Pelarangan Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI sebagai organisasi keagamaan yang paling getol memperjuangkan khilafah islamiyyah tampaknya tidak serta-merta menghentikan para eksponennya untuk menyebarkan ideologi radikal di Indonesia. Laporan jurnalistik media daring alinea.id berjudul “HTI menolak mati: Bermutasi, menyebar dan bergerak di bawah tanah” (13/02/2020) mengungkap sepak terjang para petinggi dan anggota HTI sejak resmi dicabut badan hukumnya oleh pemerintah.
Meski tidak lagi secara terbuka menggunakan atribut HTI, para anggotanya tetap gencar mengampanyekan gagasan khilafah islamiyyahmelalui media sosial. Ada pula eksponen HTI yang menyusup ke sejumlah ormas Islam, terutama Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dengan tujuan menginfiltrasi kedua ormas itu dari dalam. Laporan ini membuktikan bahwa sebagai organisasi, HTI barangkali telah bubar, namun sebagai sebuah ideologi khilafah islamiyyah ternyata belum benar-benar mati.
Di Indonesia, kampanye khilafah Islamiyyah sebagai bagian dan agenda dari Islam politik kerap memanfaatkan momentum situasi politik dan ekonomi dalam negeri yang memang tengah menghadapi beragam persoalan. Seperti kita ketahui, sejak dua dekade lebih era Reformasi berjalan, bangsa ini masih berkutat dengan sejumlah persolan kompleks. Di bidang politik, sistem demokrasi yang kita idealkan mampu melahirkan pemimpin yang progresif dan berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat tampaknya justru menunjukkan perkembangan yang sebaliknya.
Demokrasi kita belakangan ini lebih banyak diwarnai oleh praktik politik uang, politik transaksional, korupsi dan cenderung gagal melahirkan struktur kepemimpinan progresif, alih-alih oligarkis dan feodalistis. Konsekuensinya, demokrasi pun gagal melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat. Lebih parah lagi, dalam lima tahun belakangan ini, praktik demorkasi kita dinodai oleh politik identitas yang berbalut dengan ujaran kebencian berlatar fanatisme identitas keagamaan.
Pada saat yang sama, kondisi ekonomi dalam negeri pun menunjukkan perkembangan yang tidak kalah mengkhawatirkannya. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi kita selama beberapa tahun terakhir memang patut diapresiasi, terutama di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi global. Namun, ironisnya pertumbuhan itu tidak dibarengi dengan pemerataan ekonomi. Akibatnya, jurang ketimpangan antara kelompok atas-kaya dan kelompok bawah-miskin pun kian lebar.
Baca Juga : Ajaran Kemanusiaan dan Cinta Tanah Air di Pondok Pesantren Ash-Shomadiyah
Harus diakui bahwa kesenjangan ekonomi itu merupakan akumulasi dari sejumlah persoalan kompleks. Salah satunya tentu kebijakan pembangunan yang cenderung tidak sensitif adaptif pada kepentingan kelompok kelas bawah seperti petani, nelayan, buruh dan golongan masyarakat kelas bawah lainnya. Imbasnya, masyarakat kelas bawah kesulitan mengakses pendidikan dan kesehatan yang tentu berakibat langsung pada rendahnya kualitas hidup mereka.
Kegagalan Memahami Sejarah
Sejumlah problem kebangsaan itulah yang selama ini menjadi dijadikan komoditas politik oleh para pengusung khilafah islamiyyah di Indonesia. Mereka beranggapan bahwa apa pun persoalan yang membelit bangsa ini, mulai dari korupsi, kemiskinan, hingga kerusakan alam akan selesai jika syariah Islam diberlakukan secara menyeluruh melalui pendirian khilafah islamiyyah di Indonesia. Persoalan di bidang politik dan ekonomi itu pula yang kerap dijadikan dalih untuk mendelegitimasi keabsahan NKRI, Pancasila, dan UUD 1945.
Cara pandang yang demikian ini menandai adanya semacam anakronisme sejarah di kalangan pegiat Islam politik yang getol mengkampanyekan ide khilafah islamiyyah. Anakronisme sejarah secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah ketidakcocokan dalam melihat peristiwa sejarah masa lampau melalui perspektif kontemporer. Anakronisme sejarah ini terlihat dari keyakinan bahwa sistem politik khilafah islamiyyah ialah solusi bagi semua residu persoalan yang disisakan oleh sistem politik dan ekonomi modern yang sebagian besarnya berasal dari peradaban Barat.
