, mereka juga kerap menyerang pemerintah dengan isu tertentu guna membangun opini bahwa pemerintah itu gagal, sehingga wajib digulingkan dan diganti dengan sistem Islami (khilafah).

Menyerang pemerintah dengan mengejek (mejelek-jelekkan) bukanlah tipical muslim sejati. Terkait hal ini, kita perlu menengok kisah Nabi Musa ketika menghadapi Fir’aun. Dalam QS Thaha ayat 44 dinyatakan: “Maka bicaralah kamu berdua kepada (fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”

Al-Maraghi, sebagaimana dikutip Wahab (2016), menejelaskan bahwa ayat di atas berbicara dalam konteks pembicaraan Nabi Musa ketika menghadapi Fir’aun. Allah memberikan arahan kepada Nabi Musa agar tidak menggunakan kekerasan sebagai jalan dakwahnya. Justru cara lemah lembut yang harus ditempuh dengan harapan Fir’aun terenyuh, tertarik hatinya sehingga ia dapat menerima dakwah Nabi Musa dengan baik dan ikhlas.

Dari sini dapat ditarik sebuh kesimpulan bahwa dakwah itu mengajak, bukan mengejek; merangkul, bukan memukul. Untuk itu, mari teladani para Nabi, ulama dan shalafush shalih dalam berdakwah. Mereka adalah orang-orang yang hebat, selalu menebar perdamaian bumi; mengayomi, menyejukkan. Qur’an-Hadis dan akhlak mulia mereka jadikan sebagai landasan dalam berdakwah. Tak ayal, mereka selalu mencerminkan sikap santun, dan menihilkan sikap permusuhan, apalagi menebar kebencian.

Facebook Comments