Penutupan akun-akun yang terindikasi bermuatan radikalisme dan ekstremisme mungkin merupakan salah satu tolak ukur penting untuk menilai keamanan ruang digital bagi generasi muda di Indonesia. Semakin banyak akun yang diblokir, semakin percaya diri kita mengatakan bahwa ruang siber semakin bebas ancaman.
Namun demikian, upaya melimitasi akun berbahaya itu tampaknya berbanding terbalik dengan realita di lapangan. Jika dalam setahun ada ribuan akun yang diblokir, maka selanjutnya muncul puluhan ribu akun-akun baru yang justru memiliki simpatisan baru yang kadang lebih militan.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui situs resminya menyatakan, sepanjang 7 Juli 2023 s.d. 21 Maret 2024, telah melakukan penanganan terhadap 5.731 konten yang mengandung ekstremisme, radikalisme, dan terorisme di berbagai platform digital.
Di saat yang sama, sejak Januari s.d. Agustus 2024 Densus 88 banyak melakukan penangkapan terduga teroris yang siap melaksanakan aksi teror secara lone wolf. Sebagian besar dari mereka mengaku mendapatkan inspirasi dan tutorial dari media sosial.
Bagaimana menjelaskan sebuah platform yang terus melahirkan akun-akun radikal ekstremisme baru meskipun sudah ditekan sedemikian rupa?
Barangkali jawaban sederhananya adalah karena mereka memiliki sumber daya yang melimpah sehingga mampu membanjiri kanal-kanal digital dengan masif meskipun sudah dibatasi. Satu kelompok radikal bahkan mempunyai lebih dari satu akun media sosial sebagai ruang gerak propaganda di ruang online.
Tetapi untuk memahaminya ternyata tidak sesederhana jawaban tersebut. Beberapa penyebabnya terkait dengan teknik propagandanya itu sendiri, iklim algoritma siber yang dinamis, militansi akun-akun medsos, dan karakter audiens yang cenderung akomodatif.
Efek Kobra
Efek kobra merupakan tindakan yang bertujuan baik untuk mengatasi masalah. Namun, sering kali justru tindakan tersebut menjadi bumerang karena mempunyai efek sebaliknya.
Istilahefek kobradicetuskan oleh ekonom Horst Siebert dalam bukunya dengan judul yang sama (2001) berdasarkan kejadian anekdotal di India pada masa pemerintahan Inggris.
Awalnya, Pemerintah Inggris khawatir terhadap tingginya populasi ular kobra beracun di kota Delhi. Kemudian, mereka menawarkan hadiah bagi siapa saja yang menyerahkan kobra mati. Semula strategi ini sukses, banyak warga menyerahkan kobra yang dibunuh untuk mendapatkan hadiah. Namun, akhirnya banyak orang justru beternak kobra untuk mendapatkan hadiah.
Ketika pemerintah akhirnya menghentikan kebijakan itu, ular-ular yang dibudidayakan dilepaskan, menyebabkan populasi kobra meningkat lebih besar daripada sebelumnya. Niatnya sederhana, mengurangi populasi ular beracun ini. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan tersebut secara tak terduga menciptakan masalah baru.
Sepertinya, anekdot ini cocok untuk menggambarkan sebagian potret upaya menghentikan laju swa-radikalisasi di Indonesia.
Sudah lebih dari dua dekade media sosial telah menjadi instrumen penyebaran ideologi radikal. Kelompok ekstremis memanfaatkan platform seperti YouTube, Facebook, Instagram, dan X untuk menyebarkan narasi yang menyulut ketidakpuasan dan kebencian.
Belum lagi aplikasi pesan instan seperti WhatsApp dan Telegram yang menjadi locus penguatan komunitas ekstremis dan arena memperluas jaringan berbasis komunitas online melalui chat interaktif.
Generasi muda selalu menjadi korban utama propaganda radikalisasi ini. Tetapi, upaya Pemerintah untuk mengekang konten-konten ekstremis sering kali menimbulkan efek yang justru memperburuk keadaan.
Ketika narasi radikal dihapus atau dibatasi, akun ekstremis itu membingkainya sebagai bukti bahwa mereka sedang diperangi oleh kekuatan besar yang dianggap membenci gerakan Islam. Pembatasan ini menurut mereka adalah upaya untuk membungkam kebenaran yang mereka yakini. Kemasannya bisa beragam, dari tagut, sekularis, hingga islamofobia.
Anak-anak muda dengan aktivisme tinggi, utamanya dalam fase pembentukan identitas, cenderung melihat “penjegalan” ini sebagai konfirmasi bahwa sepertinya memang ada nilai-nilai kuat yang harus diperjuangakan sampai mendapat “perlawanan” dari otoritas kekuasaan.
