Reformasi, Kegalauan Ideologi dan Infiltrasi Islamisme

Reformasi, Kegalauan Ideologi dan Infiltrasi Islamisme

- in Narasi
643
1
Reformasi, Kegalauan Ideologi dan Infiltrasi Islamisme

Sejak era pra-kemerdekaan hingga era Reformasi, suara-suara sumbang yang menghendaki penggantian ideoloigi negara seolah tidak pernah sepi. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, suara itu kian nyaring terdengar dari level pusat hingga daerah. Pasca berakhirnya pemerintahan Orde Baru, kelompok yang menghendaki penggantian ideologi Pancasila seolah mendapat panggungnya kembali. Keran kebebasan yang terbuka lebar di era Reformasi dimanfaatkan betul oleh kelompok radikal tersebut untuk mengampanyekan gagasannya.

Berakhirnya rejim Orde Baru yang menandi dimulainya era Reformasi yang penuh keterbukaan menghadirkan dua sisi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, Reformasi menumbuhkan semangat optimisme berbangsa dan bernegara. Penerapan demokrasi langsung dari level pusat hingga daerah digadang-gadang mampu melahirkan transformasi sosial yang berdampak pada terciptanya akselerasi kesejahteraan ekonomi dan keadilan politik.

Namun, di sisi lain, era Reformasi juga menghadirkan berbagai persoalan. Salah satunya seperti disebut di atas ialah kembali munculnya gerakan radikal yang berkepentingan mengganti ideologi Pancasila dengan syariah Islam. Jika dibaca dalam perspektif lanskap sosial-politik Indonesia kontemporer, kemunculan anasir radikal itu merupakan ekses dari melemahnya peran pemerintah dan masyarakat dalam meneguhkan Pancasila sebagai ideologi negara.

Pasca berakhirnya Orde Baru, kita menyaksikan sendiri bagaimana Pancasila dianggap sebagai ideologi yang usang. Pancasila berada di satu fase antara ada dan tiada. Ia ada di tengah masyarakat melalui selembar kertas yang terpacak di setiap kantor pemerintah atau dibacakan pada momen-momen tertentu. Namun, masyarakat tidak pernah benar-benar merasakan keberadaan Pancasila. Pendek kata, Pancasila mulai kehilangan ikatan sekaligus signifikansinya dengan masyarakat.

Baca Juga :Fundamentalisme Agama, Rekonstruksi Keindonesiaan dan Revitalisasi Pancasila

Momen ini sekaligus menandai munculnya fase kegalauan ideologis. Yakni satu fase ketika masyarakat tidak lagi memiliki pegangan ideologis, dan falsafah yang bisa dijadikan pegangan hidup. Di tengah fase kegalauan itulah, gerakan radikalisme berbasis Islam tumbuh subur di tengah masyarakat. Kelompok radikal memanfaatkan situasi itu dengan mengumbar janji-janji manis. Yakni bahwa pendirian negara Islam dengan sistem khilafah adalah solusi atas semua problem yang mendera masyarakat Indonesia.

Ideologi dan Konstitusi Bercorak Moderat

Inilah gelombang baru Islamisme yang kini mendominasi nyaris seluruh ruang publik Indonesia. Islam dan islamisme adalah dua hal yang bertolak belakang baik secara sistem nilai, prinsip maupun tujuannya. Islam sebagaimana kita ketahui merupakan agama yang bertumpu pada nilai keadilan, perdamaian dan kemanusiaan. Sedangkan islamisme adalah paham yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik dengan tujuan meraih kekuasaan politis. Tujuan islamisme tidak lagi berorientasi pada kemanusiaan yang universal, melainkan kekuasaan politis yang cenderung pragmatis-temporer.

Meski gelombang islamisme deras mendera Indonesia, dan seolah mendominasi ruang publik kita, secara keseluruhan sebenarnya umat muslim Indonesia tergolong berpandangan moderat. Tidak hanya di level permukaan, moderatisme keberagamaan itu sebenarnya juga tercermin dari ideologi dan konstitusi Indonesia, yakni Pancasila dan UUD 1945. Di dalam Pancasila dan UUD 1945 ideologisasi Islam terejawantahkan secara subtansial bukan semata pada doktrin formal yang kaku, rigid dan bertentangan dengan demokrasi serta hak asasi manusia.

