Pada 91 tahun lalu, tepatnya pada 28 Oktober 1928, pemuda-pemuda Indonesia dari beragam suku, daerah, dan budaya bertekad untuk bersumpah, sumpah yang lahir dari proses berpikir dan berkeringat bersama kedukaan sesame anak bangsa. Mereka bersumpah:
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Berjuang dengan tumpah darah, mengakui persatuan sebagai kekuatan, dan satu bahasa sebagai bahasa persatuan adalah sumpah yang tak remeh pada zamannya, bahkan tetap relevan hingga kini dan masa depan. Jika pemuda tak punya semangat untuk bertumpah darah memperjuangkan bangsa Indonesia, untuk apa apa lagi perjuangannya? Meski darah tak lagi dimaknai sebagai pertempuran di medan perang, melainkan bertumpah darah dalam perjuangan melawan keterbelakangan ilmu dan pengetahuan dengan sejauh dan sebaik mungkin menimbah ilmu.
Kalau pemuda tak mengakui bangsa yang satu, bangsa Indonesia, pastilah ia punya cita-cita mengubah Indonesia menjadi seperti bangsa lain, bangsa yang penuh pertumpahan darah akibat peperangan saudara seperti di Suriah, tentulah pemuda yang tak mengakui satu bangsa, patut dilabeli terpapar paham radikal.
Bahkan, 13 orang pemuda ini telah mampu menerawang kelemahan sekaligus kekuatan bangsanya jauh ke depan – bahasa. Dengan 718 bahasa yang tersebar ke 17.000 pulau, Indonesia memerlukan bahasa persatuan, dan melalui perdebatan pemuda-pemuda itu, mereka mengikraran bahasa Indonesia sebagai lingua franca Indonesia (Kompas, 28 Oktober 2019).
Gagasan besar yang kemudian hari kita kenal sebagai Sumpah Pemuda ini, bukan lahir dari rahim pikiran dan nalar orang-orang mapan dan berumur, Sumpah Pemuda sungguh lahir dari pemikiran pemuda. Kriteria pemuda menurut UU No 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan adalah usia 16 sampai 30 tahun.
Moehammad Yamin sebagai tokoh sentral Sumpah Pemuda berusia 25 tahun, tokoh kedua dalam Sumpah Pemuda adalah Soegondo Djojopoespito, ia yang menerima nasakah rumusan ikrar Sumpah Pemuda yang ditulis oleh Yamin, usia Soegondo saat itu baru 23 tahun. Soegondo sendiri merupakan salah satu aktivis pendidikan yang ikut tinggal dengan Ki Hajar Dewantara.
Baca Juga :Menjadi Pemuda Otentik Penangkal Radikalisme
Tokoh berikutnya adalah Sunario Sastrowardoyo (26 tahun) yang merupakan seorang pengacara yang aktif membela para aktivis kemerdekaan. Salah satu peranan Sunario dalam Sumpah Pemuda adalah menjabat sebagai seorang penasihat panitia perumusan Sumpah Pemuda, dan juga sekaligus menjadi pembicara pada Kongres Pemuda II. Selain itu, Sunario juga sempat menjadi pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda pada saat melanjutkan pendidikannya di Belanda. Kemudian ada Johannes Leimena (23 tahun), Wage Rudolf Supratman (25 tahun) yang memperkenalkan lagu Indonesia Raya dalam konggres Sumpah Pemuda yang kini menjadi lagu kebangsaan dan kebanggaan kita. Termasuk penggagas Sumpah Pemuda lainnya merupakan anak-anak muda berusia dibawah 35 tahun.
Bertumpah darah satu untuk Indonesia merupakan perjuangan konkret di tengah penjajahan, berbangsa satu sebagai bangsa Indonesia juga sangat relevan sebagai gerakan persatuan sebagai sesama anak bangsa. Namun, mengapa perlu satu bahasa?
Pada sebagian wilayah Indonesia, khususnya Indonesia bagian timur, seringkali dalam satu kecamatan memiliki beberapa bahasa yang membedakan suku atau keturunan. Tentu, lebih mudah bagi warga Indonesia di pulau Jawa dan Sumatera yang rata-rata hanya beberapa bahasa dalam satu suku.
Bahasa adalah syarat mutlak dari komunikasi, komunikasi yang ditujukan untuk mempertemukan lebih dari satu pemikiran, pembahasan, atau untuk mencari kesepakatan. Bayangkan saja jika Indonesia tak memiliki bahasa persatuan, bahasa Indonesia, akan sangat sulit sekali satu dengan lainnya untuk saling berkomunikasi dan memahami.
Setelah 90 tahun setalah ikrar itu, dan setelah 74 tahun merdeka, bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu terbukti dapat menjaga persatuan ribuan suku dalam satu rumah rumah bernama Indonesia.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan juga telah dituankan di negerinya sendiri, misalnya dengan keputusan Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Dalam perpres itu presiden wajib memakai bahasa Indonesia jika berpidato resmi di luar negeri.
Namun masalah bahasa hari ini bukan lagi soal lingua franca atau bahasa pemersatu, persoalan bahasa era 4.0 ini adalah bahasa radikalisme, intoleransi, dan fanatisme yang disebarkan melalui media-media daring. Terlebih menurut Johanes Eka Priyatna (Kompas, 28 Oktober 2019), dengan hadirnya teknologi (deep learning), penerjemahan bahasa lintas Negara bukan lagi menjadi masalah karena akan semakin disempurnakan dengan Kecerdasan Buatan.
Pelawanan bahasa hari ini adalah melawan bahasa radikalisme, intoleransi, dan fanatisme, yang hanya bisa dilawan dengan satu “bahasa” persatuan – bahasa Pancasila. Sama halnya dengan kegagalan memahami bahasa yang berbeda, kegagalan memahami bahasa persatuan juga akan menyebabkan ketersinggungan atar anak bangsa, karena kita tak menggunakan paham yang satu dan mengedepankan persatuan.
Meski tak banyak, perlahan muncul gerakan-gerakan anak muda anti Pancasila dan pro HTI atau Negara khilafah. Jika dibiarkan, kelompok kecil itu akan makin subur dan berkembang. Oleh sebab itu gerakan berbahasa satu bahasa Pancasila harus semakin digiatkan. Misalnya saja seperti Duta Damai Yogyakarta yang bertepatan dengan Sumpah Pemuda 2019, melakukan kunjungan lintas agama di Gereja, Klenteng, dan Masjid, mereka juga menjukkan bahasa persatuan itu dengan kampanye kesetaraan, dengan kunjungan ke pondok pesantren Al Fatah di Yogyakarta.
Dengan hadirnya duta damai – duta damai seperti mereka, kita dapat terus “bersumpah” seperti kawan-kawan kita 91 tahun lalu, dengan menyemai aksi kedamaian dan toleran pada sesama dan semesta, kita ikut menjaga bahasa persatuan – bahasa Pancasila.
“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.” Ir. Soekarno.