Dari Gaza ke Indonesia: Mengawal Fatwa Jihad agar Tak Jadi Bara Radikal-Terorisme

Dari Gaza ke Indonesia: Mengawal Fatwa Jihad agar Tak Jadi Bara Radikal-Terorisme

- in Narasi
8
0
Dari Gaza ke Indonesia: Mengawal Fatwa Jihad agar Tak Jadi Bara Radikal-Terorisme

Suara takbir menggema di ruas-ruas jalan di berbagai negara di dunia. Nama Gaza dielu-elukan sebagai simbol perlawanan. Spanduk dukungan membanjiri medsos, dan di sejumlah masjid, khotbah Jumat berubah jadi ladang retorika jihad. Indonesia, negeri Muslim terbesar di dunia, kembali menunjukkan simpati tak tergoyahkan untuk Palestina yang menderita di bawah genosida Israel.

Sejak Oktober 2023 lalu, Gaza, Palestina, diguncang agresi militer Israel dengan brutal. Leboh empat puluh ribu warga sipil gugur, jutaan lainnya terusir, dan umat Islam berkabung dalam kemarahan tak terbendung. Dalam situasi itulah, baru-baru ini, International Union of Muslim Scholars (IUMS)—organisasi ulama Muslim lintas negara—mengeluarkan fatwa jihad, berisi seruan berjihad melawan zionis lewat dukungan spiritual, kemanusiaan, juga aliansi militer.

Fatwa tersebut menuntut boikot ekonomi global hingga mobilisasi kekuatan umat secara kafah. Di atas kertas, fatwa IUMS memancarkan spirit perlawanan teologis, moral, dan geopolitik. Namun dalam realitas dunia yang kompleks, terutama di Indonesia, ia menyimpan potensi ambivalensi yang perlu dijaga dengan ketelitian politik dan kebijaksanaan spiritual. Singkatnya, fatwa jihad yang MUI dukung itu memiliki potensi-potensi yang perlu dimonitor.

Untuk diketahui, fatwa IUMS memuat 15 poin penting, mulai dari penegasan kewajiban jihad melawan zionis, larangan mendukung musuh dan menyuplai sumber daya, seruan pembentukan aliansi militer Islam, hingga ajakan melakukan boikot ekonomi secara komprehensif terhadap perusahaan pro-Israel.

Poin-poin lainnya termasuk dorongan kepada negara-negara Muslim untuk meninjau ulang perjanjian-perjanjian strategis dengan negara-negara pendukung Israel, penguatan peran ulama dalam membentuk opini publik, jihad dengan harta, tekanan terhadap AS sebagai sekutu utama Israel, serta doa kolektif dan dukungan terus-menerus terhadap rakyat Palestina. Semuanya berpijak pada pembebasan Palestina, namun di situlah tantangannya.

Secara geopolitik, fatwa tersebut boleh dibaca sebagai upaya counter-hegemony terhadap dominasi militer-politik Barat: AS dan sekutunya. Ia memberi harapan moral dan arah perjuangan bagi Muslim sedunia. Namun secara domestik, dalam hal ini Indonesia, fatwa IUMS bak pedang bermata dua, salah satunya bahan propaganda ekstremisme dan semaraknya foreign terrorist fighter (FTF).

Dengan kata lain, fatwa jihad tersebut bisa menjadi bahan bakar kelompok ekstremis yang sudah lama menanti momentum. Dari pengalaman Suriah dan Irak, sebagai contoh, jihad merupakan kata yang bermakna konotatif dan fatwa bukan teks maklumat belaka. Keduanya, diakui atau tidak, adalah energi sosial-politik yang berpotensi konstruktif atau destruktif. Ini bukan menegasikan iktikad IUMS, melainkan nomenklatur yang peyoratif: ‘fatwa jihad’.

Residu Fatwa Jihad di Indonesia

Indonesia punya sejarah panjang soal jihad. Semua orang tahu fakta tersebut. Dari Perang Diponegoro hingga Laskar Hizbullah, jihad pernah menjadi bagian integral perjuangan kemerdekaan. Namun sejarah juga mencatat, istilah yang sama dipakai kelompok teroris seperti JI, JAD, MIT, dan lainnya untuk membenarkan kekerasan terhadap warga sipil yang terlabeli thaghut atau anshar at-thaghut.

