Minggu ini, MUI Jawa Timur mengeluarkan imbauan Nomor 110/MUI/JTM/2019 tentang tidak perlunya bagi umat Islam terutama pejabat publik menggunakan salam lintas agama. Pengucapan salam lintas agama bagi MUI Jatim bukan sekadar basa-basi, melainkan itu adalah doa.
KH Abdusshomad Buchori, selaku ketua MUI Jatim menyatakan, “Umat Islam cukup mengucapkan Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pengucapan salam pembukaan dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan syubhat, yang tidak pernah ada di masa lalu, minimal mengandung nilai syubhat yang patut dihindari.
Bagi sebagian pihak, MUI Jatim ini terlalu mengada-ada, tanpa melihat realitas sosial masyarakat Indonesia. Bahkan sebagai pihak menilai, MUI gagal melihat substansi ajaran Islam yang lebih menekankan kasih-sayang (rahmah) ketimbang mengasingkan diri dan membuat kotak dirinya.
Tetapi bagi pihak lain, imbauan MUI ini adalah bentuk kehati-hatian dalam beragama. Sekjen MUI Pusat sendiri sebagaimana dilansir Tempo.co mendukung imbauan ini. Ini sesuai dengan bunyi pernyataan imbauan itu sendiri; “umat Islam akan dapat terhindar dari perbuatan syubhat (keragu-raguan) yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya.”
Baca Juga :Tak Ada Ruang Intoleransi dalam NKRI
Lepas dari pro-kontra tersebut, yang menjadi persoalan adalah paradigma MUI dalam melihat hubungan keberagamaan kita. MUI Jatim masih menggunakan paradigma konflik bahkan paradigma perang sewaktu Islam tumbuh dan berkembang di masa-masa awal.
Kita Bukan Perang
Memang, pada awal-awal munculnya, Islam sering berkonfrontasi dengan pemeluk agama atau keyakinan lain. Sejak dini, Islam sudah berkonfrontasi dengan kaum pagan, penyembah berhala. Lanjut konfrontasi dengan elit-elit penguasa ekonomi dan politik di Mekkah. Meskipun misi Nabi adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia dan penyempurna terhadap agama Abrahamik sebelumnya, akan tetapi dalam sejarahnya perwujudan nilai-nilai ideal itu mau tidak mau harus berhadapan dengan tradisi, kepercayaan, dan status qua masyarakat setempat.
Itulah sebabnya perang tak bisa dielakkan. Puluhan kali Nabi melakukan perang. Sekalipun perang hanya bagian kecil dari sejarah Nabi. Tak cukup perang, Islam juga harus berkonfrintasi dengan agama lain di Madinah, semisal Yahudi dan Kristen. Konfrontasi ini terjadi karena ada pihak-pihak tertentu yang melanggar kesepakatan bersama (Piagam Madinah).
Pasca wafatnya Nabi, masa al-Khulafau al-Radisun, Muawiyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Perang Salib, sampai pada tiga kerajaan besar: Mugal, Safawi, dan Turki Usmani –Islam sering berhadapan secara vis a vis dengan penganut agama/kepercayaan lain.
Sejarah panjang ini tentu membawa dampak nyata terhadap bangunan teologis dan konstruksi ajaran Islam itu sendiri. Situasi sosial-politik dan sosial-historis sangat mewarnai para pemuka agama ketika mengelaborasi doktrin Islam dan ketika membuat fatwa.
Dengan mudah bisa dilihat, bahwa tokoh agama yang hidup di waktu masa damai, ajaran yang ia produksi lebih tenang, lebih damai, dan lebih bersahabat ketimbang tokoh agama yang hidup di lingkaran perang dan konfilik.
Kondisi perang dan konflik sering memproduksi ajaran, penjelasan, dan fatwa yang kurang simpati terhadap pemelukan agama lain. Bahkan tak jarang, permusuhan, konflik, dan saling menyalahkan, menjadi paradigam dalam fatwa dan penjelasan dari para tokoh agama dulu.
Kita dalam Kondisi Damai
Inilah yang tidak disadari oleh MUI Jatim. Kita sekarang hidup damai dalam satu atap, satu bangsa, dan satu tanah air. Kita berbeda tetapi satu falsafah, Pancasila; satu dasar, UUD 1945; satu balutan, Bhineka Tunggal Ika; dan melebur dalam satu wadah, NKRI. Intinya kita hidup dalam keadaan damai, bukan dalam kondisi permusuhan.
Imbauan MUI itu masih menggunakan paradigma klasik yang memposisikan umat beragama itu dalam ranah konfrontasi, konflik, dan permusuhan. Sehingga Islam tidak boleh menggunakan atribut dan identitas agama lain, meski itu digunakan bukan dalam acara keagamaan.
Inilah salah satu kelemahan imbauan itu. Hubungan keberagamaan sekarang tetapi dilihat dari kacamata hubungan agama pada masa klasik. Tentu tidak nyambung.
Imbauan yang keluar dari MUI seharusnya adalah imbauan yang membuat keberagamaan kita menjadi lebih harmonis lagi, saling asah, dan saling memahami dan memberdayakan. Bukan imbauan yang saling menegasikan, menutup diri, dan terjebak dalam kungkungan sejarah.
Meski imbauan salam itu tidak mengikat dan bukan hukum positif, akan tetapi, dalam masyarakat sering sekali imbauan kaum agamawan lebih didengar dari pada peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara.
MUI seharusnya harus menyadari, bahwa imbauan yang dikeluarkan, sadar atau tidak; langsung atau tidak –akan berdampak negatif terhadap pola hubungan keberagamaan kita. Tindakan intoleransi, kekerasan, dan eksklusivisme sering terjadi sebab ada nilai atau otoritas yang melegitimasi tindakan itu.
Untuk itu tidak ada cara lain, selain bahwa kita harus lebih bisa melihat ajaran substansial dari agama itu, ketimbang terjebak dalam lingkaran setan masa lalu. Kita harus lebih mengedepankan ajaran kasih sayang.
Islam adalah agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta. Seorang muslim bukan hanya boleh, malah dianjurkan untuk mendoakan sesamanya, tak terkecuali agama lain. Kita bisa menggunakan salam agama lain. Sebab itu adalah doa umum, mempunyai nilai universal, bukan doa khusus (mahdah) yang hanya bisa digunakan oleh pemeluknya masing-masing.