Hijrah Kebangsaan dan Pembentukan Masyarakat Madani

Hijrah Kebangsaan dan Pembentukan Masyarakat Madani

- in Narasi
583
0

Tahun baru Islam tahun ini diperingati hampir bersamaan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemedekaan Republik Indonesia ke-75 tahun. Sebuah momen istimewa lantaran dua peristiwa penting bagi bangsa Indonesia dan umat Islam diperingati nyaris dalam waktu bersamaan. Penting bagi umat Islam untuk menggali kembali spirit hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah yang terjadi 15 abad lalu.

Hijrah Rasulullah sebagaimana mengandung berapa dimensi. Pertama, hijrah fisik, yakni perpindahan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Kedua, hijrah sosiopolitis, yakni perpindahan Nabi Muhammad dari kondisi sosial yang penuh ancaman, yakni masyarakat suku Quraisy di Mekkah menuju masyarakat Yatsrib yang menjamin keselamatan dan menjanjikan perlindungan. Ketiga, hijrah sosiospiritual, yakni perpindahan Rasulullah ke Yatsrib sebagai manifestasi dari ketundukannya pada perintah Allah. Ini bermakna bahwa hijrah Rasulullah ialah upaya untuk mendekatkan diri pada Allah.

Dalam konteks kehidupan umat Islam Indonesia kontemporer, makna jihad yang paling relevan kita aplikasikan ialah dimensi hijirah dalam perspektif sosio-politis. Hijrah Rasulullah memberikan pelajaran penting ihwal membangun sebuah peradaban berdasar nilai kesetaraan (egalitarianism), keadilan (justice) dan perdamaian (peacefulness).

Baca juga : Ekspresi Kemerdekaan dan Urgensitas Nasionalisme dalam Islam

Di Madinah, Rasulullah membangun peradaban Islam pertama yang kelak menjadi prototipe ideal peradaban Islam setelahnya. Rasulllah membangun jejaring persaudaraan lintas-suku, agama dan ras untuk pertama kalinya dan menuangkannya dalam perjanjian tertulis. Perjanjian yang belakangan populer sebagai “Piagam Madinah” ini disebut oleh Robert N. Bellah sebagai konstitusi tertulis pertama di muka bumi. Ia muncul 600 tahun pra-konstitusi pertama di masyarakat Eropa, yakni Magna Charta, dan 1. 100 tahun lebih awal dari konstitusi masyarakat Amerika Serikat, yakni The Constitution of the United States of America.

Dokumen Piagam Madinah yang terdiri atas 47 pasal itu tidak diragukan merupakan common denominator, kalimatun sawa, fundamental and shared values sekaligus binding powers. Piagam Madinah pada dasarnya menjamin hak politik, budaya dan rasa aman penduduk sekaligus mengatur kebebasan beragama, tatacara membangun aliansi politik, mekanisme resolusi konflik serta sistem perpajakan. Piagam Madinah bertumpu pada tiga prinsip pokok, yakni persamaan derajat, keadilan dan perdamaian. Ketiga prinsip pokok itulah yang menjadi fondasi berkembangnya masyarakat berkeadaban yang tumbuh di kota Madinah dan menjadi rujukan bagi peradaban Islam setelah zaman Rasulullah.

Komaruddin Hidayat menyebut, setidaknya ada dua kata kunci dalam Piagam Madinah, yakni al ma’ruf dan al qisth. Al ma’rufmerujuk pada khazanah kearifan lokal (local wisdom) yang telah berkembang sebelumnya di masyarakat Madinah. Sedangkan al qisth merujuk pada prinsip keadilan yang berusaha dikembangkan. Dua kata kunci itu benar-benar dipraktikkan oleh Nabi Muhammad. Hal itu bisa dilihat pertama kali dari cara Nabi menyebut kelompok-kelompok yang ada di Madinah kala itu. Alih-alih mengklasifikasikan masyarakat Madinah ke dalam kelompok berdasar suku-bangsa, Nabi Muhammad justru membagi masyarakat Madinah ke dalam dua kelompok besar, yakni Anshar dan Muhajirin.

Upaya ini bisa ditafsirkan sebagai bagian dan upaya Rasulullah untuk melunturkan semangat kesukuan alias primordialisme dan tribalisme dan menumbuhkan ikatan atau komitmen kebangsaan yang kuat. Upaya detribalisasi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ini harus diakui nisbi efektif dan efisien untuk meminimalisasi gesekan sosial yang dilatari perbedaan suku dan agama yang ada di masyarakat Madinah. Sentimen primordialisme dan tribalisme yang selama ini dijadikan sebagai pusat kesadaran sosial, politik dan budaya Arab perlahan namun pasti digeser oleh nilai-nilai universalitas Islam dan kemanusiaan. Inilah tonggak awal lahirnya masyarakat berperadaban.