Menariknya, dalam banyak kasus, rekrutmen FTF ke medan konflik luar negeri, Suriah dan Afghanistan misalnya, dimulai dari pemahaman sempit terhadap fatwa jihad internasional. Maka, ketika fatwa jihad dari IUMS bergema, pertanyaan krusial bagi Indonesia bukan sekadar setuju atau tidak, tetapi bagaimana mengawal tafsir dan implementasinya dalam koridor konstitusi dan nilai-nilai kebangsaan—tidak liar menjadi terorisme.

Sebagai negara konstitusional berasaskan Pancasila dan kedaulatan hukum, Indonesia tak bisa serta-merta menerjemahkan jihad secara militeristis. Jihad yang relevan di negara ini ialah jihad konstitusional; jihad dengan harta melalui penggalangan dana kemanusiaan, jihad diplomatik melalui tekanan global kepada Israel, jihad naratif melalui penguatan opini publik di media-media, juga jihad sosial berupa solidaritas lintas iman.

Itulah semangat jihad ala Indonesia. Bukan sembarang angkat senjata, melainkan pengorbanan-perjuangan untuk kemanusiaan yang bermartabat. PBNU dan Muhammadiyah telah konsisten dengan jihad diplomatik, sebagaimana ditegaskan Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla di beberapa forum. Indonesia melalui Kemenlu juga demikian konsisten, berjuang dengan jalur legal yang inkonstitusional.

Ada residu fatwa jihad di Indonesia disebabkan trajektori historis di satu sisi dan peyorasi makna jihad di sisi lainnya. Karena itu, menyikapi genosida Israel yang tidak berperikemanusiaan, fatwa jihad ala IUMS mesti dikawal agar berada di track-nya sendiri. Ulama niscaya ambil peran di situ, bertugas menjaga makna jihad agar tidak diselewengkan para ekstremis yang gemar menunggangi isu Palestina untuk kepentingan ideologis semata.

Pada saat yang sama, negara perlu penguatan kanal-kanal resmi perjuangan Palestina: lewat diplomasi, lembaga bantuan resmi, dan kebijakan luar negeri yang strategis namun tetap berprinsip. Apakah relokasi? Jelas tidak. Ketika fatwa jihad dari luar menggema, Indonesia perlu mengartikulasikan ulang sesuai prinsip kebangsaan sebagai negara berdaulat penjaga ‘kemerdekaan’. Jangan sampai residu fatwa jihad membahayakan Indonesia itu sendiri.

Ikut Jihad, Tapi Tolak Radikalisme!

Prinsip daf’u ash-sha’il, atau jihad dalam arti defensif: membela diri, itu telah disepakati ulama. Apalagi dengan melihat okupasi Israel yang biadab, umat Muslim memang wajib hukumnya berjihad. Artinya, silakan berjihad dengan apa pun yang mampu ditempuh, namun prinsipnya jelas: menolak radikalisme. Yang kita butuhkan bukan penyangkalan atas fatwa jihad, melainkan pengawalan atas maknanya.

Di tangan yang tepat, jihad mengejawantah sebagai alat pembebasan. Tapi di tangan yang salah, ia menjelma jadi bara radikal-teror yang bisa membakar rumah sendiri; Indonesia. Fatwa IUMS boleh jadi menjadi semangat penggerak, tetapi tanpa penafsiran kebangsaan yang kuat, ia juga berpotensi disusupi agenda-agenda gelap yang membajak penderitaan Palestina demi membenarkan kekerasan an sich.

Indonesia dengan histori pluralitas dan spiritualitas damainya, juga peran strategisnya di dunia Islam, berpeluang besar menunjukkan potensi reinterpretasi jihad menjadi perjuangan multidimensi: kemanusiaan, diplomasi, ekonomi, dan spiritualitas. Umat Muslim di tanah air tak perlu mengangkat senjata untuk mendukung Palestina; hanya perlu memastikan bahwa dukungannya tidak berubah menjadi peluru salah sasaran.

Dari Gaza ke Indonesia, fatwa jihad yang IUMS keluarkan tidak boleh diimplementasikan secara gelondongan. Ia mesti dikawal agar tak jadi bara radikal-terorisme. Dari ‘fatwa ke tafsir’, dari ‘ghirah ke strategi’; semua itu adalah medan jihad hari ini. Dan jihad sejati, seperti Nabi Saw. sabdakan dalam hadisnya, ialah melawan nafsu dan kebodohan: termasuk nafsu untuk membalas tanpa arah dan sporadis, sebagaimana yang kaum radikal-teror lakukan. Waspada!

Facebook Comments