Meneladani Muslimah Kritis Kartini: Menghindari Jebakan Radikalisasi Perempuan

Meneladani Muslimah Kritis Kartini: Menghindari Jebakan Radikalisasi Perempuan

- in Narasi
8
0
Meneladani Muslimah Kritis Kartini: Menghindari Jebakan Radikalisasi Perempuan

Radikalisasi perempuan menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan dalam konteks kehidupan di Indonesia. Perempuan tak lagi sekadar menjadi korban, tapi juga dijadikan alat dan pelaku oleh kelompok radikal demi kepentingan ideologis. Dalam berbagai laporan dan riset, perempuan kerap direkrut melalui pendekatan agama, pemahaman tekstual yang dangkal, hingga jebakan pernikahan yang diklaim “syar’i” tapi sejatinya alat kontrol dan doktrinasi.

Ironisnya, agama kerap dijadikan tameng oleh kelompok ini. Dalil tentangketaatan istri kepada suami,kewajiban berjihad, dankeharusan menjaga “iffah”(kehormatan diri) diselewengkan menjadi justifikasi untuk menundukkan, bahkan mengeksploitasi perempuan.

Di tengah derasnya arus radikalisasi yang menyasar perempuan, pemikiran kritis R.A. Kartini kembali menemukan relevansinya. Hari ini, perempuan tak hanya menjadi korban propaganda ekstrem dan dijadikan alat untuk menyebarkan ideologi kekerasan, peran mereka telah bertransformasi menjadi pelaku teror. Mereka direkrut, dicuci otaknya, bahkan dipaksa meyakini bahwa tunduk total pada suami—atas nama agama—adalah bentuk ibadah tertinggi.

Dalil agama dikutip sepotong-sepotong, hanya untuk menundukkan logika dan membunuh kesadaran. Salah satu modus yang umum digunakan adalah pernikahan “ideologis”. Perempuan direkrut dengan iming-iming pernikahan dengan “mujahid”, dijanjikan surga, dan dibujuk agar patuh pada “kepemimpinan” suami demi tegaknya agama. Namun faktanya, banyak dari mereka akhirnya hanya dijadikan alat logistik, tameng, bahkan pelaku teror.

Dalam berbagai kasus, perempuan menjadi pelaku bom bunuh diri setelah melalui proses doktrin panjang dalam rumah tangga radikal. Mereka kehilangan otonomi berpikir, dikungkung dalam tafsir-tafsir agama yang dimonopoli, dan dipaksa menganggap ketundukan total sebagai bentuk iman.

Kartini dan Perlawanan terhadap Hegemoni Agama Patriarkal

Lebih dari seabad lalu, Kartini telah mengidentifikasi bentuk-bentuk ketundukan perempuan yang dibalut oleh tafsir agama yang hegemonik. Dalam suratnya kepada Stella, tertanggal 25 Mei 1899, ia menulis dengan sangat kritis: “Agama sering digunakan untuk menindas perempuan, bukan membebaskan. Padahal, Tuhan pasti tidak menghendaki makhluk ciptaan-Nya menderita atas nama-Nya.” (Habis Gelap Terbitlah Terang, Balai Pustaka, hlm. 45).

Kartini bukan anti agama. Justru ia sangat spiritual dan religius. Tapi ia menolak bentuk keberagamaan yang hanya menekankan simbol lahiriah dan mengabaikan nilai-nilai keadilan dan kasih sayang. Ia menolak tafsir agama yang menjadikan perempuan sebagai makhluk kelas dua.

Kartini menyaksikan bagaimana perempuan dipaksa tunduk bukan karena kehendak Tuhan, melainkan tafsir segelintir manusia. Ia menolak sikap fatalistik dan penyerahan diri tanpa berpikir. Baginya, beragama adalah berpikir—dan berpikir adalah bentuk tertinggi dari ibadah.

Dalam surat lainnya, ia menyatakan: “Kami ingin belajar, berpikir sendiri, dan mengerti. Bukan hanya disuruh diam dan patuh atas nama tradisi dan agama.”
(Habis Gelap Terbitlah Terang, hlm. 92)

Berpikir Kritis: Kunci Melawan Radikalisme

Di tengah masifnya propaganda radikal yang menyasar perempuan, warisan paling penting dari Kartini adalah keberanian berpikir kritis. Ia mengajarkan bahwa perempuan harus membaca realitas, memahami teks agama secara kontekstual, dan tidak mudah tunduk pada tafsir tunggal. Berpikir kritis adalah senjata paling ampuh untuk membongkar jebakan dogma yang eksploitatif.

Kelompok radikal sangat paham: perempuan yang tidak berpikir, adalah perempuan yang mudah dikendalikan. Maka dari itu, Kartini harus diteladani bukan hanya sebagai simbol emansipasi, tetapi sebagai muslimah kritis yang berani mengkritisi dalil, mempertanyakan otoritas patriarkal, dan menyuarakan kebenaran dari nurani.

Beragama ala Kartini: Mengurai Eksploitasi Dalil

Beragama ala Kartini bukanlah menolak agama, melainkan menyelamatkan agama dari manipulasi. Ia menunjukkan bahwa kasih sayang, keadilan, dan pemikiran jernih adalah inti dari Islam. Ia menolak pemaksaan, mengkritik cara pengajaran agama yang menakut-nakuti, dan menggali spiritualitas yang membebaskan.

Inilah pesan pentingnya: menjadi muslimah kritis adalah kunci untuk menghindari jebakan dogma yang digunakan kelompok radikal untuk mengeksploitasi perempuan. Beragama tidak cukup hanya taat, tapi harus disertai nalar dan nurani. Itulah warisan terbesar Kartini untuk generasi perempuan Indonesia.

Di era di mana perempuan masih dijadikan alat dalam pusaran ideologi kekerasan, teladan Kartini sangat relevan. Ia mengajarkan bahwa menjadi perempuan muslimah bukan berarti harus tunduk secara membuta, tetapi justru harus cerdas, kritis, dan spiritual. Ia membongkar eksploitasi dalil, menolak menjadi korban tafsir, dan menyuarakan keberanian untuk berpikir bebas.

Menjadi muslimah kritis ala Kartini adalah cara paling elegan dan tajam untuk menolak radikalisme, melawan hegemoni patriarkal, dan menjaga kemuliaan agama dari penyalahgunaan.

Facebook Comments