Mereka, seolah-olah menutup mata bahwa di masa puncak keemasan era kekhalifahan pun, dunia Islam tetap diwarnai oleh berbagai persoalan politik, ekonomi, sosial-budaya dan agama. Masa-masa gemilang kekhalifahan Islam yang terjadi di zaman khalifah Ummayah dan Abbasiyyah yang kerap dijadikan rujukan ideal bagi sistem sosial dan politik oleh para pengusung khilafah nyatanya tidak benar-benar steril dari sengkarut persoalan.
Jika kita membaca sejarah Islam, akan dengan mudah didapati fakta bahwa masa-masa kekhalifahan Islam pun ternyata diwarnai oleh berbagai intrik dan konspirasi politik perebutan kekuasaan, bahkan hingga berujung dengan konflik pertumpahan darah. Tidak hanya itu, masa-masa kejayaan khalifahan Ummayah dan Abbasiyah juga terjadi berbagai penyimpangan sosial, mulai dari korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, hingga persoalan tabu seperti homoseksualitas, gaya hidup hedonistik dan sejenisnya.
Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa sistem kekhalifahan dalam dunia Islam bukanlah sistem yang paling sempurna dan steril dari potensi persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya serta agama. Sebagai sistem sosial-politik pada umumnya, khilafah islamiyyah juga menyimpan celah dan potensi kelemahan serta kekurangan. Khilafah bukanlah sistem politik tanpa cela sebagaimana diklaim oleh para pengusungnya. Lebih dari itu, khilafah tidak lain juga merupakan salah satu bentuk ijtihad umat muslim terdahulu dalam mengelola kehidupan sosial, politik dan agamanya. Ini artinya, khilafah bukanlah murni doktrin Islam yang wajib dilaksanakan oleh seluruh umatnya.
Menghidupkan (Kembali) Pancasila
Masih masifnya kampanye khilafah islamiyyah terutama yang disponsori oleh para eksponen eks-ormas terlarang HTI adalah ancaman serius bagi ketahanan bangsa dan negara. Dalam setiap momen ketika bangsa Indonesia tengah mengalami persoalan terkait politik, ekonomi dan sosial, mereka selalu muncul ke permukaan menawarkan gagasan khilafah yang diklaim sebagai solusi sapu-jagad bagi seluruh persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Padahal, jika dinalar secara obyektif gagasan itu tidak lebih dari sebuah utopia, ilusi sekaligus romantisme belaka.
Sulit membayangkan di era modern ini untuk membangun sebuah imperium keislaman yang tidak hanya menguasai seluruh wilayah Islam namun juga negara di seluruh dunia. Sebagian besar negara muslim saat ini merupakan negara-bangsa (nation-state) yang hidup di bawah sistem politik dan ekonomi modern. Maka, bisa dibilang gagasan khilafah islamiyyah yang digaungkan oleh sebagian muslim konservatif itu merupakan bentuk romantisme salah-kaprah yang tidak relevan dengan semagat zaman (zeitgeist) di era kontemporer ini.
Meski demikian, utamanya dalam konteks Indonesia kita tentu tidak bisa mengabaikan begitu saja pergerakan para pengasong ide khilafah yang belakangan melakukan aksinya secara klandestinalias sembunyi-sembunyi. Selain terus-menerus mengkampanyekan narasi tandingan berupa pemikiran keislaman yang moderat-progresif, gerakan khilafah juga perlu dihalau dengan melakukan reformasi dalam sistem politik, ekonomi dan sosial. Seperti ditahui, salah satu faktor yang membuat gagasan khilafah islamiyyah tumbuh subur di Indonesia ialah masih banyaknya persoalan di ranah sosial, ekonomi dan politik kita. Harus kita akui bahwa nilai moral dan prinsip ekonomi serta haluan politik kita belakangan ini kian menjauh dari nilai-nilai Pancasila. Relasi sosial kita kian diwarnai oleh nalar pragmatisme-individualisme. Sistem ekonomi kita pun didominasi oleh sistem kapitalisme yang abai pada pemerataan kesejahteraan. Di bidang politik, demokrasi kita juga menjurus pada praktik liberalisme yang semata berorientasi pada kekuasaan semata. Nilai dan prinsip Pancasila yang mengajarkan sikap gotong royong, pemerataan kesejahteraan dan politik permusyawaratan kian terabaikan. Menghidupkan kembali prinsip dan nilai Pancasila dalam ranah politik, ekonomi dan sosial kiranya bisa menjadi strategi untuk membendung ilusi romantisme yang mewujud pada ideologi khilafah islamiyyah.