Hijrah Seharusnya Pendorong Sikap Inklusif, Bukan Sikap Ekslusif !

Hijrah Seharusnya Pendorong Sikap Inklusif, Bukan Sikap Ekslusif !

- in Narasi
21
0
Hijrah Seharusnya Pendorong Sikap Inklusif, Bukan Sikap Ekslusif !

Tahun Baru Hijriyah seringkali dipandang sebagai sebuah peristiwa sakral yang menandai perjalanan panjang umat Islam, khususnya yang berawal dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, makna hijrah telah mengalami distorsi, terutama ketika kelompok-kelompok radikal teroris memanfaatkan momen ini untuk menyebarkan narasi yang mengaitkan hijrah dengan tegaknya sebuah sistem politik yang mereka klaim sebagai representasi dari visi kenabian.

Kelompok-kelompok radikal menarasikan hijrah sebagai peristiwa yang menandakan terbentuknya sebuah negara Islam, atau lebih tepatnya, sebuah negara yang mereka pandang sebagai “khairu ummah” (sebaik-baik umat). Pemahaman akan hijrah, meskipun mengakar kuat pada beberapa segmen masyarakat, sebenarnya mereduksi makna hijrah yang sejatinya adalah sebuah gerakan transformatif untuk membangun tatanan sosial dan kebangsaan yang lebih inklusif. Pada hakikatnya, hijrah adalah sebuah proses perubahan besar dari sebuah komunitas yang sempit dan eksklusif menuju sebuah komunitas yang terbuka, berlandaskan kewarganegaraan yang inklusif dan tidak terbatas pada eksklusivitas agama atau etnis.

Secara historis, peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW bukan sekadar langkah politik untuk menggantikan Makkah dengan Madinah, melainkan sebuah proses penting dalam pembangunan bangsa yang beradab. Hijrah mengandung esensi penting dari sebuah tatanan sosial yang berlandaskan pada prinsip kewarganegaraan.

Di Madinah, Rasulullah tidak hanya mendirikan komunitas Islam semata, tetapi juga membangun sebuah sistem sosial yang menyatukan berbagai elemen masyarakat, termasuk non-Muslim. Ini tercermin dalam Piagam Madinah yang menegaskan bahwa umat Islam, Yahudi, dan seluruh elemen masyarakat Madinah memiliki hak yang setara dalam membangun masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera. Oleh karena itu, hijrah seharusnya dipahami bukan sebagai sebuah revolusi politik yang berfokus pada pencapaian kekuasaan, melainkan sebagai gerakan sosial untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.

Bagi kelompok radikal teroris yang menafsirkan hijrah hanya sebagai peristiwa politis, mereka cenderung menutup mata terhadap konsep keberagaman yang ada dalam kehidupan masyarakat Madinah pasca-hijrah. Mereka mengabaikan fakta bahwa hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah adalah bentuk dari pembangunan peradaban yang mencakup semua lapisan masyarakat. Hijrah merupakan fondasi dari sebuah nation-building, yakni sebuah gerakan transformatif dari identitas sempit menuju sebuah identitas kolektif, yang tidak terbatas hanya pada kelompok Muslim, tetapi melibatkan seluruh elemen masyarakat. Dengan demikian, hijrah adalah proses yang mengarah pada inklusivitas sosial, bukan eksklusivitas.

Di Indonesia, hijrah harus dipahami dalam kerangka kebangsaan yang kuat. Disintegrasi sosial yang sering muncul dalam beberapa dekade terakhir, terutama terkait dengan konflik yang melibatkan identitas agama, menjadi bukti nyata dari kegagalan sebagian umat Islam untuk memahami esensi hijrah secara lebih komprehensif. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia telah lama menduduki posisi penting dalam sejarah pergerakan umat Islam. Jika di terjemahkan dalam ke-Indonesia-an, hijrah yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW harus diterjemahkan dalam bentuk kerangka kebangsaan yang lebih luas, yakni Pancasila dan nasionalisme.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, hijrah seharusnya tidak dilihat hanya sebagai sebuah transisi dari Makkah ke Madinah, tetapi juga sebagai sebuah langkah penting untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang inklusif, yang tidak hanya mengutamakan kepentingan satu kelompok, tetapi melibatkan semua elemen masyarakat tanpa memandang suku, agama, atau ras. Konsep Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia sudah mencerminkan nilai-nilai keberagaman dan inklusivitas yang ditekankan oleh Nabi Muhammad SAW dalam membangun peradaban Madinah.

Namun, meskipun negara Indonesia telah meletakkan dasar kebangsaan yang inklusif melalui Pancasila, tantangan terbesar adalah bagaimana menjadikan nilai-nilai tersebut lebih hidup dalam keseharian umat Islam di Indonesia. Ketika sebagian kelompok umat Islam mulai terjebak dalam narasi yang mengarah pada eksklusivitas agama, hijrah yang semula dimaksudkan untuk memperkuat solidaritas umat dalam kerangka kebangsaan justru tereduksi menjadi gerakan untuk menciptakan batas-batas yang memisahkan antara “kita” dan “mereka.”

Hijrah seharusnya menjadi pendorong bagi umat Islam di Indonesia untuk lebih memperkuat rasa kebangsaan dan semangat persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hijrah dari eksklusivitas komunal menuju inklusivitas nasional adalah langkah yang perlu ditempuh oleh umat Islam, agar tidak terjebak dalam narasi sektarian yang memperburuk disintegrasi sosial. Hijrah dapat menjadi inspirasi bagi pembangunan bangsa, dengan menanamkan nilai-nilai kebersamaan, keadilan, dan persatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dapat menjadi refleksi bagi umat Islam di Indonesia untuk memahami bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya terletak pada tegaknya sebuah negara agama, tetapi lebih pada terciptanya sebuah masyarakat yang adil, makmur, dan damai dalam kerangka negara yang menghargai keberagaman. Oleh karena itu, hijrah dalam konteks Indonesia seharusnya dipahami sebagai sebuah gerakan transformatif yang membawa umat Islam dari identitas sempit menuju identitas yang lebih besar, yaitu identitas sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang bersatu dalam perbedaan.

Facebook Comments