Jagat media sosial kali ini dihebohkan dengan peristiwa hijaunya tanah Arab di daerah pegunungan Makkah dan Jeddah. Wilayah dengan ciri khas padang pasir itu telah berubah menjadi hijau karena dipenuhi dengan beragam tumbuhan yang hidup subur.
Fenomena ini melahirkan berbagai macam asumsi tentang tanda-tanda kiamat. Lalu dikaitkan dengan pentingnya menegakkan khilafah di akhir zaman. Tentu, sebagai muslim dengan kadar iman yang tak pernah kaku, Saya tidak sepakat dalam hal itu.
Sebab, hijaunya tanah Arab sejatinya tidak terlepas dari hukum alam dan umat yang beriman menamai itu sebagai kehendak-Nya. Realitas padang pasir yang gersang, seketika menjadi lembab dan subur akibat anugerah hujan yang membasahinya.
Secara ilmiah, kadar air hujan memiliki kandungan nitrogen yang tinggi dalam karakter nitrat. Sehingga, sangat berfungsi untuk menghidupkan/menyuburkan tumbuhan dan secara genetik akan menghasilkan klorofil.
Jadi, clue-etis-nya adalah ini bagian dari nikmat Tuhan yang seharusnya disyukuri bukan dicurigai. Cobalah kita pahami kebenaran Allah SWT di dalam (Qs. An-Nahl:10) bahwasanya: “Dia-lah yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakanmu”.
Anggapan tentang tanda kiamat pada dasarnya dikaitkan dengan sebuah hadits yang dipahami secara tekstual. Perihal “Rasulullah SAW pada suatu waktu bersabda, ‘Tidak akan terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah bertumpuk dan melimpah ruah, hingga seorang laki-laki pergi ke mana-mana sambil membawa harta zakatnya, tetapi dia tidak mendapatkan seorang-pun yang bersedia menerima zakatnya itu. Dan sehingga tanah Arab menjadi subur makmur kembali dengan padang-padang rumput dan sungai” (HR Muslim).
Hadits ini, Saya rasa terlalu berlebihan jika dikontekstualisasikan ke dalam realitas tanah Arab yang kini hijau. Lalu dipaksakan untuk mengaitkan ke dalam dugaan-dugaan tentang kiamat. Meskipun, ada teks yang berkaitan tentang realitas adanya kesuburan di tanah Arab. Namun, ini bukan cara pandang yang kokoh di dalam melihat kehendak Tuhan atas itu.
Sebab, hadits di atas sebetulnya tidak berkaitan dengan apa yang terjadi di Arab saat ini atau bahkan di berbagai dunia. Sebab, tidak ada satu sikap yang telah berupaya menolak pemberian zakat dari orang lain karena dengan satu kesimpulan (semua telah kaya) dan berlimpah harta-dunia yang tidak ada lagi yang mau untuk dibantu.
Nabi sejatinya adalah (teladan/figur/cerminan) bagi umat Islam di seluruh dunia. Tentu, ketika berkaitan dengan hari akhir, Nabi tentunya tidak akan bersifat (sepihak) memberi pertanda atas daerah tertentu. Bahkan, kalau mengkritisi kalimat “tetapi dia tidak mendapatkan seorang-pun yang bersedia menerima zakatnya itu” yang menyimpulkan bahwa semua orang telah kaya dan tidak butuh zakat dari siapa-pun.
Saya rasa, dalam konteks yang semacam itu tentu sangat tidak relevan dengan realitas kita yang masih banyak orang membutuhkan uluran tangan. Seperti halnya negara Afghanistan yang kini mengalami kondisi keterpurukan-kemiskinan. Negara Irak-Suriah yang porak-poranda. Bahkan di beberapa negara muslim masih banyak yang mengalami kekurangan.
Artinya apa? hadits yang dikaitkan sebagai tanda kiamat atas pembacaan fenomena hijaunya tanah Arab sebetulnya mencoba merelevan-kan sesuatu yang tidak relevan. Karena, kesejatian maksud dari hadits dengan sebuah realitas kita hari ini tampaknya sangatlah jauh.
Tentu, Saya hanya ingin membangun satu kesadaran penting bahwa fenomena hijaunya tanah Arab pada dasarnya adalah murni (anugerah/rezeki/nikmat) yang harus disyukuri. Jangan mudah terpengaruh dengan sebuah provokasi tegaknya khilafah di balik fenomena hijaunya tanah Arab.