Baru-baru ini Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror telah menangkap seorang pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Quran yang terletak di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan (Sumsel) lantaran diduga terlibat dalam jaringan teroris. Pimpinan ponpes tersebut tak lain adalah Ibnu Wazid (36), seorang pimpinan pesantren yang dikenal juga sering mengisi pengajian dan ceramah keagamaan di masjid sekitar.
Keterlibatan Ibnu Wazid dalam jaringan terorisme ini memang tidak terlalu mengejutkan. Sebab, sebelumnya, sudah ada beberapa tokoh agama yang juga diamankan karena peristiwa serupa. Namun demikian, penangkapan Ibnu Wazid atas keterlibatannya dalam jaringan terorisme ini sangat kita sayangkan.
Sebab, ia sendiri adalah pimpinan pesantren yang tentunya memiliki jaringan santri dan jemah yang mengikutinya. Yang artinya, jika benar Ibnu Wazid ikut terlibat dalam jaringan terorisme, ada banyak santri dan pengikutnya yang juga sudah tercekoki oleh paham radikal-terorisme.
Penangkapan Ibnu Wazid (28) ini tentu adalah ironi bagi kita semua. Pimpinan pesantren, yang seharusnya menjadi contoh dan teladan dalam mengembangkan paham Islam moderat, justru terjebak dalam pemahaman yang radikal-ekslusif yang diakui atau tidak, mengancam kemaslahatan umat.
Pada 2022 lalu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebenarnya sudah pernah membuka data intelijen yang membeberkan adanya 198 pesantren yang terindikasi atau terafiliasipaham radikal. Data itu kemudian menjadi kontroversial dan diperdebatkan perihal keabsahannya.
Namun, dengan fakta penangkapan pimpinan Ponpes Nurul Quran itu, semuanya menjadi jelas. Bahwa adanya pesantren yang terindikasi paham radikal itu benar-benar ada. Oleh sebab itu, di tengah kemeriahan peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2023, hal ini harus menjadi renungan tersendiri bagi pesantren dan santri. Bahwa sampai detik ini, masih banyak PR besar yang harus dituntaskan oleh santri dan pesantren. Wabilkhusus dalam menangkal pamah radikal, baik di luar pesantren maupun di dalam pesantren itu sendiri.
Selama ini, pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia yang kental dengan pemahaman keagamaan yang moderat. Itulah sebabnya mengapa pesantren sering disebut-sebut sebagai benteng perdamaian dan kerukunan bangsa. Sebab, selama ini pesantren, dengan santri-santrinya telah banyak berperan penting dalam menjaga bangsa.
Karenanya, dengan berbagai pencapaian dan prestasi yang selam ini telah didedikasikan oleh pesantren kepada bangsa, pesantren tidak boleh terjerumus dalam pemahaman keagaaman yang ekstrem. Jika hal itu terus terjadi, maka tidak menutup kemungkinan hal itu hanya akan memperburuk citra pesantren sebagai lembaga yang menjunjung tinggi keberagaman.
Untuk itu, ke depan pesantren perlu untuk menata posisinya kembali. Misal, seperti penataan kurikulum yang seimbang, yang mencakup pemahaman yang mendalam tentang Islam, tetapi juga mengintegrasikan pelajaran tentang ilmu pengetahuan, seni, budaya, dan hak asasi manusia. Dengan cara ini, pesantren dapat memberikan landasan yang kuat bagi para santrinya dalam memahami perkembangan dan dinamika sosial yang terus berkembang.
Pesantren harus menjadi garda terdepan dalam memerangi paham radikal. Oleh sebab itu, pesantren harus memastikan bahwa di dalam internal pesantren itu sendiri, tak boleh ada pihak yang terpapar oleh paham radikal, terlebih pimpinan pesantren yang merupakan pihak sentral pesantren.
Jadi, untuk menjalankan perannya sebagai benteng paham radikal, pesantren harus lebih dulu memastikan bahwa internal pesantren sudah bersih dari paham radikal. Penangkapan Ibnu Wazid (pimpinan Ponpes Nurul Quran) harus menjadi pelajaran bagi pesantren untuk meningkatkan kewaspadaan diri.