Gus Yaqut dan Problem Intoleransi Teologis

Gus Yaqut dan Problem Intoleransi Teologis

- in Narasi
802
0

Gus Yaqut sebagai menteri Agama beberapa waktu lalu disurati oleh Persatuan Gereja Indonesia (PGI) untuk meninjau kembali terkait dengan buku pelajaran Agama Islam yang disusun tahun 2017 yang memuat tentang kitab Injil atau Taurat, dilansir dari (Detik.com, 27/02/2021).

Gus Yaqut sendiri merespon surat tersebut dan kemudian berkoordinasi dan meninjau kembali terkait dengan narasi kitab Injil dalam buku pelajaran Agama Islam yang dimaksud. Namun, yang mengganjal adalah apakah hal itu sesuai dengan prosedur kelembagaan atau hal itu sebenarnya bentuk dari intoleransi teologis?

Dewasa ini, jika kita lihat proses penulisan buku ajar di ranah kementrian, biasanya dilakukan oleh para ahli di bidangnya dan tim yang sangat koordinatif. Bahkan materi yang ditulis lengkap dengan rujukan pustakanya, bukan ditulis dengan sembarangan. Karena semenjak era reformasi, kualitas pendidikan di Indonesia pada perjalanannya terus mengalami peningkatan, salah satunya melalui penguatan buku ajar dari yang awalnya dogmatis menjadi kontekstual.

Saya pribadi sempat beberapa kali mengetahui dan bersinggungan langsung dengan beberapa dosen kampus di Jogja yang diminta Kemendikbud maupun Kemenag untuk menulis bahan ajar sebagai bagian dari materi kurikulum pendidikan, baik yang agama maupun formal. Maka dari itu, jika bahan ajar yang ditulis tidak melalui riset dan daftar rujukan yang kredibel, maka kualitas generasi bangsa yang dipertaruhkan.

Dalam konteks materi agama misalnya, masing-masing agama (dalam hal ini agama Abrahamik) memiliki kepercayaan tersendiri terkait dengan realitas historis dan wacana agama mereka. Masing-masing agama memiliki versi sejarah agamanya dan tidak mau diganggu gugat keautentikannya, akhirnya kebenaran sejarah agama seringkali cenderung distorsif.

Namun dari pada itu, apakah yang dilakukan PGI itu tidak berlebihan? Atau hal itu merupakan bagian dari kritik di era demokrasi?. Hemat saya, apa yang dilakukan oleh PGI merupakan bagian dari bentuk doktrinasi teologis. Pada dasarnya, tidak boleh suatu agama mengintervensi pemahaman keagamaan agama lain. Apalagi surat PGI tersebut tidak disertai dengan kritik konstruktif terkait kebenaran pemahaman agamanya. Hal tersebut juga bisa dikatakan sebagai bentuk dari intimidasi teologis atas nama toleransi. Suatu upaya yang dapat membahayakan stabilitas agama dan politik.

Hal ini senada dengan pendapat (Nurbani Yusuf, 2021) bahwa akan berpotensi menjadi konflik apabila agama saling merevisi atas nama toleransi, kebebasan beragama memang harus ditata rapi, namun bukan kemudian saling merevisi ajaran kepercayaan (Iman). Karena yang ditakutkan adalah terjadinya chaos antar agama.

Masing-masing agama seharusnya selalu mengembangkan sikap saling menghormati dan menghargai dan tidak harus mengorbankan Iman. Apalagi dengan cara mengubah Iman (kepercayaan baik secara teologis, historis, dan sosiologis) yang sudah tertuang dalam kitab-kitabnya masing-masing. Akhirnya, perlunya kita sebagai insan beragama dan warga negara (dalam konteks publik) mengedepankan kemaslahatan bersama, bukan mengedepankan fanatisme beragama. Semoga.

Facebook Comments