Fundamentalisme Agama, Rekonstruksi Keindonesiaan dan Revitalisasi Pancasila

Fundamentalisme Agama, Rekonstruksi Keindonesiaan dan Revitalisasi Pancasila

- in Narasi
502
2
Fundamentalisme Agama, Rekonstruksi Keindonesiaan dan Revitalisasi Pancasila

Sebagai negara berkembang yang tengah giat membangun, Indonesia menghadapi sejumlah persoalan pelik menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Di satu sisi, persoalan terkait ekonomi mulai dari kemiskinan hingga kesenjangan sosial sampai hari ini belum sepenuhnya terselesaikan. Di saat yang sama, kondisi birokrasi pemerintahan kita juga masih diwarnai oleh banyaknya praktik korupsi yang merugikan negara.

Di sisi lain, kita juga menghadapi fenomena fundamentalisme sektarian berbasis agama yang mendominasi ruang publik selama beberapa tahun belakangan. Fundamentalisme agama itu mewujud ke dalam aksi intoleran bahkan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap golongan lain yang dianggap berbeda dan menyimpang. Dalam analisa Oliver Roy (2005) fundamentalisme agama memiliki keterkaitan dengan praktik kapitalisme global yang melahirkan ketimpangan sosial. kondisi ketidakadilan ini lantas melahirkan perlawanan dari kaum fundamentalis agama dengan cara-cara kekerasan.

Fundamentalisme agama tentu menjadi ancaman serius bagi kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Praktik hidup berdampingan, harmonis dan damai tanpa mempersoalkan perbedaan identitas agama dan budaya yang sudah lama kita praktikkan belakangan mulai terusik oleh munculnya sentimen kebencian yang mengatasnamakan agama. Perbedaan kini tidak lagi dipandang sebagai keniscayaan dan karunia Tuhan, namun lebih diposisikan sebagai sesuatu yang mengancam. Perlahan namun pasti fundamentalisme agama telah meruntuhkan bangunan keindonesiaan yang susah payah kita tegakkan dan jaga bersama.

Lima Langkah Rekonstruksi

Untuk itu, diperlukan langkah-langkah rekonstruktif guna menyelamatkan bangunan keindonesiaan kita. Langkah pertama ialah rekonstruksi kepemimpinan. Corak kepemimpinan di Indonesia selama ini lebih banyak bertumpu pada figur personal atau ketokohan. Di tengah masyarakat masih berkembang satu imajinasi politik yang meyakini bahwa akan muncul seorang pemimpin yang mampu menyelamatkan dan membawa Indonesia menuju kejayaan.

Baca Juga :Radikalisme dan Imunisasi Ideologi Pancasila

Nalar kepemimpinan yang demikian itu harus diakui gagal melahirkan transformasi sosial. Oleh karena itu, kita perlu merekonstruksi kepemimpinan kita berdasar pada paradigma kolektif. Yakni kepemimpinan yang dilandasi oleh visi bersama tentang kemajuan dan kejayaan Indonesia. Kepemimpinan kolektif ialah kepemimpinan yang mampu meninggalkan sentimen primordialisme serta politik identitas.

Langkah kedua ialah rekonstruski kelembagaan. Diakui atau tidak, aspek kelembagaan masih menjadi titik lemah dalam membangun kehidupan berbangsa yang adil dan sejahtera. Lembaga-lembaga negara kerapkali tidak merepresentasikan kepentingan publik, alih-alih kepentingan sektoral. Korupsi pun merajalela dan nyaris mustahil diberantas. Kondisi demikian inilah yang perlu kita ubah. Pemerintah bersama masyarakat sipil harus bekerjasama mewujudkan rekonstruksi kelembagaan sehingga tata kelola pemerintahan bisa berjalan efektif, efisien dan transparan.

Langkah ketiga ialah rekonstruksi kultur politik. Selama ini panggung politik kita didominasi oleh corak politik feodalistik. Yakni corak politik yang menempatkan para elite seperti raja dan masyarakat umum sebagai kawula yang harus menuruti apa pun kehendak raja. Corak politik yang demikian ini telah menutup pintu komunikasi politik sehingga tidak tercipta ruang diskursus yang dinamis antara masyarakat dan elite politik. Kultur politik feodalistik ini tidak lagi relevan dengan situasi sosial yang berkembang di Indonesia kontemporer. Kultur politik yang relevan untuk kita kembangkan saat ini ialah politik bercorak egaliter yang memungkinkan terciptanya relasi komunikasi yang setara antara elite dan masyarakat.

