Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, tiba-tiba saja jadi pembicaraan dunia. Pasalnya, di kota ini muncul virus yang berbahaya nan mematikan. Dunia menyebutnya virus Corona. Warga Wuhan ratus ribu yang positif Corona. Ribuan yang sudah meninggal, dan sebagian besar bisa disembuhkan.
Ketika Wuhan diserang virus Corona, para pakar menyebut, ini disebabkan oleh makanan ekstrem yang sudah menjadi tradisi did Wuhan, yakni memakan binatang liar. Wuhan pun jadi sasaran cacian. Wuhan secara khusus, dan Cina secara umun, dimaki, dihina, bahkan sering dengan sikap rasisme.
Meski sudah banyak cacian, makian, fitnah, bahkan tindakan rasisme. Wuhan diam, mereka fokus melawan virus berbahaya itu. Masyarakatnya saling menguatkan. Warganya saling membantu. Dokter terlihat tanpa lelah mengobati. Pemerintah dengan sigap memberikan infomasi dan membangun rumah sakit khusus hanya hitungan hari.
Wuhan saling bahu membahu. Tidak menghiraukan umpatan dunia terhadap mereka. Agenda mereka sekarang adalah kerja, kerja, dan kerja melawan virus. Loyalitas dan semangat tanpa menyerah diperlihatkan oleh Wuhan dalam setiap levelnya: masyarakat, polisi, dokter, dan pemerintah.
Inilah solidaritas sejati. Solidaritas yang ditunjukkan dengan belas kasih kepada sesama. Saling membantu dan memberdayakan. Gotong royong menjadi andalan masyarakat Wuhan. Bagi mereka, Corona adalah sarana untuk menguatkan solidaritas, dan ikut aktif dalam merawat kehidupan manusia.
Wuhan Berhasil
Hasil dari gotong royong dan solidaritas yang diperlihatkan masyarakat Wuhan membuahkan hasil. Sebagaimana kata pepatah, hasil tidak mengkhianati proses, persis demikianlah yang dirasakan mereka. Wuhan lolos dan keluar sebagai pemenang dalam pertempuran melawan virus mematikan itu.
Baca Juga : Menolak Standar Ganda, Meneguhkan Solidaritas Universal
Minggu kemarin di media sosial lagi viral video durasi pendek yang memperlihatkan para dokter di depan rumah sakit melepas masker, tanda bahwa Wuhan sudah berhasil melawan Corona, dan masyarakatnya aman dari virus pandemi itu.
Ketika Wuhan sudah berhasil, negara lain malah sedang sibuk-sibuknya melawan virus itu. Puluhan negara kena. Italaia, Korea Selatan, Iran, Portugal, Spanyol, Amerika, dan bebarapa negara lainnya kena serang.
Beberapa negara sudah memberlakukan lockdown. Kebijakan untuk stay di rumah menjadi pilihan. Tempat ibadah ditutup. Ruang publik sepi, dan tempat wisata sunyi. Semuanya takut pada Corona. Dunia seolah beristirahat sejenak. Dunia sedang berjuang melawan Corona.
Kasus Indonesia
Indonesia tidak ketinggalan. Data terakhir (Kompas/15/03) sudah ada 117 yang terinfeksi kasus. Angka ini bertambah 21 dari data sebelumnya. Beberapa daerah sudah mengeluarkan sikap untuk meliburkan sekolah dan membatasi pertemuan publik. Rata-rata Kampus di pulau Jawa sudah memberlakukan kuliah on-line. Jokowi sendiri sudah menghimbau agar kerja, berlajar, dan beribadah dari rumah.
Di tengah ketakutan pada Corona, ternyata kita tidak seperti Wuhan. Kita masih sibuk saling menyalahkan. Sibuk berdebat di media sosial. Tidak ada sinergitas antar masyarakat, pemerintah, dan dokter did lapangan.
Budaya gotong royong yang selama ini jadi identitas kita, kini buyar. Adanya budaya caci-maki, mencari kambing hitam, mencari untung di tengah kesempitan, dan tak jarang menyebar berita bohong untuk menakut-nakuti.
Media kita sibuk dengan berita berapa jumlah yang terinfeksi, berapa yang meninggal, sedikit sekali porsi untuk edukasi tentang Corona dan bagaimana cara melawannya. Kita tidak bersatu. Kita lebih suka saling menyalahkan.
Anehnya, di tengah kepanikan kita, masih ada saja oknum yang mencari keuntungan besar dengan menaikkan harga masker yang sulit dijangkau masyarakat. Masker langka, dan alat penangkal lainnya sulit ditemukan. Solidaritas kita seolah diuji dengan adanya Corona.
Belajar kepada Wuhan
Kini saatnya kita belajar kepada Wuhan bagaimana mereka bisa berhasil melawan Corona. Kita harus bersatu, tidak saling menyalahkan, tidak mencari kambing hitam. Kita kembali kepada jati diri bangsa ini, yakni sikap gotong royong.
Gotong royong, itulah kata kunci yang bisa kita ambil dari kasus Wuhan. Mereka saling menguatkan, memberikan informasi cerdas, membagikan masker gratis. Kita wajib menjauhi sikap yang bertolak belakang dengan ini.
Jika tidak bisa memberikan empati, setidaknya jangan menyebar ketakutan, mebuat stigma, atau mencari keuntungan. Kita harus belajar kepada Wuhan, bahwa tidak ada cara lain untuk melawan Corona kecuali bersatu, bersatu, dan bersatu.
Pemerintah harus cerdas dan cepat, masyarakat jangan cengeng dan arogan, serta dokter harus terbuka, dan seluruh eleman masyarakat harus saling bahu-membahu. Kita perlu mengutamakan pendekatan semesta partisipan. Artinya semua lapisan masyarakat –tanpa pandang bulu –harus terlibat aktif.
Sebab Corona bukanlah azab yang bisa ditangkal dengan doa dan menjauhi maksiat. Ia adalah ujian. Kita bisa keluar dari ujian ini kalau kita saling membantu dan mengedepankan pendekatan sainstis ketimbang mistis. Corona adalah jalan untuk mengingatkan kita kembali bahwa solidaritas kebangsaan, solidaritas kemanusiaan, itu sangat penting, dan tak bisa kita tinggalkan. Wuhan adalah contoh terbaik. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari Wuhan, yakni gotong royong adalah kunci.