Memaknai Esensi Jihad dalam Konteks Kekinian

Fakta sosial di balik peristiwa hijrah Rasulullah itulah yang kiranya harus kita pahami dalam konteks kekinian. Hijrah bukanlah semata peristiwa teologis-simbolistik. Lebih dari itu, hijrah ialah peristiwa monumental yang menjadi tonggak awal peradaban Islam. Maka, tepat kiranya jika umat Islam menjadikan momentum peristiwa hijrah itu sebagai awal tahun. Sebagaimana peristiwa hijrah, momentum tahun baru idealnya juga dipahami sebagai terbukanya lembaran baru yang wajib diisi oleh capaian-capaian dan harapan-harapan yang lebih menjanjikan ketimbang lembaran di masa lalu.

Tafsiran hijrah dari dimensi sosio-politis yakni terbentuknya masyarakat berperadaban (madani) itulah yang wajib dipraktikkan oleh umat Islam Indonesia hari ini. Seperti kita alami belakangan ini, komitmen kebangsaan kita tengah mengalami ujian berat. Di satu sisi, kita tengah menghadapi gelombang konservatisme agama yang melahirkan fenomena radikalisme bahkan terorisme. Fenomena radikalisme dan terorisme atas nama agama telah melahirkan efek destruktif yang luar biasa. Tidak hanya hilangnya nyawa akibat aksi kekerasan, melainkan juga hilangnya sikap saling percaya antarkelompok masyarakat. Kini, kita hidup di tengah situasi penuh kecurigaan yang rawan konflik.

Di sisi lain, kita menghadapi ancaman lain terkait maraknya politik identitas yang mengeksploitasi sentimen perbedaan suku, agama dan ras demi keuntungan politik elektoral. Fenomena politik identitas yang kita rasakan selama kurang lebih tujuh tahun belakangan ini kian diperparah dengan masifnya penyebaran berita palsu, fitnah dan ujaran kebencian, utamanya yang terjadi di kanal-kanal media sosial. Situasi ini tidak pelak telah menjerumuskan publik dalam situasi ketidakpastian. Masing-masing kelompok tampil jemawa, arogan dan saling menegasikan satu sama lain.

Peringatan hijrah yang tahun ini beriringan dengan HUT Kemerdekaan RI ke-75 ialah momentum untuk membangkitkan kembali ghirah kebangsaan kita. Umat Islam Indonesia harus meneladani praktik sosial-politik Rasulullah, terutama dalam hal membangun masyarakat berperadaban (madani). Secara istilah, masyarakat madani sebenarnya sudah lama dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh intelektual Islam Nurcholis Madjid di era tahun 1980-an. Masyarakat madani yang diperkenalkan Cak Nur kala itu merupakan tafsiran dari gerakan civil society (masyarakat sipil) yang dipadukan dengan karakter universal Islam.

Secara sederhana, masyarakat madani dapat dipahami sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan serta keagamaan. Nilai kebangsaan diwujudkan dengan sikap cinta tanah air dan memposisikan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan. Nilai kemanusiaan diwujudkan melalui sikap menghargai, menghormati dan menjaga umat manusia terlepas dari identitas yang melatarinya. Sedangkan nilai keagamaan termanifestasikan ke dalam sikap ketertundukan pada sang khalik yang melahirkan sikap cinta kasih pada sesama. Gagasan masyarakat madani ini perlu kita kembangkan ulang dalam konteks kekinian sebaga semacam anti-dote (penawar racun) bagi menguatnya gerakan radikalisme keagamaan dan politik identitas yang mengancam kebangsaan kita.

Membangun masyarakat madani yang merujuk pada peradaban Islam Madinah sebagaimana dibangun oleh Nabi Muhammad ialah upaya penting untuk menerjemahkan makna hijrah secara kontekstual. Dalam konteks keindonesiaan hari ini, kita perlu meneladani spirit hijrah Rasulullah, bukan secara fisik melainkan secara sosiopolitis. Caranya ialah dengan mengubah paradigma berpikir kita dari primordial-sektarian ke arah paradigma nasionalisme yang bertumpu pada nilai kesetaraan dan kemanusiaan.

Facebook Comments