Al Qur’an adalah dalil hukum pertama dalam Islam. Ia menjadi referensi kuat, utama dan mendasar. Setelahnya baru hadits, ijma’ dan qiyas (analogi). Lebih jelas pembahasan ini ada dalam ilmu ushul fikih. Sebagai referensi utama apa yang disebutkan dalam al Qur’an secara jelas (sharih) tidak perlu diperdebatkan, seperti ketika membicarakan toleransi sebagai sesuatu yang dikehendaki Tuhan atas kita.
Namun, kenyataannya ada muslim yang intoleran. Kiai, ustadz dan guru agama Islam tak jarang melakukan tindakan-tindakan intoleran. Jika ini masalahnya bukan karena al Qur’an yang salah, tapi kesalahan dalam memahaminya. Seperti kasus-kasus intoleransi yang terjadi di lingkungan pendidikan karena kesalahan guru, ia tidak memahami atau tidak membaca sama sekali ayat-ayat toleransi dalam al Qur’an, sekalipun ia adalah guru agama Islam.
Maka, penting untuk disampaikan, jika merujuk pada al Qur’an, sebenarnya ia memuat penjelasan yang bisa menjadi dalil utama tentang bagaimana bertoleransi, bahwa toleransi merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh al Qur’an dan dikehendaki Tuhan. Banyak sekali ayat-ayat al Qur’an tentang toleransi.
Namun demikian, untuk memahami al Qur’an secara sempurna dan komprehensif tidak cukup terpaku pada teks al Qur’an, kemudian diterjemahkan, tapi harus memahami tafsir dari ayat tersebut serta sababun nuzulnya. Diantara ayat-ayat toleransi dalam al Qur’an yang harus kita pahami secara sempurna adalah surat al Mumtahanah ayat 8-9 berikut ini.
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”. (Al Muntahanah (60): 8).
Sebab Penuzulan Ayat
Imam Syamsuddin al Qurthubi dalam tafsirnya Al Jami’ li Ahkamil Qur’an mengutip beberapa pendapat ulama mengurai setting sejarah ayat di atas. Ayat ini berkisah tentang ibu dan anak beda agama. Adalah Qatilah, janda Abu Bakar al Shiddiq yang ditalak sejak masa jahiliah, hendak mendatangi putrinya, Asma’ binti Abu Bakar. Sang ibu mengunjungi putrinya untuk memberikan anting dan barang-barang lainnya.
Tetapi yang terjadi sungguh tidak diduga. Bukan sambutan hangat seorang anak bertemu ibunya. Asma’ yang saat itu telah memeluk agama Islam menolak secara kasar hadiah ibunya, bahkan menyuruh ibunya keluar dari rumahnya dengan alasan, umat Islam tidak boleh membina kerukunan dan pergaulan baik dengan non muslim.
Qatilah kemudian mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah. Ia menyampaikan kekecewaannya. Anaknya sendiri telah menolak kehadirannya karena alasan perbedaan agama. Kemudian turunlah ayat di atas.
Fakhruddin al Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib mengatakan, ayat ini menjadi dasar moderasi beragama, sekaligus larangan terhadap intimidasi teologis, apalagi kekerasan teologis.
Ayat di atas mengajarkan suatu nilai; Islam itu selamat, damai, membahagiakan, menjaga kerukunan dan kedamaian terhadap siapapun tanpa sekat agama.
Dalam ayat ini ada anjuran untuk berbuat baik kepada penganut agama lain. Berinteraksi dengan non muslim dan membina keharmonisan dengan mereka. Dengan demikian, ayat ini menjadi melarang umat Islam melakukan tindakan intoleran.
Praktik interaksi muslim-non muslim yang dimaksud adalah bersikap adil, berinteraksi dengan baik, tidak menggangu dan saling tolong menolong. Non muslim bukan musuh yang harus dibenci, dimusuhi dan diisolir dari pergaulan umat Islam.
Lebih dalam lagi, Fakhruddin al Razi menjelaskan, Islam mengajarkan umatnya untuk mengedepankan sikap toleransi, berteman dan bersahabat dengan non muslim secara sopan, adil dan bijaksana.
Pendapat senada disampaikan Syaikh Abu Abdillah bin Abdurrahman al Sa’di dalam tafsirnya Alqawa’idul Hissan fi Tafsiril Qur’an. Ada banyak alasan untuk melakukan kebaikan, sekalipun kepada non muslim. Misalnya, bergaul dengan dasar kesopanan, berbuat baik karena ada hubungan kerabat atau karena faktor bertetangga. Andaipun semua itu tidak ada, minimal atas dasar hubungan kemanusiaan.
Spirit ayat di atas, agama melarang tindakan-tindakan manusia yang bertentangan dengan kemanusiaan atas nama agama. Maka, al wala’ wal bara’ adalah perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan atas nama agama.
Ada Perbedaan antara Situasi Perang dan Kondisi Damai
Larangan umat Islam bergaul dan berteman dengan non muslim apabila non muslim menyerang/memerangi umat Islam atau membantu kelompok-kelompok yang menyerang umat Islam.
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Al Muntahanah (60): 9).
Dalam ayat ini ada dua catatan kapan muslim harus membenci dan tidak membangun persahabatan dengan non muslim. Pertama, apabila mereka memerangi umat Islam dalam urusan agama. Kedua, mengusir umat Islam dari tanah kelahiran.
Sampai disini sangat jelas, bahwa doktrin al wala’ wal bara’ bertentangan dengan dua ayat di atas. Doktrin ini dibuat oleh mereka yang miskin basis teks dan basis intelektual. Menempatkan ayat bukan pada tempat yang semestinya dan melakukan politisasi penafsiran.
Pandangan keagamaan seperti ini yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru atau pendidik. Menjamurnya intoleransi di lembaga pendidikan penyebab utamanya tidak lain karena lemahnya pengetahuan agama seorang guru atau pendidik. Dengan demikian, setiap institusi pendidikan harus lebih selektif memilih guru PAI, serta giat melakukan program penguatan penguasaan pengetahuan agama Islam secara baik dan benar.
Dalam cakupan yang lebih luas, maka progam moderasi beragama tidak boleh lesu, terus digiatkan supaya seluruh elemen yang terlibat dalam institusi pendidikan memahami arti toleransi yang sebenarnya serta tidak menjadi pendidik yang memiliki wajah intoleran. Disamping bertentangan dengan ajaran agama intoleransi mengancam kebhinekaan dan menodai sumpah pemuda.