Nadirsyah Hosen dalam bukunya Shari’a and Constitutional Reform in Indonesia dengan tegas menyebut bahwa relasi antara ideologi dan konstitusi Indonesia dengan syariat Islam lebih cenderung bercorak moderat. Paradigma moderat ini menempatkan Islam sebagai nilai, kebajikan dan kemaslahatan bersama (common good) sekaligus tatanan moral. Islam tidak ditempatkan sebagai seperangkat ajaran legal-formal yang kaku dan rigid. Paradigma moderat ini juga menjadikan Islam sebagai piranti sosial untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan di tengah masyarakat. Sedangkan hal-hal menyangkut hukum positif negara diatur berdasarkan pada konsensus bersama yang dilandasi semangat demokrasi.

Ideologi dan konstitusi Indonesia terbilang unik, apalagi jika dibandingkan dengan mayoritas negara-negara muslim lainnya. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia tidak mengambil bentuk sebagai negara Islam dengan pemberlakuan syariat secara formalistik. Alih-alih itu, Indonesia mengambil model subtansialistik, yang menjadikan nilai-nilai Islam yang universal sebagai common ground dan common platform dengan agama-agama lainnya. Dalam Pancasila, hal itu termanifestasikan ke dalam sila pertama yakni, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam pidato Sukarno pada tanggal 1 Juni 1945, yang dimaksud dengan sila tersebut ialah ketuhanan yang berkeadaban. Yaitu sikap kebertuhanan yang menghormati keyakinan agama lain. Ini artinya, keislaman dimaknai sebagai elan vital untuk membangun spirit dialog dan kebersamaan. Apalagi dalam konteks Indonesia yang multi-reliji dan multikultural.

Sila pertama tentang ketuhanan itu ditopang oleh sila-sila selanjutnya yang memuat kata-kata kunci yaitu kemanusiaan, persatuan, kebangsaan, demokrasi dan keadilan. Pada titik inilah, ideologi Pancasila sebenarnya telah memberikan semacam garansi pada kebebasan beragama dan kesetaraan hak masing-masing entitas di Indonesia.

Moderasi Keberagamaan

Uraian singkat di atas membuktikan bahwa pandangan kaum islamis yang menganggap Pancasila dan UUD 1945 bertentangan dengan Islam mengandung cacat logika. Tidak ada satu sila pun dalam Pancasila dan tida ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang bertentangan dengan ajaran Islam. Maka, agenda gerakan islamisme yang berupaya mengganti ideologi dan konstitusi Indonesia sudah sepatutnya kita lawan bersama.

Salah satu cara menangkal gerakan islamisme ialah dengan terus-menerus mengampanyekan corak keberislaman moderat di ruang publik kita. Narasi gerakan islamisme yang cenderung konservatif dan anti-perbedaan harus dilawan dengan narasi keberislaman yang moderat, mencerahkan sekaligus adaptif pada kebinekaan. Pemerintah sebagai pemangku kekuasaan harus menjalin kerjasama dengan kelompok masyarakat sipil untuk membangun narasi tandingan bagi gerakan islamisme.

Dalam konteks inilah, pemerintah perlu merangkul organisasi keislaman bercorak moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk bersinergi membendung arus islamisme. Gagasan “Islam Nusantara” yang selama ini digaungkan oleh NU dan gerakan “Islam Berkemajuan” yang diusung oleh Muhammadiyah idealnya bisa diserap ke dalam program-program strategis pemerintah. Dengan dukungan penuh pemerintah, gagasan yang diusung kedua ormas Islam bercorak moderat dan adaptif pada tradisi Indonesia itu bisa lebih direaktualisasikan di tengah masyarakat.

Pada saat yang sama, pemerintah juga perlu memberdayakan kearifan lokal (local wisdom) untuk mendukung moderasi keberagamaan. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia sangat kaya akan kearifan lokal yang potensial dijadikan modal sosial untuk mempromosikan spirit kebergamaan yang moderat. Di banyak kelompok masyarakat, dikenal istilah hukum adat yang dijadikan sebagai mekanisme penyelesaikan masalah dan konflik. Intinya, semangat moderasi keberagamaan sebagai narasi tandingan melawan islamisme ini tidak berhenti pada sekadar slogan dan retorika parsial yang menjadi konsumsi sebagian kecil masyarakat saja. Lebih dari itu, semangat moderasi keberagamaan harus menjadi lingua franca semua entitas bangsa Indonesia.

Facebook Comments