Dewasa ini ruang publik virtual kita (media sosial) dipenuhi dengan perdebatan seputar UU ITE yang disinyalir mereduksi terhadap kebebasan berpendapat di ruang publik Indonesia. Polemik ini berangkat dari himbauan Presiden Joko Widodo kepada masyarakat untuk melakukan kritik kepada pemerintah agar dapat melakukan evaluasi kinerja dan perbaikan kebijakan. Karena belakangan UU ITE sejak kemunculannya dianggap sebagai benalu bagi kebebasan berpendapat di ruang publik.
UU ITE sendiri sebenarnya lahir sebagai wujud menjaga kondusifitas ruang publik virtual. Karena semenjak kemunculan media sosial, infiltrasi hoaks dan ujaran kebencian sangat sukar dibendung. Inilah yang sering membuat gaduh publik. Media sosial dalam perjalanannya menjadi lahan subur untuk menyemai berita palsu. Namun, pada gilirannya publik banyak yang menghendaki revisi terhadap UU ITE tersebut.
Media sosial itu seharusnya dipergunakan untuk memperkuat hubungan atau mencari hubungan dengan orang lain. Namun, aktivitas individu di media sosial cenderung seenaknya dalam mengeluarkan pernyataan. Beberapa netizen di media sosial bahkan banyak yang saling menyerang, melecehkan atau mencederai identitas yang dimiliki oleh individu lainnya. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan individu dalam literasi media sosial itu sendiri. Maka dari itu, kemudian lahirlah UU ITE sebagai kontrol pemerintah dalam menjaga ruang publik virtual yang kondusif (Simangunsong, 2017).
Indonesia yang menganut sistem demokrasi, penyelenggaraan negara harusnya bertumpu pada partisipasi publik. Sebagaimana akar kata “Republik” itu sendiri. Rasionalitas Publik haruslah terus dijaga. Pemerintah pada dasarnya memiliki peran sebagai Regulator yang mengatur kehendak warga negara. Pemerintah juga perlu memberikan rambu-rambu pembatasan untuk masyarakat terhadap percaturan dan komunikasi di media sosial.
Dalam hal ini, kehadiran negara melalui pemerintah yang dibentuk berdasarkan kehendak publik hanya mengatur individu sebagai warga negara dan kelompok yang berlomba-lomba untuk memaksimalkan kepentingan mereka. Dalam relasi dan posisi tersebut, media (baik media massa konvensional maupun media sosial) dapat berperan menjadi pembentuk opini publik. Sehingga dalam kehidupan media sosial saat ini, kekuatan daya tahan suatu negara dan politik sering diadu, diuji dan dipertentangan di media sosial oleh masyarakat online (netizen) (Fuchs and Trottier, (2015).
Kebebasan berpendapat di media sosial merupakan bagian dari fungsi kontrol sosial masyarakat terhadap pemerintah. Hal ini merupakan wujud dari realitas demokrasi sendiri. Karena demokrasi sejatinya meniscayakan kritik untuk kemaslahatan masyarakat (warga negara). Sebagaimana berdasarkan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 22 ayat (3) tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang memiliki untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai realitas agama, budaya masyarakat.
Hal ini senada dengan penyataan Charles Tilly (2007), bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Negara yang demokratis tercermin dari adanya perlindungan terhadap kebebasan berkumpul, mengemukakan pendapat, dan diskusi terbuka. Sebagai dari prinsip dasar demokrasi yang meniscayakan negara dengan kedaulatan yang berada di tangan rakyat, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat mendukung pengawasan, kritik, dan saran terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Untuk itu, pengarusutamaan demokrasi virtual sejatinya menjadi penting untuk digalakkan. Netizen tidak perlu takut terhadap ancaman kebebasan berpendapat yang disinyalir berasal dari pasal karet UU ITE. Yang terpenting netizen perlu mengemukakan pendapatnya/kritikannya secara santun dan konstruktif. Netizen tidak perlu melakukan provokasi yang berlebihan, karena jika mereka memberikan kritik konstruktif dengan prosedural yang baik, niscaya itu akan menjadi masukan untuk Public Policy (kebijakan publik) kedepannnya.
Selain itu, yang sangat penting untuk terus digalakkan adalah upaya untuk membasmi Hoaks yang semakin menjamur di ruang maya. Dalam hal ini, pentingnya kekuatan membaca dan melacak informasi yang kredibel, jangan sampai kemudian kita terprovokasi dengan pesan berantai atau satu berita/informasi yang pada akhirnya hanyalah berita Hoaks. Perlunya memadukan informasi yang satu dengan yang lainnya, agar kita peroleh informasi yang berimbang tentang suatu peristiwa.
Akhirnya, kita (warga negara/Netizen) harus terus memantau kinerja dan implementasi kebijakan pemerintah di ruang publik. Dan terus menjadi polisi digital untuk membasmi Hoaks. Kita perlu menjadi oposisi untuk terus mengawal dan memberikan alarm positif untuk mendorong pemerintah agar melaksanakan roda pemerintahannya secara produktif, transparan dan akuntabel. Semoga.