Sumpah pemuda yang teksnya masih menghuni memori jangka panjang kita, bukan hanya merupakan kalimat biasa. Naskah sumpah pemuda yang mengandung tiga aspek rasa persatuan; tanah air, bangsa, dan bahasa merupakan kalimat-kalimat ‘sakti’ yang berdaya menyatukan. Hidup di atas perbedaan tidak akan mungkin bisa harmonis, jika kita tak memiliki dasar filosofis. Naskah sumpah pemuda memiliki daya syair untuk melawan ujaran kebencian, adu domba, proxy war, dan segala bentuk intoleransi yang mulai menyusup di tubuh bangsa.
Naskah sumpah pemuda, tidak lahir dari ruang hampa. Naskah itu ditulis oleh pemuda-pemuda yang luar biasa, ditulis ikhlas dengan meleburkan fanatisme kesukuan, keagamaan, primordialisme, dan lain sebagainya menuju satu titik persatuan. Sembilan puluh satu tahun yang lalu, dengan keterbatasan alat komunikasi maupun transportasi, para pemuda dari seluruh penjuru tanah air bersatu, menyepakati sebuah sumpah untuk saling bertoleransi, saling memahami, dan saling mendukung sebagai sebuah kesatuan bangsa Indonesia.
Uniknya, dalam kesederhanaan pemilihan diksi bahasa, sumpah pemuda memiliki arti yang begitu mendalam. Untaian kalimat dalam teks yang sudah berusia 91 tahun itu mampu mengembalikan kita pada spirit persatuan. Unity in diversity. Sejarah mencatat, bahwa naskah sumpah pemuda lahir dari niatan segenap pemuda dari seluruh penjuru tanah air. Adalah Moh Yamin, salah satu tokoh pencetus trilogi sumpah pemuda. Berasal dari Jong Sumatera, M. Yamin mengusulkan rumusan resolusi perdamaian dan persatuan. Resolusi tersebut berisi tiga aspek persatuan yaitu satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa yang kemudian populer dikenal sebagai trilogi sumpah pemuda.
Tidak mudah menyusun trilogi persatuan menjadi sebuah naskah yang ‘berdaya.’ Namun, berkat kepiawaian dalam bersastra, M. Yamin mampu meramu kata dengan begitu bijak sehingga kini, kita masih menikmati iklim rasa persatuan yang coba diwariskan dari generasi 1928. Wikipedia juga menguatkan bahwa Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. adalah sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia. Moh Yamin yang memiliki daya puitis merupakan salah satu generasi awal perintis puisi modern Indonesia. Sebagai pelopor Sumpah Pemuda, beliau merupakan penggagas visi keindonesiaan.
Baca Juga :Pendidikan Pesantren Mencegah Pembajakan Agama
Tantangan berat yang kini menghantui milenial muda adalah ancaman intoleransi, radikalisme, dan adu domba yang menyayat nadi persatuan dan kesatuan NKRI. Ujaran kebencian menjadi senjata untuk memecah belah kerukunan. Jika sudah begini, maka daya syair sumpah pemuda harus kita jadikan perisai untuk melindungi digital native dan kaum milenial masa kini dari paparan ujaran kebencian.
Dalam perspektif psikologi behavioral, apa yang selalu kita baca dan dengar akan mempengaruhi produksi kata-kata, sikap, dan perilaku. Artinya, jika bertebaran ujaran kebencian di dunia maya, maka kita pun akan cenderung membalasa dengan kebencian yang sama. Alhasil, kita semakin dibombardir oleh ujaran kebencian yang mengancam keharmonisan dan kerukunan.
Betapapun paparan ujaran kebencian mengusik kita, kita harus tetap yakin akan daya syair sumpah pemuda yang memberikan inspirasi bahwa rasa persatuan harus selalu dikuatkan. Kabar baiknya adalah, melalui komunikasi di dunia maya, kita bisa lebih mudah menggalang rasa persatuan dengan cara menebar ujaran perdamaian, melontarkan komentar yang mendukung, memberi kritik dengan tujuan membangun dan dengan pola penyampaian santun, demi menjaga iklim persatuan yang sudah 91 tahun lamanya mengakar di negeri ini.
Jika ujaran kebencian dapat menyemai benih perpecahan, maka ujaran perdamaian dapat menyambung kembali komunikasi yang sempat terpisah. Pungkasnya, mari kita ikut meramaikan ujaran perdamaian, demi menjaga napas persatuan hingga daya syair sumpah pemuda bisa kita wariskan kepada anak-anak zaman di masa mendatang. Wallahu’alam.