Tepat 20 Mei 1908 didirikan Boedi Oetomo yang menjadi tonggak spirit nasionalisme. Berdirinya Boedi Oetomo dikenang dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Spirit nasionalisme yang dimotori Boedi Oetomo menjadi gerakan massal. Dari Boedi Oetomo gerakan melawan penjajah menjadi perlawanan yang terstruktur, sistematik dan masif. Boedi Oetomo juga menjadi spirit dan pelopor tumbuhnya organisasi lain, seperti; Berdirinya Muhammadiyah (1912), Tamansiswa (1922), Nahdlatul Ulama (1926) dan organisasi lain yang seirama dalam gerakan memperjuangkan kemerdekaan.
Penderitaan bangsa atas penjajahan cukup membuat bangsa ini sengsara yang berkepanjangan. Kesadaran anak bangsa atas tujuan kemerdekaan diwadahi dalam Boedi Oetomo. Boedi Oetomo adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Soetomo dan para mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20 Mei 1908. Digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Berdirinya Boedi Oetomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Dari organisasi pelopor yang memiliki pengaruh besar menjadi tonggak persatuan anak muda dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Tujuan Sumpah Pemuda yaitu untuk mewujudkan cita-cita adanya tanah air Indonesia, bangsa Indonesia dan bahasa Indonesia. Boedi Oetomo, Muhammadiyah, Tamansiswa dan Nahdlatul Ulama suatu organisasi yang intinya bergerak dalam pendidikan. Dasar pendidikan yang digalakkan buat masyarakat akhirnya membuat kesadaran atas perlunya memiliki tanah air, bangsa dan bahasa. Organisasi perjuangan berhasil atas kontribusi para pemimpinnya seperti Dr. Soetomo, KH. Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantara dan KH. Hasyim Asy’ari yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
Tiga puluh tujuh tahun Boedi Oetomo berdiri cita-cita kemerdekaan tergapai dengan jerih payah perjuangan. Kini Harkitnas sudah menginjak usia ke 112 tahun saatnya bangsa Indonesia harus sadar bahwa perjuangan para leluhur. Sebagai generasi penerus memiliki kewajiban mempertahankan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan dan memperingati hari-hari bersejarah bangsa ini. Kemerdekaan yang kita nikmati jangan membuat terbuai lalu lupa tugas dan kewajiban dalam berbangsa.
Baca Juga : Imajinasi Kebangkitan dan Kemenangan Melawan Covid-19
Bangsa Indonesia butuh totalitas nasionalisme. Apapun kondisi dan keadaan Indonesia nasionalisme tidak boleh redup. Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia saat ini tentu sebagai warga negara tersentuh nasionalismenya. Gotong-royong dalam melawan Covid-19 perlu persatuan dan kesatuan bangsa. Covid-19 mengajarkan kerjasama dalam memotong penyebarannya. Social distancing, physical distancing, pola hidup bersih, mematuhi Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB), mematuhi work from home (WFH) dan tidak mudik itu butuh kerjasama dalam cita-cita merdeka dari Covid-19.
Tinggal menghitung mundur umat Islam akan meraih kemenangan dalam bingkai Idul Fitri. Idul Fitri sebagai kembalinya kedalam diri yang bersih dari dosa. Pertama kali dilaksanakannya Idul Fitri bertepatan pada tahun kedua Hijriyyah. Begitu pula Idul Adha. Lafadz ied diambil dari masdaraud yang mempunyai pengertian; kembali. Karena, hari raya ini senantiasa kembali setiap tahun atau mempunyai pengertian; Allah SWT mengembalikan kebaikan, rasa bahagia pada hambanya. Terlebih mendapat pengampunan dosa. Selanjutnya, lebih populer dengan istilah perayaan. Lafadz Al Fithri artinya terlepas dari puasa. Jadi secara harfiyah Idul Fitri berarti kembali tidak berpuasa atau perayaan terlepas puasa.
Kembalinya tidak berpuasa jangan sampai membuat nafsu mengendalikan kita. Puasa yang intinya mengendalikan dan mengkontrol nafsu harus diteruskan walaupun sudah lebaran. Nafsu itu ada yang positif dan ada yang negatif maka adanya dalam diri perlu dikendalikan supaya terarah. Lebaran sebagai kemenangan mengarahkan nafsu dalam hal positif tentu menjadi prestasi yang harus dijaga kesinambungannya. Idul Fitri di tengah perjuangan melawan Covid-19 tentu perayaannya sedikit berbeda pada tahun sebelumnya. Lebaran cukup kita rayakan dengan kesederhanaan tanpa mengurangi makna dan hakikat Idul Fitri.
Sayyidina Ali pernah berpesan soal kesederhanaan dalam merayakan kemenagan Idul Fitri, yang artinya; “Idul Fitri bukanlah bagi orang yang mempunyai pakaian baru. Namun Idul Fitri, hanyalah untuk orang yang taatnya bertambah. Idul Fitri bukanlah bagi orang yang bersolek dengan pakaian dan kendaraan. Namun, Idul Fitri hanyalah untuk orang yang dosa-dosanya diampuni”.
Pesan Sayyidina Ali menjelaskan bahwa esensi Idul Fitri bukan suatu perayaan dengan mengharuskan punya baju baru, kendaraan baru dan makanan yang berlebih. Sebaiknya Idul Fitri yang baru adalah manusianya sendiri bukan pakaiannya karena sudah dibersihkan dosanya selama Ramadan. Jikalau Idul Fitri yang ada cuma perayaan yang sifatnya materi saja bisa jadi kemerdekaan mengendalikan nafsu belum tergapai. Dua kemenangan antara Harkitnas dan Idul Fitri mari kita jadikan spirit dalam berjuang melawan Covid-19. Kedua kemenangan ini mengingatkan bahwa bangsa ini masih memiliki tugas dalam berjuang dalam mewujudkan kemerdekaan dari Covid-19. Perayaan lebaran dalam berjuang melawan Covid-19 tentu tetap mematuhi social distancing, physical distancing, pola hidup bersih, PSBB, tidak mudik dan silaturahmicukup via media sosial, hal ini demi kemaslahatan bersama. Terpenting sesama anak bangsa dalam hari yang fitri untuk saling mendoakan semoga amal selama Ramadan diterima, diberi panjang umur yang berkah dan selalu dalam keadaan sehat jasmani serta rohani