Langkah keempat ialah rekonstruksi masyarakat sipil. Ketika negara dalam kondisi tidak baik-baik saja, masyarakat sipil adalah kekuatan terakhir yang diharapkan mampu melahirkan perubahan sosial. Keberadaan masyarakat sipil bukan untuk mendelegitimasi kekuasaan pemerintah yang sah. Masyarakat sipil berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah, sekaligus sebagai elemen penting membangun solidaritas kebangsaan.

Terakhir ialah rekonstruksi mental. Pasca berakhirnya era Orde Baru, bangsa Indonesia seolah terjangkiti virus pesimisme. Masyarakat tidak lagi memiliki imajinasi bersama tentang Indonesia. Sebaliknya, masyarakat justru terbelah ke dalam golongan-golongan kecil yang saling berseberangan kepentingan dan tidak jarang berakhir pada konflik sosial. Mental pesimis dan terpecah belah inilah yang harus kita ubah dan rekonstruksi ke arah mental optimis dan mengedepankan persatuan.

Penguatan Gagasan dan Pengejawantahan Pancasila

Problem terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia di era Reformasi ini ialah melemahnya ideologi Pancasila. Ideologi bagi sebuah negara layaknya seperti nyawa. Tanpa ideologi yang kuat, sebuah negara niscaya terombang-ambing dalam ketidakpastian. Apa yang terjadi di Indonesia selama dua dasawarsa terakhir ini menggambarkan situasi keterombang-ambingan tersebut. Tidak ada pijakan ideologi yang jelas membuat arah perjalanan bangsa kita kian tidak menentu. Ada kekuatan-kekuatan tertentu yang mencoba menyeret Indonesia ke arah sistem liberal ala Barat. Ada pula kekuatan-kekuataan yang menggiring Indonesia ke arah konservatisme Islam. Keduanya, sama-sama bertentangan dengan kaidah dan esensi Pancasila, yakni mewujudkan tata kehidupan masyarakat Indonesia yang berketuhanan, berkeadilan, sekaligus berkeadilan.

Di tengah tarikan kepentingan kubu liberalis dengan kubu islamis inilah merevitalisasi Pancasila menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar. Revitalisasi Pancasia dapat kita lakukan melalui setidaknya dua langkah. Pertama, penguatan gagasan dan ide Pancasila sebagai bagian dari falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimensi Pancasila sebagai philosofische grondslag belakangan ini mulai memudar seiring derasnya penetrasi modernisme di satu sisi dan islamisme di sisi lain.

Pancasila seolah terhimpit di tengah dua paham yang saling berebut kepentingan tersebut. Mengembalikan ide dan gagasan Pancasila sebagai falsafah bangsa adalah strategi untuk membendung paham liberalisme dan islamisme yang menggerogoti negara dari dalam. Transformasi gagasan dan ide Pancasila sebagai falsafah bangsa ini perlu digiatkan melalui lembaga pendidikan, organisasi keagamaan, lembaga-lembaga sosial serta media massa dan media sosial agar menjangkau sebanyak mungkin khalayak.

Kedua, pengejawantahan sila-sila dalam Pancasila melalui kebijakan nyata dan bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Selama ini harus diakui sila-sila dalam Pancasila hanya manis di tataran retorika namun pahit dalam realita. Oleh karena, keberadaan Pancasila kerap tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Pancasila lebih sering dianggap sebagai simbol bahkan hiasan dinding yang bersifat formalitas belaka. Pengejawantahan sila-sila dalam Pancasila secara menyeluruh dan komprehensif penting untuk menyadarkan masyarakat bahwa keberadaan Pancasila benar-benar memberi maslahat.

Arkian, memasuki periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, kita berharap terjadi rekonstruksi keindonesiaan sekaligus revitalisasi Pancasila sebagaimana kita butuhkan untuk meredam fenomena fundemantalisme agama yang bercorak sektarian. Kita patut optimis, di periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi ini, semua agenda rekonstruksi dan revitalisasi itu akan berhasil ditunaikan. Terlebih jika melihat susunan kabinet yang mencerminkan spirit keindonesiaan yang kental. Namun, tentu semua kekuataan itu tidak akan bisa maksimal tanpa dukungan dan komitmen penuh dari msayarakat. Maka, sudah sepatutnya kita turut ambil bagian dan berpartisipasi aktif dalam merekonstruksi keindonesiaan dan merevitalisasi Pancasila.

Facebook Comments