Ilusi ini terus menerus memperkuat kepercayaan mereka, mendorong mereka semakin masuk dalam ke lingkaran gelap radikalisasi. Beberapa Millenial dan Gen Z bahkan Alpha yang merasa teralienasi, marah, atau tidak terhubung dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sering kali mencari makna dan identitas di tempat-tempat yang menawarkan kepastian, meskipun itu ekstrem.
Berpindah ke platform baru bukanlah masalah besar bagi mereka. Toh, akun media sosial bisa diciptakan dan dikreasikan tanpa batas. Kabar buruknya, mereka menarasikan dakwah yang “dilarang” sebagai bentuk opresi sehingga menambah daya tarik bagi sebagian anak muda yang sangat condong dengan hal-hal yang bersifat anti-mainstream.
Menciptakan Ruang Gema Tandingan
Radikalisasi tidak bisa dipisahkan dari konteks sosialnya. Media sosial, dengan algoritmanya yang cenderung menciptakan ruang gema (echo chamber), memungkinkan anak muda terjebak dalam siklus informasi yang memperkuat ideologi yang sama. Mereka mungkin sadar soal ini, tetapi sikap mereka yang abai membuatnya menjadi tampak akomodatif.
Diakui atau tidak, manusia modern hidup dalam ruang gemanya masing-masing. Semakin vocal kita menyangkal, semakin menunjukkan bahwa kita sebetulnya sudah terjebak ruang gema yang sempit.
Karena ketika seseorang hanya terpapar pada satu jenis pandangan—terutama pandangan ekstrem—mereka cenderung (di)memperkuat keyakinan tersebut tanpa ada alternatif dari sudut pandang lain. Inilah sebabnya, meskipun upaya untuk menekan penyebaran ideologi radikal terus dilakukan, radikalisasi di kalangan generasi muda terus meningkat.
Efek Kobra radikalisasi mencerminkan sebuah kenyataan bahwa masalahnya bukan sekadar soal menghapus konten dari media sosial, tetapi bagaimana kita menghadapi faktor-faktor yang membuat konten tersebut begitu menarik bagi generasi muda.
Rasa keterasingan, ketidakpuasan, dan pencarian identitas yang tidak terpenuhi sering kali menjadi pendorong utama mengapa ideologi ekstremis dapat dengan mudah diterima. Sementara itu, kebijakan yang hanya fokus pada pemblokiran tanpa memperbaiki kondisi sosial ini justru akan memperkuat daya tarik ideologi ekstrem tersebut.
Kita tidak bisa hanya melepas generasi muda untuk berpikir kritis, mengenali narasi berbahaya, dan semacamnya. Tetapi perlu ada kesadaran untuk membanjiri ruang siber dengan kontra narasi yang terukur dan berorientasi pada target audiens.
Dalam laporan Pew Research Center (2023), TikTok dan Instagram menjadi platform paling populer di kalangan remaja saat ini. Mayoritas remaja berusia 13 hingga 17 tahun mengatakan mereka menggunakan TikTok (63%) dan Instagram (59%) media sosial mainstream. Sedangkan orang dewasa condong kepada YouTube dan Facebook sebagai medsos favorit.
Data tersebut menjadi bekal garis start kontra radikalisasi ini. Pemanfaatan media sosial bukan hanya menjadi keharusan, tetapi harus dilakukan dengan cara yang kreatif dan menarik.
Konten-konten kreatif ini tidak hanya harus menghibur, tetapi juga mengedukasi, menyajikan alternatif narasi yang berfokus pada pluralisme, toleransi, dan solusi damai terhadap ketidakadilan. Selain itu, interaktivitas perlu ditingkatkan. Kampanye kontra-narasi yang memungkinkan pengguna untuk terlibat secara langsung—baik melalui polling, komentar, atau pembuatan konten kolaboratif—akan menciptakan rasa partisipasi dan keterlibatan yang kuat.
Memperkuat komunitas online yang positif dan inklusif juga penting, sehingga anak muda tidak merasa sendirian atau terasing, yang sering kali membuat mereka rentan terhadap radikalisasi.
Walakhir, esensi dari upaya kontra radikalisasi online adalah menciptakan ruang gema tandingan. Ini bukan berarti menghapus konten menjadi tidak penting. Hanya itu tidak bisa dijadikan acuan tunggal keamanan siber.
Menciptakan echo chamber tandingan adalah bagaimana membentuk lingkungan digital yang sehat di mana berbagai pandangan bisa saling berinteraksi secara konstruktif. Tanpa ini, radikalisasi hanya akan menjadi masalah yang terus berkembang.