Ideologi Pembakar Al-Quran : Bukti Ideologi Kebencian Melahirkan Ekstremisme

Ideologi Pembakar Al-Quran : Bukti Ideologi Kebencian Melahirkan Ekstremisme

- in Faktual
442
0
Ideologi Pembakar Al-Quran : Bukti Ideologi Kebencian Melahirkan Ekstremisme

Intoleransi, radikalisme dan ekstremisme yang mengarah pada tindakan terorisme tidak mengenal agama. Orang dengan latar agama apapun akan bisa terjangkiti penyakit ini. Memang tidak ada agama yang mengajarkan sikap ekstrem apalagi teror. Tetapi kerap umat beragama terperangkap dalam sikap picik tersebut. Kenapa?

Belajar dari kasus Rasmus Paludan seorang Pria Denmark-Swedia yang dikenal sebagai politikus pemimpin partai politik garis keras, Stram Kurs atau garis keras. Paludan kerap menyuarakan agenda rasialisme yang membenci imigran dan anti-Islam. Tidak hanya sekali, ia melakukan aksi rasialnya seperti yang di lakukan di Stckholm, Swedia. Ia pernah menggelar sejumlah aksi di masa lalu dengan treatrikal membakar al-Qur’an.

Apa yang dilakukan oleh Paludan adalah bentuk ekstremisme kekerasan simbolik yang didasarkan pada ideologi rasial. Ideologi ini pada akhirnya mendorong kebencian terhadap mereka yang berbeda kepada para imigran dan khususnya umat Islam. Anti imigran dan anti Islam menjadi slogan dari idoelogi kebencian Paludan.

Ideologi kebencian ini diwujudkan dalam gerakan politik. Paludan adalah suatu cerminan gerakan ekstremisme rasial yang didorong oleh ideologi kebencian terhadap yang berbeda. Ia merasa bahwa Eropa khususnya Swedia dan Denmark harus bebas dari para imigran dan khususnya dari umat Islam.

Ideologi kebencian rasial Paludan tentu berasal dari perasaan superioritas rasial yang merasa yang berbeda sebagai ancaman. Imigran dan umat Islam pada khususnya dianggap sebagai ancaman di Swedia, bahkan di dunia. Dalam penegasannya ia mengatakan : Musuh kami adalah Islam dan Muslim. Hal terbaik adalah jika tidak ada seorang Muslim pun yang tersisa di bumi ini. Maka kita akan mencapai tujuan akhir kita.

Islamisasi di Swedia bagi Paludan adalah ancaman besar yang sudah dimulai sejak 1960-an. Baginya, para imigran muslim harus segera pindah dan keluar dari negara tersebut. Kampanye rasial ekstrem ini terus dilakukan meskipun ia mendapatkan penolakan, penahanan dan kecaman dari berbagai pihak.

Ideologi tentu susah dihentikan. Paludan adalah cermin dari politikus yang memiliki ideologi kebencian yang sangat mendalam. Ia menggunakan iklim demokrasi yang menjamin kebebasan di beberapa negara Eropa untuk menyebarkan ideologi kebencian.

Argumentasi kebebasan berekspresi memang menjadi problematik ketika ia melecehkan nilai dan ajaran yang diyakini suatu kelompok. Apakah atas nama kebebasan seseorang dapat mengekspresikan kebencian yang bisa disebar secara meluas?

Kebebasan dan kebencian bukan suatu yang harus dipilih secara dilematis. Tidak ada kebencian yang berhak mengambil ruang atas nama kebebasan. Jika ada individu dan kelompok yang menyerukan kebencian rasial, etnisitas, keyakinan dan budaya atas nama kebebasan itu merupakan bentuk dari pelanggaran terhadap kebebasan itu sendiri.

Idoelogi kebencian adalah salah satu sumbu perilaku ekstremisme dalam setiap aspek kehidupan. Ketika seseorang termakan kebencian terhadap etnis, suku, budaya dan agama tertentu akan cenderung melahirkan sikap intoleran, radikal dan ekstrem. Perasaan superior dan tidak mau terhadap perbedaan adalah pemikiran dan sikap yang akan melahirkan ekstremisme.

Belajar dari Paludan adalah belajar dari cara pandang seseorang yang termakan ideologi kebencian terhadap yang berbeda. Merasa hanya identitas dirinya yang paling layak untuk hidup di lingkungannya dan menolak mereka yang berbeda untuk hidup berdampingan bersama.

Facebook Comments